Yunus bin Ubaid adalah saudagar kain di Basrah, Irak. Dia menjual bermacam-macam kain di tokonya. Yang seharga 200 dirham ada, yang seharga 400 dirham juga ada.
Yunus adalah saudagar yang saleh. Setiap waktu salat tiba, dia pergi ke masjid, dan toko dia titipkan kepada keponakannya.
Suatu kali, kala dia sedang pergi ke masjid, tokonya didatangi lelaki badui (a’robi). Dia datang dari pedalaman padang pasir. Dengan polosnya dia bilang hendak membeli kain seharga 400 dirham. Keponakan Yunus mengambilkan kain yang harganya 200 dirham. Si badui terkagum-kagum melihat kain tersebut. Dia jatuh cinta dan, tanpa menawar lagi, dia membayar 400 dirham lalu pergi membawa itu kain.
Di tengah jalan dia berpapasan dengan Yunus yang sudah selesai salat. Yunus langsung mengenali kain di tangan si badui. “Berapa ini kamu beli?” tanya Yunus.
“Empat ratus dirham,” jawab si badui.
“Ah, kain ini tak lebih dari dua ratus dirham,” tukas Yunus. “Ayo balik, kembalikan ini.”
“Tidak apa-apa, aku sudah ridha. Lagi pula di kampung kami kain ini berharga lima ratus dirham.”
“Kembalilah karena berbuat baik dalam agama lebih baik dibanding dunia seisinya,” tegas Yunus.
Badui itu kembali ke toko. Sesampai di toko, uangnya yang 200 dirham dikembalikan oleh Yunus.
Sepulang lelaki badui, terjadi perdebatan. Keponakan Yunus memprotes pamannya. “Tidakkah kamu malu, tidakkah kamu takut pada Allah?! Kau ambil keuntungan yang begitu besar dan kau abaikan perbuatan baik kepada muslimin,” tegas Yunus.
“Demi Allah, dia tidak mengambilnya kecuali karena dia ridha dengannya,” sergah si keponakan.
“Mbok ya kamu mikir, bagaimana seandainya kamu jadi dia? Kamu itu harus menyukai untuk dia apa yang kamu suka untuk dirimu.”
IHSAN
Yunus bin Ubaid bukan orang sembarangan. Dia adalah ulama ahli hadis yang sangat terkenal dari kalangan tabi’ut tabi’in. Dia berasal dari Kufah namun wafat pada tahun 139 H di Basrah.
Ulama kok berdagang? Memangnya kenapa. Berdagang adalah pekerjaan mulia asalkan berdagangnya dengan cara yang benar, dalam arti jujur dan tidak berkhianat. “Pedagang yang jujur dan terpercaya,” sabda Nabi s.a.w., “bersama para nabi, para shiddiqin dan para syahid.”
Imam Yunus adalah saudagar yang jujur dan terpercaya. Tidak hanya jujur dan terpercaya, dia juga berbuat ihsan dalam berdagang, seperti ditunjukkan dalam cerita di atas.
Ihsan adalah sesuatu yang diperintahkan Allah, seperti disebut dalam firman-Nya:
إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي
يعظكم لعلكم تذكرون (النحل: 90)
“Sungguh Allah menyuruh (berbuat) adil, ihsan, memberi pada kerabat, melarang zina, perbuatan mungkar dan kezhaliman. Allah memberi nasihat pada kalian mudah-mudahan kalian ingat.” (An-Nahl: 90)
Lihat, di antara serangkaian kebajikan yang diperintahkan, berbuat adil dan ihsan ditempat pada bagian terdepan. Apakah adil itu?
Adil ialah berbuat sesuatu secara berimbang, timbal balik dan setimpal. Hakim mengganjar penjahat dengan hukuman yang setimpal, itu adil namanya. Membalas perbuatan buruk orang lain dengan perbuatan yang sama, dan membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan yang sama, itu juga adil.
Ihsan adalah berbuat lebih dari itu. Membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan, dan membalas kebaikan orang lain dengan perbuatan yang lebih baik lagi, itulah ihsan. Dengan kata lain, ihsan ialah berbuat baik pada orang lain, lebih dari yang seharusnya dan yang selazimnya, sementara adil adalah berbuat sesuai dengan yang seharusnya dan yang selazimnya.
Adil dalam berdagang ialah menjual dengan jujur dan yang selazimnya. Jujur berarti tidak berbohong serta tidak mengurangi timbangan, takaran atau ukuran. Yang dimaksud “selazimnya” di sini ialah berbuat sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku. Misalnya, menurut adatnya, orang berdagang itu mengambil laba dan melakukan usaha-usaha tertentu supaya orang tertarik untuk membeli, kalau perlu dengan harga yang cukup tinggi, asalkan hal itu dilakukan dengan cara yang jujur dan tanpa paksaan.
Demikian pula, menurut galibnya, orang membeli ingin mendapat barang yang baik dengan harga yang semurah-murahnya. Nah, jika pembeli berusaha menawar sedemikian rupa supaya mencapai maksud tersebut, itu adil namanya. Dengan syarat, dia tidak berbohong dan tidak pula menipu. Lain halnya jika harga murah itu dia peroleh dengan cara mengecoh penjual atau dengan berbohong (misalnya, yang dia ambil barang mahal tapi dia bilang barang yang murah), ini jelas bukan adil.
Adapun ihsan dalam berdagang ialah berbuat melampaui batas keadilan. Misalnya, menjual tidak dengan mengambil laba yang terlalu besar, walaupun si pembeli ridha, seperti diperbuat Imam Yunus tadi.
Dengan demikian, jual beli dengan ihsan ialah jual beli yang penuh kepedulian kepada lawan transaksi. Yakni jual beli dengan keinginan berbuat baik kepada pembeli atau penjual, dengan siapa kita bertransaksi. Jual beli yang tidak merugikan pihak lain. Pendek kata, jual beli ihsan bukan jual beli dengan keinginan meraup keuntungan tanpa memperdulikan pihak lain. Orang lain mau rugi atau tidak, orang lain jadi sengsara atau tidak gara-gara menjual barangnya pada kita atau gara-gara membeli barang kita, kita masa bodo – ini bukan jual beli ihsan namanya, melainkan jual beli yang bengis, yang memangsa pihak lain. Dengan kata lain, jual beli ihsan ialah jual beli dengan lapang dada, ringan tangan dan murah hati. Nabi s.a.w. bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمَحًا إِذَا بَاعً وَإِذَا اْشتَرَى
“Mudah-mudahan Allah merahmati lelaki yang murah hati ketika menjual dan ketika membeli.” (riwayat Al-Bukhari)
Nabi s.a.w. adalah contoh yang paling baik. Jika menjual barang, beliau memberitahukan harga pengambilan barang tersebut. Sebaliknya, jika membeli, beliau memberi lebih dari harga. Misalnya, beliau pernah membeli unta milik Jabir bin Abdullah r.a. dengan harga satu uqiyah (40 dirham). Beliau memerintahkan Bilal membayar 40 dirham lebih, padahal 40 dirham itu saja sudah harga yang sangat bagus karena unta itu bukan unta yang istimewa. Tentu saja Abdullah sangat senang menerima uang pembelian dari Nabi s.a.w.
Sebenarnya Jabir membutuhkan unta itu, yaitu untuk mengairi kebunnya. Tapi 40 uqiyah adalah harga yang bagus. Dengan uang itu ia bisa membeli unta yang lebih bagus, dan masih ada sisanya.
Jabir lalu berjalan pulang sambil membawa uang tersebut. Belum jauh ia melangkah, dia dipanggil Nabi s.a.w. Jabir berpikir dengan hati kebat-kebit, “Pasti unta akan dikembalikan padaku. Tak ada yang lebih menjengkelkan daripada untaku.” Ternyata betul. Beliau memang mengembalikan untanya. Namun uangnya tidak beliau minta. “Ambil unta ini, dan ambil pula uangnya untuk kamu,” sabda beliau. Coba, siapa tidak senang bertransaksi jual beli dengan Nabi s.a.w.
Sayang, kecenderungannya yang terjadi sekarang adalah praktek-praktek yang berlawanan dengan prinsip ihsan. Yang berlaku adalah suatu prinsip: “Kalau barang ini bisa dimahalkan semahal-mahalnya, buat apa dimurahkan.” Itulah yang terjadi, terutama, pada industri-industri besar yang sangat kental warna kapitalismenya. Sebagai contoh, harga pesawat HP dan pulsanya. Dengan memanfaatkan ketidak-tahuan masyarakat konsumen, mereka mematok harga yang begitu mahal. Buktinya, setelah harga yang mahal itu dulu, kini harganya dibanting secara luar biasa.
Memang ini tidak haram. Sebab, berbuat ihsan dalam jual beli itu tidak wajib, sedang yang wajib adalah berbuat adil.
Perlu ditegaskan, mengambil laba yang besar itu tidak haram dengan syarat tidak ada unsur paksaan serta tidak ada unsur kezhaliman. Jika di situ ada unsur kezhaliman, maka haram hukumnya. Misalnya, dengan membohongi pembeli, entah melalui iklan-iklan yang menyesatkan atau suatu trik yang mengecoh. Yang terakhir ini, contohnya, adalah harga ikan Lou Han. Melalui rekayasa yang luar biasa canggihnya, orang dibikin tersihir sehingga mau membayar mahal hingga puluhan juta untuk satu ikan yang nilai sejatinya tak mencapai Rp 100 ribu. Buktinya, ketika rekayasa itu kini tidak ada lagi, harganya merosot begitu drastis.
Menimbun adalah satu cara lain yang cukup efektif untuk membuat harga jadi mahal. Bila yang ditimbun itu bahan pangan pokok, maka haram hukumnya. Terutama di saat-saat terjadi kelangkaan barang. Begitu pula dengan barang-barang lain yang, meski bukan makanan pokok, tetapi merupakan hajat hidup orang banyak yang bersifat darurat, sehingga penimbunan bakal menyengsarakan orang banyak. Menurut banyak ulama, barang seperti ini diqiyaskan dengan makanan pokok. Contohnya adalah: gula, minyak goreng dan (yang lagi ramai) minyak tanah. Di saat terjadi kelangkaan seperti sekarang, menimbun adalah perbuatan yang zhalim dan haram.