Catatan Muktamar ke-16 Nahdlatul Ulama; 23-26 Rabiul Akhir 1365 H / 26-29 Maret 1946 di Purwokerto (bagian-1)
Oleh: Rijal Mumazziq Zionis
Muktamar kali ini adalah muktamar fenomenal. Selain berlangsung dalam suasana revolusioner di mana negara Indonesia masih belum genap berumur satu tahun, beberapa keputusan muktamar ini juga ikut mendongkrak perlawanan bersenjata rakyat Indonesia.
Pada tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365 H atau 26-29 Maret 1946, Muktamar ke-16 NU berlangsung di Purwokerto. Momentum ini bukan hanya dihadiri oleh para pengurus NU saja, melainkan banyak juga anggota Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang hadir. Tak sedikit pula yang datang dengan memakai seragam kebesarannya berikut bersenjata lengkap. Beberapa pengurus Partai Masyumi dan ormas Islam lainnya juga hadir sebagai tamu undangan.
Dalam resepsi muktamar, Panglima Besar Jenderal Sudirman memberi pidato sambutan yang isinya memuji NU yang telah memberi arah jalan revolusi dengan “Resolusi Jihad”nya pada tanggal 22 Oktober 1945.
Adapun dalam khutbah iftitah yang disampaikan menggunakan bahasa Arab, sebagaimana yang dikutip oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, “Berangkat dari Pesantren”, Rais Akbar Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyampaikan beberapa poin penting yang jika diterjemahkan sebagai berikut:
Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, salah sejahtera bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dipilih-Nya.
Wa ba’du, di dalam muktamar yang ke-16 terhitung dari mulai berdirnya NU dan yang pertama di masa kemerdekaan ini, saya mengemukakan tiga pokok di hadapan muktamirin, dengan harapan agar saudara-saudara sekalian melanjutkan usaha memimpin umat kita ke arah kebahagiaan dan kemuliaan dengan memakai pedoman pada pokok-pokok tadi. Dan, kepada Allah subhanahu wa ta’ala saya memohon petunjuk dan pertolongan.
Saudara-saudara sekalian.
Pokok pertama: sungguh satu nikmat Allah yang besar, bahwa kita sekalian dijadikan ulama-ulama dan pemimpin rakyat, dan bahwa kita dilebihkan dari pada orang mukmin kebanyakan. Akan tetapi, sifat menjadi orang alim dan pemimpin itu tidak diberikan cuma-cuma begitu saja oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan tidak ada perhitungan (pertanggungjawaban). Bahkan sebelum perhitungan akhirat itu, di dunia juga ada perhitungan.
Umat kita sekarang telah berubah dari umat yang terjajah, yang tiap-tiap orang daripadanya tidak memikirkan lebih dari lingkungan rumah tangganya yang sempit dan pekerjaan sehari harinya yang berat dan sengsara—kedua duanya itu berarti kematian moral (semangat)– menjadi umat yang merdeka, bangkit, hidup dan mengetahui arti kemuliaan dan kehormatan dan siap berkorban untuk kedua hal itu dengan segala tenaga yang ada padanya.
Dengan pendek, tingkatan berpikir umat sekarag ini sudah naik jika dibandingkan dengan dulu, dan kesediaannya akan perjuangan hidup berlipat ganda lebih besar. Maka kewajiban kita para ulama dan pemimpin-pemimpin umat ialah harus meninggikan tingkatan berpikir kita di atas tingkatan berpikirnya umat, dan harus memandang persoalan hidup dengan sudut pandang yang lebih tinggi daripada pandangan mereka.
Marilah kita contoh sahabat-sahabat besar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai panutan yang baik. Kaum muslimin generasi pertama dulu, setelah pikirannya terbuka, jiwanya bangkit dengan hijrahnya ke dunia merdeka di zaman Madinah dan setelah tingkat berpikirnya naik, para sahabat besar lalu meninggikan lagi tingkat berpikir mereka. Sebagai contoh, Sayyidina Abu Bakar radliyallahu ‘anhu dulunya hanya memikirkan keadaan dirinya sendiri, perdagangan dan pasarnya. Tetapi kemudian di zaman Madinah, beliau memikirkan soal-soal militer dan urusan-urusan negara. Lihatlah pengorbanan beliau akan segala harta bendanya guna jaisyil usrah (tentara yang dibentuk di waktu kesengsaraan).
Jika tingkatan berpikir beliau tidak meningkat daripada sebelumnya, tentu beliau tidak akan tahu nilai tentara usrah itu. Dan jikalau tingkatan berpikirnya Sayyidina Khalid bin Walid radliyallahu ‘anhu tidak naik daripada zaman jahiliyyah, pastilah beliau akan merasa puas menjadi komandan kecil yang memimpin tentara yang terdiri dari beberapa prajurit saja, dan tidak akan dapat menjadi komandan yang memimpin 45.000 prajurit.
Dan kalau Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu tidak naik tingkatan berpikirnya dari pada dulu-dulunya, tentu beliau tidak akan dapat menjadi kepala negara yang daerahnya meluas mulai dari ujung tanah Syam (Syria) sampai ke ujung Yaman hingga ke batas Iran dan Mesir. Dan sangat boleh jadi beliau tidak akan menjadi kepala kota Madinah yang perbatasannya terbatas itu.
Demikian pula sahabat-sahabat yang besar-besar itu menaikkan tingkatan berpikirnya daripada tingkatan-tingkatan yang dulu saat zaman jahiliyyah dan zaman Islam di Makkah, merasa puas dengan memikirkan lingkungan-lingkungan mereka yang sempit. Kemudian ketika berhijrah dan hidup di zaman Madinah, mereka berpikir seluas daerah negara Islam yang luas batas-batasnya, dan juga berpikir tentang soal-soal militer yang besar dan tentang taktik politik yang penting-penting.
Maka kewajiban kita para ulama sekarang ialah berpedoman pada perjalanan mereka, para sahabat itu, dan berpikir tentang soal-soal umat yang besar, baik soal politik, militer, sipil dan lain-lainnya. Kalau kita tidak suka berlaku demikian maka umat Islam akan tunduk pada orang-orang yang memikirkan soal-soal ini yang terdiri daripada orang luar kita (luar Islam), dan dengan demikian, amanat (kepercayaan) Allah subhanahu wata’ala yang terletak pada bahu kita tentang umat jadi hilang musnah.
Saya minta perlindungan Allah subhanahu wata’ala, jangan sampai kita memilih pemimpin umat yang ringan bebannya, mudah mengerjakannya dan sedikit biayanya, sedang hal-hal yang besar, pekerjaan yang sukar dan biaya-biaya yang banyak kita serahkan kepada pimpinan orang lain. Jika kita berbuat demikian, tentu boleh dikenal firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayah 85, yang berbunyi; “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Bersambung….