Bersimpuh Di Makam RASULULLAH SAW.

 TAWASSUL

Sejak masa sahabat sampai saat ini. Umat muslim dari segala penjuru tidak ada henti-hentinya datang ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW terutama setelah menunaikan ibadah haji. Tidak ada satu pun ulama yang mengingkari hal ini. Semua ulamaahlu sunnah yang terpercaya menyepakati bahwa bepergian untuk berziarah ke makam Nabi SAW adalah satu di antara ibadah yang paling utama. Satu dari bentuk pengagungan dan rasa syukur atas jasa besar Rasulullah SAW yang tidak mungkin bisa dibalas.

 

Adanya sempalan umat Islam yang mengaku mencintai mencintai Nabi SAW namun menyatakan bahwa perjalanan untuk menziarahi makam Nabi SAW adalah perbuatan maksiat sungguh sangat mengherankan. Bukankah aneh, mereka memperbolehkan segala jenis perjalanan baik untuk perdagangan, mengunjungi kerabat dan lainnya namun ketika yang dikunjungi itu adalah tempat jasad mulia Nabi Muhammad SAW, Sang kekasih Allah, mereka justru mengharamkannya dengan sangat keras. Terlebih dalil yang mereka gunakan sangat dangkal dan bertentangan dengan banyak dalil shahih.

 

Yang benar bahwa melakukan perjalanan ke makam Rasulullah SAW adalah perbuatan yang sangat dianjurkan berdasarkan al Quran, sunnah, qiyas dan Ijma. Kami akan merinci satu per satu dalil-dalil ini.

 

Ziarah dalam al Quran

Di dalam al Quran Allah SWT berfirman :

 

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا [النساء: 64[

 

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS an Nisa 64)

 

Ayat di atas berisi anjuran untuk mendatangi Rasulullah SAW untuk mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Allah SWT. Para ulama, di antaranya adalah Ibnu Hajar dan as Subki menyatakan bahwa ayat ini berlaku baik di masa hidup Nabi SAW mau pun setelah beliau wafat. Siapa yang berpendapat bahwa ayat ini berlaku khusus di masa hidup Nabi SAW saja telah keliru. Selain karena tidak ada dalil yang mengkhususkan, juga karena dalam ayat ini terdapat perbuatan yang digantungkan dengan suatu syarat yakni pengampunan yang digantungkan dengan syarat mendatangi Rasulullah SAW. Dalam kaidah ilmu Ushul dikatakan apabila perbuatan digantungkan dengan satu syarat maka ini menunjukkan makna umum, berarti ayat ini bermakna umum.

 

Para ulama tafsir sekelas al Qurtubi dan Ibnu Katsir pun memahami keumuman ayat ini. Buktinya setelah membawakan tafsir ayat ini, mereka mendatangkan kisah Utbi mengenai kedatangan seorang Arab ke makam Rasulullah SAW untuk memohon ampun dengan membacakan ayat ini di hadapan makam Rasulullah SAW.  Ini artinya ayat ini masih berlaku setelah wafatnya Rasulullah SAW. Para ulama pun menganjurkan bagi peziarah untuk membacakan ayat ini ketika menziarahi makam Beliau SAW.

 

Qiyas

Dalil lain anjuran menziarahi Nabi SAW adalah keumuman hadits :

 

فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ لِأَنَّهَا تُذَّكِرَ الْمَوْتَ

 

Berziarah kuburlah sebab itu dapat mengingatkan kematian. (HR Muslim)

 

Jika menziarahi kubur manusia biasa dianjurkan maka secara qiyas bisa dikatakan bahwa menziarahi Nabi Muhammad SAW adalah lebih dianjurkan lagi. Karena bagaimana bisa menziarahi manusia biasa dianjurkan namun menziarahi manusia terbaik, makhluk Allah yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW terlarang ?

 

Hadits

Para pengingkar ziarah ke makam Rasulullah SAW menebar isu bahwa semua hadits yang menganjurkan ziarah kubur adalah dhaif (lemah) bahkan maudhu (palsu) sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Ucapan ini jelas keliru. Yang mengatakannya pasti tidak memiliki pemahaman tentang ilmu hadits dan kaidah jarh wat ta`dil (cacat dan keadilan perawi). Dan yang paling penting isu ini bertentangan dengan fakta yang ada.

 

Dalam satu hal isu ini benar bahwa hampir semua hadits ini lemah (bukan maudhu), namun perlu diketahui bahwa hadits-hadits lemah apabila memiliki banyak jalur periwayatan dan sebab lemahnya bukan karena perawinya dicurigai berbohong maka derajatnya bisa meningkat menjadi hasan (baik) sehingga bisa menjadi dalil syariat. Imam Adz Dzahabi sebagaimana dikutip dalam al Maghosid al Hasanah ketika menjelaskan masalah hadits ziarah kubur mengatakan, “Jalur-jalur periwayatan hadits ini semuanya lemah namun saling menguatkan satu sama lain karena tidak ada perawi yang dicurigai sebagai pembohong.”

 

Sebagian hadits-hadits tentang ziarah bahkan dishahihkan oleh beberapa Ahli Hadits terkemuka seperti as Subki, Ibnu Sakan, al Iraqi, Qodhi Iyadh, Mala Ali Qori, Asy Syuyuthi, al Khafaji dan lainnya. Mereka semua adalah para panutan dan imam yang dijadikan sandaran. Para Imam yang empat semuanya menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW adalah dianjurkan. Jika demikian maka ini cukup menjadi dasar atas shahih dan diterimanya hadits-hadits ziarah. Sebab dalam kaidah ilmu Ushul dan Hadits dikatakan, suatu hadits dhaif (lemah) bisa menjadi kuat bila diamalkan dan difatwakan secara umum.

 

Di antara hadits-hadits ziarah adalah hadits riwayat sahabat Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 

مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ

 

Siapa yang menziarahi kuburku maka wajib atasnya syafaatku.

Hadits ini diriwayatkan oleh ad Daruqutni dalam Sunannya, Qodhi Iyadh dalam as Syifa, Hakim Turmudzi dalam Nawadir, ad Daulabi dalam al Kuna. Derajat hadits ini paling sedikit adalah hasan (baik).

 

Al Hafidz Suyuthi dalam al Manahil mengatakan, “Hadits ini memiliki jalur-jalur dan penguat-penguat yang menyebabkan Adz Dzahabi menghasankannya.” Al Munawi dan Mala Ali Qori menyatakan hal yang sama. As Subki dalam Syifa As Siqom setelah menyebutkan jalur-jalur periwayatannya mengatakan, “Menjadi jelas bahwa derajat hadits ini paling sedikit adalah hasan dan sebagian ulama bahkan mengklaim hadits ini shahih.” Pendapat mengenai hasannya hadits ini juga dipastikan oleh Syaikh Mahmud Said Mamduh.

 

Dalam riwayat lain dari Sahabat Ibnu Umar ra dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 

مَنْ جَاءَنِيْ زَائِرًا لَا يُهِمَّهَ إِلَّا زِيَارِتِيْ كَانَ حَقًّا عَلَيّ أَنْ أَكُوْنَ لَهُ شَفِيْعاً

 

Siapa yang datang kepadaku untuk berziarah. Ia tidak memiliki tujuan lain selain berziarah kepadaku maka wajib bagiku untuk menjadi pemberi syafaat baginya di hari kiamat.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Athabrani dalam al Kabir, dan Ad Daruqutni dalam Sunannya.

Al Haitsami dalam Majma Zawaid mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perawi bernama Muslim bin Salim dan dia dhoif (lemah).” Namun sebenarnya paling sedikit derajat hadits ini adalah hasan melihat banyak jalur yang saling menguatkan. Sebagian ulama seperti al Hafidz Bushiri dan Ibnu Sakan menganggap hadits tersebut shahih.

 

Dalam riwayat lain Sahabat Ibnu Umar ra meriwayatkan sabda Nabi SAW:

 

مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ فِيْ مَمَاتِيْ كَانَ كَمَنْ زَارَنِيْ فِي حَيَاتِيْ

 

Siapa yang berhaji kemudian menziarahi kuburku setelah aku mati maka seakan ia menziarahiku ketika aku masih hidup.

Hadits ini diriwayatkan ath Thabrani dalam al Kabir dan al Aushat. Salah satu perawinya bernama Hafsh bin Abi Dawud. Imam Ahmad menganggapnya terpercaya namun Sebagian ulama menganggapnya lemah.

 

Ada pula hadits :

 

مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِيْ فَقَدْ جَفَانِيْ

 

Siapa yang berhaji namun tidak menziarahiku maka ia telah menjauhiku.

Hadits ini diriwayatkan ad Daruqutni dan Ibnu Hibban. Di dalamnya ada perawi bernama Nu`man bin Syabl yang sangat lemah, namum Imran bin Musa menganggapnya terpercaya. Al Bazar meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Ibrahim al Ghifari dan ia adalah perawi dhaif. Al Baihaqi meriwayatkan hadits ini dari Sayidina Umar namun ia berkata dalam sanadnya terdapat orang yang tidak dikenal.

 

Dan masih banyak hadits lainnya. Kesimpulannya bahwa hadits-hadits yang menunjukkan kesunahan ziarah ke kubur Nabi SAW secara khsusus  ada yang  sampai derajat hasan bahkan ada yang yang dishahihkan sebagian imam ahli hadits. Jadi hadits-hadits tersebut layak untuk dijadikan dalil. Sungguh tidak tahu malu orang yang menghukumi semua hadits-hadits itu dengan maudhu (palsu) sebagaimana dikatakan sebagian orang yang tidak mengerti.

 

Ijma

 

Kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah SAW juga didukung dengan Ijma (kesepakatan) para ulama salaf yang diakui. Ijma ini dikutip oleh ulama-ulama yang terpercaya.

 

Qodhi Iyadh al Maliki dalam kitabnya Asyifa mengatakan, “Ziarah ke kubur Nabi SAW adalah satu sunah daripada sunah-sunah kaum muslimin yang disepakati dan satu keutamaan yang dianjurkan.”

 

Dalam kitab al Madkhal, Imam Ibnul Haj al Hanbali mengatakan, “Ibnu Hubairah menukilkan dalam kitabnya Ittifaq `aimmah (kesepakatan para imam): Bersepakat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, dan Ahmad ra bahwa menziarahi makam Nabi SAW adalah sunnah. Abdul Haq dalam Tadzhib at Thalib mengutip dari Abi Imran al Fasi bahwa menziarahi makam Nabi SAW adalah wajib. Abdul Haq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wajib adalah sunnah yang sangat ditekankan.”

 

Syaikh Ibnu Abidin al Hanafi dalam Radul Mukhtar mengatakan “Perkataan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW dihukumi sunah adalah berdasarkan kesepakatan umat muslim sebagaimana yang disebutkan dalam al Lubab.”

 

Imam Ibnu Hajar al Haitami asy Syafii dalam al Jauhar al Munadzom mengatakan, “ Mengenai kesepakatan tentang disyariatkannya ziarah ke makam Rasulullah SAW itu telah dinukilkan oleh beberapa Imam penjaga syariat yang mulia yang menjadi panutan dalam penyebutan khilaf. Yang diperselisihkan di antara mereka hanya mengenai hukumnya apakah wajib atau sunnah. Mayoritas salaf dan khalaf menyatakan sunah bukan wajib. Berdasarkan yang mana saja dari dua pendapat ini maka berziarah dengan segala hal yang menunjang untuk melakukannya seperti melakukan perjalanan jauh walaupun dengan mengkhususkan niat untuk berziarah saja tanpa ada niat beritikaf atau shalat di masjidnya SAW termasuk ibadah yang paling utama dan usaha yang paling mendatangkan hasil.”

 

Selain mereka masih banyak ulama yang mengutip kesepakatan mengenai anjuran berziarah ke makam Rasulullah SAW baik bagi yang dekat mau pun yang jauh. Di antaranya adalah Taqiyudin al Hishni dalam Daf`u Syubahi man Syabbaha wa Tamarrad, As Subki dalam Syifau Siqom, Nuruddin as Samhudi dalam Wafaul Wafa dan ulama lainnya.

 

Bepergian untuk berziarah

Dalil-dalil yang telah disebutkan menunjukkan bahwa semua ulama ahlus sunnah wal jamaah tidak mengingkari anjuran menziarahi makam Nabi SAW. Kemudian ada satu masalah yang diperselisihkan para pengingkar ziarah Nabi SAW yaitu masalah perjalanan untuk berziarah. Semestinya hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Sebab ziarah itu menuntut untuk melakukan perjalanan. Tidak mungkin ada ziarah tanpa ada perjalanan menuju tempat yang diziarahi. Jika ziarah ke makam Nabi adalah sunah sudah tentu melakukan perjalanan menujunya adalah sunah pula sesuai dengan kaidah “perantara untuk yang sunah adalah sunah”. Oleh karena itu para sahabat dan ulama sejak dahulu sampai kini senantiasa melakukan dan menganjurkan untuk melakukannya. Di antara kisah shahih dan terkenal mengenai perjalanan dengan tujuan ziarah Nabi SAW adalah perjalanan ziarah sahabat Bilal ra.

Perjalanan ziarah Sahabat bilal RA 

Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanad yang jayid (baik) dari Sahabat Abu Darda ra kisah menetapnya Bilal bin Rabbah di daerah bernama Dariya setelah Sahabat Umar bin Khathab ra membebaskan Baitul Maqdis. Ia berkata, “Kemudian Bilal melihat Nabi SAW dalam mimpinya. Rasulullah SAW bertanya, “ Apa arti jauhnya dirimu ini wahai Bilal? Tidakkah sudah tiba waktu bagimu untuk menziarahiku?” Bilal terbangun dalam keadaan sedih dan takut. Ia segera melakukan perjalanan menuju Madinah dan mendatangi kubur Nabi SAW. Ia menangis di sana dan mengusapkan wajah di atas kubur beliau SAW…”

Kisah ini diriwayatkan pula oleh as Samhudi dalam Wafaul Wafa. Al Mizi dalam Tahdzibmenukil perkataan As Subki bahwa sanad riwayat kisah ini adalah baik. Begitupula Asyaukhani mengatakan dalam Nailul Author bahwa sanad riwayat Ibnu Asakir adalah baik.

Kesimpulan kisah ini bukan tentang mimpi sahabat Bilal saja, namun adalah perjalanan beliau ra dari Dariya menuju Madinah hanya untuk menziarahi makam Rasulullah SAW. Seandainya perjalanan untuk berziarah adalah haram, tidaklah mungkin beliau yang merupakan seorang sahabat besar melakukannya tanpa diinkari seorang pun dari sahabat termasuk Sayidina Umar ra yang terkenal keras.

 

Sanggahan-sanggahan 

Kali ini kita akan memaparkan dalil-dalil yang dijadikan argumen untuk mengharamkan perjalanan ziarah ke makam Nabi SAW.

Dalil utama mereka adalah hadits Nabi SAW :

 

 لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِى هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

 

Tidak disiapkan kendaraan (untuk bepergian) kecuali kepada tiga masjid. Masjidku ini, Masjidil haram dan masjidil Aqsho.

 

Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Para ulama salaf semenjak masa sahabat telah mendengar hadits ini, namun tidak ada yang memahaminya sebagai dalil larangan perjalanan ziarah makam Nabi SAW. Ibnu Taimiyah adalah manusia pertama yang mempopulerkan larangan perjalanan ziarah berdasarkan hadits ini dan pendapat beliau ini dinilai para ulama sebagai kekeliruan fatal yang ajaib.

 

Al Qasthalani mengatakan, “Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang amat buruk dan ajaib dalam masalah ini. Intinya beliau melarang bepergian untuk menziarahi Nabi dan tidak menganggapnya sebagai ibadah bahkan sebaliknya. Pendapatnya disanggah oleh Taqiyudin Asubki dalam Syifaul Siqom yang meredakan hati umat muslim.”

 

Kata ‘ajaib’ memang layak untuk menggambarkan pendapat yang jelas bertentangan baik dari segi nalar bahasa mau pun syariat ini. Munculnya pendapat ini dari orang sekelas Ibnu Taimiyah adalah keajaiban.

 

Dari segi nalar bahasa, sabda Nabi SAW, “Janganlah bepergian kecuali kepada tiga masjid,” adalah suatu kalimat yang mengandung perkecualian (istitsna). Dalam Bahasa Arab kalimat semacam ini harus memiliki hal yang dikecualikan (mustatsna) dan hal yang menjadi sumber perkecualian (mustatsna minhu). Dalam hadits tersebut mustastnadisebutkan dengan jelas yaitu tiga masjid. Yang menjadi pertanyaan adalah, Apamustatsna minhunya?

 

Jika kita kirakan mustatsna minhunya adalah tempat secara umum termasuk makam Nabi SAW. Makna ayat itu menjadi, “Jangan bepergian ke semua tempat kecuali kepada tiga masjid.” Berarti semua bentuk safar (bepergian) baik untuk tujuan silaturahmi, berdagang, menuntut ilmu, berziarah dan lainnya merupakan perbuatan maksiat, kecuali safar menuju tiga masjid tersebut. Pemahaman seperti ini tentu saja tidak tepat, karena bertentangan dengan ayat-ayat Al Quran, hadits, dan terutama akal sehat.

 

Jika kita kirakan mustatsna minhunya adalah kuburan agar menjadi tepat sebagai dalil larangan perjalanan ziarah maka makna hadits tersebut menjadi, “Jangan kalian bepergian kepada kuburan kecuali kepada tiga masjid.” Ini makna yang sangat rancu, memaksa, dan tidak sesuai dengan kefasihan Nabi SAW yang terkenal.

 

Kaidah usul menyatakan bahwa mustatsna dan mustatsna minhu seharusnya adalah jenis yang sama kecuali jika yang dimaksud adalah makna majas (kiasan). Hadits tersebut tidak memiliki indikasi untuk diarahkan kepada makna majas. Maka yang paling sesuai dengan kaidah ushul, bahasa serta syariat adalah menyamakan jenis mustatsna dengan mustatsna minhu. Karena disini mustatsnanya adalah masjid maka seharusnya mustatsna minhunya adalah masjid pula. Jadi makna hadits ini adalah, “Jangan bepergian ke semua masjid kecuali tiga masjid saja.” Inilah makna yang benar, logis dan sesuai dengan kefasihan Nabi SAW yang terkenal.

 

 

Makna inilah yang dipilih para ulama seperti Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan Badrud Din al `Aini dalam Umadatul Qari dan ulama lainnya. Makna ini juga dikuatkan oleh hadits yang tegas menyebutkan mustatsna minhunya, yaitu hadits :

 

لَا يَنْبَغِيْ لِلمطِيّ أَنْ تُشَّدَّ رِحَالُهَا إِلَى مَسْجِد تُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلَاةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِيْ هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

 

Tidak layak disiapkan kendaraan (untuk bepergian) kepada masjid yang dituju untuk shalat di dalamnya selain masjid haram, masjidku ini dan masjidil aqsha. (HR Ahmad)

 

Ini adalah hadits hasan menurut Imam Syaukhani dalam Nailul Author. Dari sini, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan :

 

Pertama, yang dilarang adalah bepergian menuju suatu masjid selain Masjid yang tiga, dengan kata lain hadits ini tidak membahas mengenai bepergian menuju selain masjid. Maka menjadikannya sebagai dalil untuk larangan perjalanan ziarah Nabi SAW atau bersilaturahmi kepada para sholihin sangat tidak tepat sasaran. Telah shahih bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan untuk menziarahi makam Baqi dan Uhud sebagai bentuk penghormatan kepada para sahabatnya yang mulia.

 

Kedua, perkataan “kepada masjid yang dituju untuk shalat di dalamnya” menunjukkan bahwa larangan yang disampaikan Rasulullah SAW hanya berlaku Jika kita bernazaruntuk shalat di dalam masjid yang kita tuju. Artinya jika kita mengunjungi masjid selain tiga masjid tersebut dengan tujuan mengambil berkah atau tujuan lainnya, maka itu tidaklah dilarang. Ini sesuai dengan apa  yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu Umar ra dengan MasjidQuba` atau Sahabat Abu Hurairah ra dengan Masjid Asyar`.

 

Perlu diperhatikan bahwa hadits tersebut bukan ditujukan untuk melarang bepergian ke masjid lain melainkan untuk menunjukkan keutamaan ketiga masjid yang disebutkan Rasulullah SAW dan juga keutamaan menziarahinya

 

Dikhususkannya penyebutan tiga masjid untuk shalat, karena  memang pahala shalat yang dikerjakan di dalam ketiga masjid tersebut dilipat-gandakan, sedangkan dalam masjid-masjid lain pahala shalat sama saja. Oleh karena itu bepergian dengan tujuan shalat di suatu masjid selain tiga masjid tersebut dianggap sebagai hal yang percuma dan hanya membuang waktu saja. Semua masjid sama keutamaannya baik yang dekat mau pun yang jauh kecuali tiga masjid tersebut.

 

Bepergian untuk ziarah

Bepergian dengan niat ziarah ke makam Rasulullah SAW adalah sunah sama dengan hukum berziarah itu sendiri. Ibnul Haj al Maliki dalam Madkhal hal 254 menyatakan, “Siapa yang pergi dengan hanya meniatkan ziarah ke makam Nabi, ia telah melakukan perjalanan untuk ketaatan yang terutama.”

Ibnu Hajar Asyafi`i dalam Fatawanya juz 2 hal 24 dengan tegas menyatakan. “Ziarah kubur wali adalah ibadah yang sunah begitupula melakukan perjalanan untuknya.” Jika perjalanan menuju makam para wali dihukumi sunah maka bagaimana dengan perjalanan menuju makam Nabi Muhammad SAW?

 

Al Alamah Kasymiri dalam salah satu komentarnya menyatakan, “Berjuta salaf melakukan perjalanan ziarah Nabi saw dan menganggapnya sebagai ibadah yang paling agung. Hanya berniat mengunjungi masjid saja tanpa niat ziarah kubur Nabi SAW adalah salah. Mereka secara pasti telah meniatkan ziarah Nabi.” (Faidhul Bari juz 21 hal 433)

 

Syaikh al Bahuti al Hanbali dalam Kasyful Qona juz 2 hal 598 mengatakan, “Ibnu Nasrullah berkata,  Jika menziarahi kubur hukumnya sunah maka otomatis melakukan perjalanan menujunya juga sunah.”

 

Tidak perlu kiranya disebut satu per satu ucapan ulama mengenai hal ini setelah kita ketahui bersama bahwa mereka menyepakati kesunahan ziarah kubur Nabi SAW.

 

Perkataan Imam Malik ra

Imam Malik ra sebagaimana dinukilkan Ibn Rusyd al Maliki dalam al Bayan wat Tafsilpernah mengatakan, “Aku tidak menyukai jika ziarah kepada baitul haram dikatakan ziarahdan aku tidak suka perkataan  Aku menziarahi Nabi atau yang lebih tidak aku sukai perkataan bahwa Nabi Diziarahi.”

Para pengingkar ziarah Nabi SAW menganggap perkataan ini adalah bukti bahwa Imam Malik ra membenci ziarah kubur Nabi SAW. Anggapan mereka sebenarnya adalah bukti nyata kebodohan dalam memahami ucapan Beliau ra. Jelas bahwa yang diingkari Imam Malik ra adalah penggunaan kata “ziarah” karena diangap kurang layak bukan ziarahnya itu sendiri.

 

Ibnu Rusyd al Maliki dalam komentarnya mengenai ucapan Imam Malik ta mengatakan, “Imam Malik tidak menyukai ini karena derajat kelayakan kata-kata itu berbeda. Kata ziarah biasa digunakan kepada orang yang sudah mati oleh sebab itu beliau tidak suka kata ini disandarkan kepada Nabi SAW.(sebab Nabi SAW hidup di dalam kuburnya. red)”

 

Menjadikan Kuburan Sebagai Ied

Dalil lain yang digunakan mereka adalah hadits :

 

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا

 

Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan dan jangan kalian jadikan kuburku seperti ied (hari raya). (HR Abu Dawud)

 

Hadits ini tidak memiliki kaitan dengan ziarah kubur. Makna menjadikan kubur Nabi SAW seperti Ied (hari raya) adalah perintah untuk menjaga adab di makam Nabi SAW. Jangan membuat keramaian seperti orang yang merayakan hari raya. Pada masa itu, para ahli kitab merayakan hari rayanya dengan tenggelam pada permainan, kemegahan dan kelalaian sambil menziarahi makam para nabi dan orang shaleh mereka. Nabi SAW melarang umatnya untuk menyerupai mereka ketika menziarahinya. Peziarah hendaknya tenggelam dalam taubat, doa, mengharapkan berkah dan menjaga adab yang layak seakan beliau masih hidup.

 

Ini dikuatkan dengan atsar yang diriwayatkan Abdur Razaq dalam Mushonaf bahwa Hasan bin Hasan pernah melihat satu kelompok berkumpul di dekat makam Nabi SAW. Beliau pun menegur mereka seraya mengucapkan hadits, “Jangan kalian jadikan kuburku seperti ied.”

 

Ini karena umumnya jika manusia berkumpul mereka membuat keramaian. Atsar ini menguatkan pendapat yang mengarahkan hadits tersebut pada larangan berbuat tidak layak ketika berziarah bukan larangan untuk ziarah itu sendiri.

 

Ada pula ulama yang mengatakan maksud menjadikan kubur beliau seperti hari raya adalah anjuran untuk memperbanyak ziarah ke makam Nabi SAW. Jangan memperlakukan makam beliau SAW seperti hari raya yang hanya datang dua kali dalam setahun. Sedangkan Imam As Subki menyatakan bahwa maknanya adalah larangan untuk mengkhususkan hari berziarah. Seorang muslim seharusnya berziarah kapan pun ada kesempatan jangan mengkhususkan hari ziarah sebagaimana hari raya.

 

Jangan Jadikan Kuburku Berhala

Dalil lain yang biasa mereka paparkan adalah hadits :

 

 اللهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا لَعَنَ اللهُ قَوْمًا اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

 

Ya Allah jangan jadikan kuburku berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kubur para nabinya masjid-masjid. (HR Ahmad)

 

Doa Nabi SAW adalah doa yang terkabulkan. Jadi hadits ini justru adalah dalil bahwa kuburan Nabi SAW tidak mungkin dijadikan berhala oleh umatnya sebanyak apa pun mereka menziarahinya dan sebesar apa pun pengagungan mereka kepadanya. Ini dikuatkan dengan sabda Nabi SAW :

 

وَإِنِّي وَاللَّهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي

 

Sungguh demi Allah aku tidak takut kalian akan kembali musyrik setelahku. (HR Bukhari-Muslim)

 

Hadits tersebut menjadi bukti bahwa perbuatan kaum muslim semenjak dahulu sampai kini dengan menziarahi makam beliau SAW bukanlah bentuk kesyirikan. Bahkan itu adalah ibadah yang kesunahannya telah disepakati oleh para ulama.

 

Mengenai masuknya makam Nabi SAW ke dalam masjid Nabawi karena perluasan masjid,  itu dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis berdasarkan perintah khalifah ketika itu. Di masa itu masih ada sisa para sahabat dan pembesar tabiin seperti Hasan al Bashri, Ibnu Sirin dan lainnya. Mereka semua dan umat Islam yang ada menyepakati perluasan ini dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menentang. Seandainya perbuatan ini dilarang pastinya mereka tidak akan diam atas kemunkaran dan kesesatan.

 

Masuknya makam Nabi SAW menjadi bagian masjid Nabawi bukanlah hal dilarang sebab makna larangan menjadikan kubur para nabi sebagai masjid adalah menjadikannya tempat sujud (masjid secara bahasa artinya tempat sujud) untuk disembah dan diibadahi sebagaimana kaum musyrik bersujud kepada berhala dan patung. Sedangkan makam Beliau SAW tidak pernah diperlakukan seperti itu.

 

Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukilkan pendapat al Baidhowi, “Ketika kaum Yahudi dan Nasrani mengagungkan kubur nabi-nabinya dengan bersujud. Menjadikannya sebagai kiblat shalat dan  menjadikannya sebagai berhala. Maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim untuk menirunya. Ada pun membuat masjid di dekat kubur orang sholeh dengan maksud tabaruk dengan kedekatannya bukan untuk pengagungan dan bukan pula untuk dijadikan kiblat maka itu tidak termasuk ke dalam ancaman ini.”

 

Sedangkan mengenai riwayat hadits yang mengatakan, “Apabila seorang shaleh dari mereka (orang kafir) mati maka mereka membangun masjid di atasnya dan membuat patung-patung. Merekalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari kiamat.”

 

Yang dicela dalam hadits ini bukan pembuatan masjidnya namun adalah pembuatan berhala dan penyembahan yang terjadi di dalamnya. Imam Al Ubiy dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan. “Yang jelas bahwa hadits ini adalah celaan bagi mereka yang memahat patung  dan menyembahnya. Adapun jika ia hanya memahat saja maka bisa jadi ia termasuk golongan manusia yang buruk berdasarkan hadits tentang larangan membuat patung. Celaan kepada mereka bukan karena membangun masjid di atas kubur tapi karena memahat pahatan dan patung untuk disembah selain Allah.”

 

Demikian paparan ringkas dari kami. Semoga kita senantiasa berada di dalam petunjuk Allah SWT dan dilindungi dari segala macam pemikiran yang menyimpang.

 

Sebarkan Kebaikan Sekarang
loading...

Avatar

Forsan Salaf has written 242 articles

Forsan Salaf adalah situs yang dikelola Yayasan Sunniyah Salafiyah. Memuat bahasan-bahasan ilmiah yang mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Seluruh isi telah disaring dan dikaji ulang oleh sebuah tim yang berada di bawah pengawasan Habib Taufik bin Abdulkadir Assegaf.

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>