Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam
Dalam Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama'[1]
Hasil Munas Alim Ulama di Lampung 1992
A. Penjelasan Umum
1. Yang dimaksud dengan kitab adalah kutub al-madzahib al-arba’ah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
2. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qawli adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup salah satu al-madzahib al-arba’ah.
3. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab empat.
4. Yang dimaksud dengan istinbath jama’iy adalah mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya dengan qawaid ushuliyyah secara kolektif.
5. Yang dimaksud dengan qawl dalam referensi madzhab Syafi’i adalah pendapat imam Syafi’i.
6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama’ madzhab Syafi’i.
7. Yang diamaksud dengan taqrir jama’iy adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajah dalam madzhab Syafi’i.
8. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazhairiha) adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah jadi).
B. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
1. Kerangka Analisa Masalah
Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah, antara lain sebagai berikut :
a. Analisa Masalah (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari berbagai faktor antara : ekonomi, politik, budaya, sosial dan lainnya.
b. Analisa Dampak (dampak positif dan negativ yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang sedang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek, antara lain : sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan lainnya.
c. Analisa Hukum (keputusan bahtsul masail tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang), disamping mempertimbangkan hukum Islam, keputusan ini juga memperhatikan hukum yuridis formal.
2. Prosedur Penjawaban
Keputusan bahtsul masail dilingkungan NU dibuat dalam kerangkabermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadzhab secara qawli. Oleh karena itu prosedur penjawaban masail disusun dalam urutan sebagai berikut :
a. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba’ah dan disana terdapat hanya satu pendapat, maka dipakailah pendapat tersebut.
b. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama’iy untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut :
1) Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan/atau yang lebih kuat.
2) Khusus dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan keputusan muktamar I tahun 1926, perbedaan pendapat diselesaikan dengan cara memilih :
• Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’i)
• Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
• Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i.
• Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama’.
• Pendapat ulama’ yang terpandai.
• Pendapat ulama’ yang paling wara’.
3) Untuk madzhab selain Syafi’i berlaku ketentuan-ketentuan menurut madzhab yang bersangkutan.
c. Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masail bi nazhairiha secara jama’iy oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaqbih dan wajah ilhaq oleh mulhiq yang ahli.
d. Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukanistinbath jama’iy dengan prosedur bermadzhab secara manhajioleh para ahlinya, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyyah oleh ahlinya.[]
Dari keputusan diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian masail diniyyah waqi’iyyah dilingkungan dan tradisi NU sedapat mungkin ditempuh dengan bermadzhab secara qawli. Kemudian apabila cara itu tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu kasus masalah, maka ditempuh bermadzhab secara manhajiy. Keputusan ini memang ditetapkan belum seberapa lama, namun praktek dari keputusan sudah menjadi tradisi dalam setiap pembahasan masail dikalangan masyarakat warga NU sejak tahun berdirinya 1926 dan bahkan sebelumnya.
Adapun alur pembahasan masail diniyyah waqi’iyyah dilingkungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Penerimaan masail waqi’iyyah dari tingkatan organisasi dibawahnya, perorangan atau kelompok masyarakat.
2. Masail yang diajukan biasanya sudah pernah dibahas dalam forum bahtsul masail ditingkat bawah, namun belum terpecahkan (mauquf) atau belum terjawab dengan jawaban yang memuaskan.
3. Identifikasi dan penyeleksian masail guna memilih dan memilah masail yang akan dibahas dalam majlis pembahasan.
4. Pembahasan masail dengan merujuk pada kitab-kitab klasik maupun mu’asharah yang ditulis oleh ulama’ madzhab empat khususnya madzhab Syafi’i.
5. Penjawaban masail beserta argumentasi dan kitab rujukannya dipandu pimpinan sidang dan pengawasan team perumus dan dewan tashheh.
6. Pimpinan sidang menyimpulkan rumusan jawaban sesudah mempertimbangan hasil analisa jawaban oleh team perumus dan selanjutnya ditawarkan kepada peserta bahtsul masail guna mendapatkan persetujuan.
7. Rumusan jawaban sedapat mungkin dilengkapi dengan dalil al-Qur’an beserta tafsirnya dan al-Hadits beserta syarahnya.
8. Rumusan jawaban yang telah mendapat persetujuan lalu dimintakan tashheh dari dewan tashheh terdiri dari para ulama’/kyai dijajaran syuriyah.
Surabaya, 17 Muharram 1430 H/14 Januari 2009
TTD
Pimpinan LBM Nahdlatul Ulama’ Wilayah Jawa Timur
________________________________________
[1] Hasil keputusan Munas Alim Ulama’ Nahdlatul Ulama’ tahun 1992 di Lampung dan hasil keputusan Muktamar NU XXXI tahun 2004 di Boyolali.