Para ulama NU yang menjabat sebagai Rais Aam adalah para kiai yang berakhlak mulia; tawadhu. Dalam penuturan KH Abd Nashir Fattah, Rais Syuriyah PCNU Jombang, keunggulan suara Mbah Bisri itu terjadi dua kali.
“Seingat saya, keunggulan Kiai Bisri atas Kiai Wahab itu sejak Muktamar di Bandung tahun 1967. Tapi dengan akhlak karimahnya beliau tidak bisa menerima selama Mbah Wahab masih sugeng. Hal ini terulang lagi, karena Mbah Wahab semakin uzur, bahkan beberapa minggu atau bulan menjelang Muktamar di Surabaya tahun 1971, Mbah Wahab sempat naza’.
Para santri waktu itu sudah membaca Yasin. Pembacaan Yasin belum selesai, Mbah Wahab bangun dan dawuh, “Wis-wis, lereni mocohi Yasin. Aku minta pada malaikat kalau dipundut, besuk saja setelah muktamar.” Akhirnya Mbah Wahab masih berkesempatan menghadiri Muktamar di Surabaya. Sebagaimana di Bandung, ketidaksediaan Mbah Bisri terulang lagi, meskipun secara aklamasi beliau terpilih.”
“Inilah sifat-sifat mulia yang diwariskan para pendiri NU. Akhlak mulia ini juga juga diwarisi oleh generasi setelahnya. Hingga menjelang Muktamar ke 32 di Makassar tahun 2010, akhlak tersebut mulai terlumuri dengan bermacam-macam syahwat.”
Momentum Muktamar di tempat Rais Akbar, dan dua Rais Aam disemayamkan ini semoga dapat meneruskan nilai keteladanan, kerendahhatian yang telah diwariskan para ulama dan Rais Aam sebelumnya. Semoga di Jombang, pesan persatuan Hadratus Syekh selalu bergema dan bersemayam di hati para muktamirin. Amiin.
Ya Allah, arinalhaqqa haqqan warzuqna ittiba’ah warinalbathila bathilan warzuqna ijtinabah. Wallahu ‘alam bishshawab.
Yusuf Suharto
Direktur PC Aswaja NU Center Jombang