Bahtsul Masail (LBM) PCI-NU Yaman

LAJNAH BAHTSUL MASAIL (LBM) PCI-NU YAMAN MENGGELAR BAHTSUL MASAIL SHUGRO

6

Tarim – (15/04) Lajnah Bahtsul Masail (LBM) PCI-NU Yaman menggelar acara diskusi bahtsul masa’il sughro yang bertempat di musala bawah apartemen sakan dakhiley mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff.

Acara yang dimulai pukul 20.30 KSA itu dipimpin oleh salah satu anggota Lajnah Bahtsul Masail (LBM) PCI-NU Yaman, saudara Midad al-Humaidy selaku moderator. Di awal acara,santri asal pondok Sarang itumemaparkan sistem bahtsul masail yang akan digunakan serta mendeskripsikan masalah yang akan dirundingkan.

Pada sesi pendeskripsian masalah,kang Midad, panggilan akrab mahasiswa asal Jawa Tengah itu,menjelaskan bahwa pada zaman sekarang ini sering terjadi sebuah transaksi jual beli yang terkadang tidak memenuhi rukun dari akad jual beli tersebut. Seperti ketika ada seorang penjual minuman kaleng yang menjajakan barangnya dengan menaruhnya di sebuah mesin di area yang strategis, kemudian para pembeli bisa membelinya dengan cara memasukkan uang mereka ke dalam mesin tersebut dan menekan tombol sehingga  keluarlah minuman kaleng yang diinginkan. Ataupun ketika seorang penjual bakwan di sebuah warung menaruh gorengannya di sebuah kardus di atas meja, serta menulis keterangan di sebuah kertas yang bertuliskan : “Harga Rp. 500,00 & bayar disini” sehingga datanglah para pembeli dan langsung menyantapnya tanpa membayar terlebih dahulu atau membayar di tempat akan tetapi sang penjual tidak ada disana.

Adapun pertanyaannya, dalam perspektif fikih Islam dinamakan transaksi jenis apakah praktek jual beli seperti yang telah terjadi diatas? Apa hukum mengkonsumsi makanan tersebut? Apabila hukumnya haram, apa solusi yang ditawarkan untuk mengantisipasi transaksi yang sudah mewabah ini?

Mengerucut ke pertanyaan yang pertama, Firma, salah satu delegasi dari mahasiswa tingkat 3 asal Medan menyitir sebuah illat pada praktek hutang piutang dengan meriver ke kitab Mughni al-Muhtaj dengan menawarkan sebuah ibarat “ibahatu itlaf bisyarti dloman”. Opsi ini diperkuat oleh Gus Nuril, mahasiswa tingkat akhir asal Madura yang menyatakan bahwa transaksi seperti ini termasuk permasalahan kontemporer (nawazil) yang membutuhkan kepada sebuah ibarat dari kitab salah yang agak menyerupai. Gus Sadid, mahasiswa tingkat 4 asal Jawa Tengah juga turut mengukuhkan bahwa ketika sebuahillat sudah ditetapkan, maka illattersebut akan menjadi universal hingga bisa diterapkan ke berbagai hukum.

Kritik demi kritik pun bermunculan, diantaranya kritik dari Subhan, mahasiswa tingkat 2 asal Jember yang menyatakan bahwa ibarat yang ditawarkan oleh Firma (ibahatu itlaf bisyarti dloman) masih memiliki kelemahan yaitu, tidak sesuai dengan realita yang ada. Karena praktek yang terjadi adalah sang pembeli membayar (dloman) terlebih dahulu baru kemudian mengkonsumsi (itlaf). Akan tetapi kritik ini dijawab oleh Gus Nuril bahwa uang yang diletakkan bukan dalam rangka membayar (dloman) akan tetapi untuk persiapan ketika barang sudah dikonsumsi maka uang tersebut bisa langsung dijadikan sebagai gantinya.

Adapun opsi kedua, dari Nizar Syamwil mahasiswa tingkat akhir adalah praktek tersebut bisa disamakan dengan praktek bei’ mu’athoh karena memiliki definisi yang serupa. Dan spontan, Suhaimi mahasiswa tingkat 2 asal Medan mengkritik definisi yang telah dipaparkan masih belum secara konkret menjelaskan keterangan diperbolehkannya transaksi jual beli tanpa kehadiran si penjual di tempat. Nizar pun menawarkan ibarat dengan meriver ke kitab al-Majmuk karya Imam Nawawi yang menyatakan bahwa sebuah tulisan (al-kitabah) itu bisa mewakili keberadaan si penjual. Akan tetapi Gus Nuril mengomentari bahwa tulisan (al-kitabah) yang dimaksudkan adalah surat menyurat (al-mukatabah) dari 2 pihak, bukan hanya dari sisi penjual bahkan disyaratkan pembeli harus secara langsung membalas surat tersebut. Habib Haydar as-Segaf juga berkomentar bahwa tulisan itu bisa mewakili lafazh jual beli, bukan mewakili keberadaan si penjual.

Kemudian ada sanggahan dari kang Subhan, panggilan akrab mahasiswa asal pondok as-Sunniyyah Kencong Jember itu, berinterpretasi bahwa sebenarnya definisi bei’ mu’athoh itu tidak sesempit yang kita bayangkan, karena dari segenap definisi yang kita tahu, masing-masing dari definisi masih belum secara konkret menjelaskan keterangan disyaratkannya keharusan adanya keberadaan dari kedua pihak pelaku transaksi. Akan tetapi pendapat tersebut langsung ditolak perumus, yang kali ini diisi oleh Ketua Syuriah PCI-NU Yaman M. Thohirin Shodiq dan Ketua Tanfidziyyah PCI-NU Yaman M. Imam Rahmatullah. Interpretasi tersebut ditolak dikarenakan bahwa sudah jelas sekali bahwa dalam definisi bei’ mu’athoh sudah tertera disana penjelasan tentang keberadaan 2 pihak pelaku transaksi.

Tepat pukul 23.00 acara diskusi ditutup dengan pembacaan kesimpulan hasil pembahasan materi oleh perumus, diantaranya adalah status transaksi diatas bisa kita beri nama ibahah bi al-muqobil atau ibahah bi al-syaret. Kemudian hukum mengkonsumsi makanan tersebut adalah halal dengan syarat adanya kerelaan (‘an tarodlin) dari kedua belah pihak, seperti ketika pembeli sudah membayar dengan uang yang tidak robek, dll. Adapun solusi yang ditawarkan oleh perumus adalah pengharusan kepada setiap penjual untuk meng-ibahah-kan dagangannya tapi dengan mencantumkan syarat harus membayar dengan nominal uang sekian. Sukses selalu buat Lajnah Bahtsul Masail (LBM) PCI-NU Yaman, semoga kegiatan-kegiatan ilmiah yang terlaksana, khususnya diskusi bahtsul masail bersistem perdebatan argumentative dengan berorientasi kepada kitab salaf seperti ini bisa senantiasa dilestarikan. (Red/Maulana)

Pcinu Yaman

Sebarkan Kebaikan Sekarang
loading...

Santri Admin

Santri Admin has written 839 articles

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>