Ayah Menikah Lagi, Anak Tidak Setuju

1879477781_56bbd8565c_oDari Fulan (08113512XXX) di Probolinggo

Seorang ayah ingin menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal. Namun anaknya tidak setuju dengan berbagai alasan. Ayah tetap terhadap keputusannya untuk menikah dengan perempuan yang menjadi pilihannya. Akibatnya hubungan antara ayah dan anak tidak harmonis. Ayah memilih untuk tinggal bersama istrinya dari pada bersama anaknya. Bagaimana seharusnya sikap ayah dan anak dalam pandangan Islam?

FORSAN SALAF menjawab :

Pernikahan merupakan suatu ikatan suci antara seorang pria dan seorang wanita, dikatakan suci karena diatur oleh ketentuan agama. Ikatan suci yang dibuat itu berlandaskan pada persetujuan antara pihak yang menikah – dalam kasus ini Sang Ayah dengan calon istrinya – dan juga wali dari keluarga calon istrinya.

Oleh karenanya, jika masing-masing pihak yang akan menikah dan walinya telah bersepakat untuk melangsungkan pernikahan, anak tidak memiliki hak atau wewenang untuk menggagalkan terjadinya pernikahan.

Adapun keputusan ayah untuk menikah yang kedua kalinya, setelah kemangkatan istrinya yang pertama, adalah keputusan yang harus dihormati oleh anak. Sebab, seperti orang pada umumnya, sang ayah juga membutuhkan pendamping hidup sebagai curahan kasih sayang, sekaligus sebagai sarana pemenuhan kebutuhan biologisnya.

Bahkan, terdapat dalam Al-Qur’an anjuran untuk menikahkan bagi orang yang telah hidup sendiri, sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nuur, 32:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”

Adapun keputusan ayah untuk bertempat tinggal bersama istrinya juga keputusan yang harus dihormati oleh anak. Sebab, bukankah hal ini untuk menghindari terjadinya konflik antara ayah dan istrinya dengan anak yang sedari awal tidak menyetujui ayahnya menikah lagi.

Dengan demikian, seorang anak haruslah bersikap dewasa dan dapat memahami kebutuhan ayahnya, karena menikah lagi adalah hal yang lumrah dan manusiawi bagi seorang yang telah ditinggal wafat oleh pasangannya. Menikah atau berkeluarga merupakan naluri kemanusiaan dan suatu kebutuhan yang pemenuhannya relatif mutlak diperlukan. Selain itu juga, menghormati perempuan yang dinikahi oleh ayahnya adalah bukan sebuah tawaran, tetapi mesti dilakukan bagi anak, sebab dia juga merupakan ibunya, walaupun berstatus sebagai ibu tiri.

Sebarkan Kebaikan Sekarang
loading...

Avatar

Forsan Salaf has written 242 articles

Forsan Salaf adalah situs yang dikelola Yayasan Sunniyah Salafiyah. Memuat bahasan-bahasan ilmiah yang mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan. Seluruh isi telah disaring dan dikaji ulang oleh sebuah tim yang berada di bawah pengawasan Habib Taufik bin Abdulkadir Assegaf.

Comments

comments

6 thoughts on “Ayah Menikah Lagi, Anak Tidak Setuju

  1. Avatar abdullah says:

    assalamualaikum warah matullahi wabarakatuhu

    ustad,
    kami sekeluarga 11 bersaudara di riau, 6 sudah menikah, kami bukan keluarga yang kaya, namun alhamdulillah cukup sederhana. ibu saya telah meninggal, ketika saya masih SMP (sekarang sedang kuliah di jawa, bapak saya nikah lagi dengan seorang janda beranak 4 padahal umurnya sudah 68 tahun, kami sangat terpukul karena dia menikahnya mendadak,namun kami tetap menerimanya. keluarga kami yg sebelas tadi tu sudah pisah rumah ( kesibukan masing – masing), namun masih saling membantu dan saling menjenguk minimal 2 kali sehari,, ayah saya sekarang tinggal bersama kakak saya yang baru menikah 7 bulan yg lalu, dan belum dikaruniai anak. ayah saya tidak bekerja, sedangkan ibu tiri saya gak juga bekerja. saya gak tw dri mana dia menafkahi keluarga dan istrinya yg baru. ibu tiri saya tu ikut ayah saya, sedangkan ayah saya tinggal sama kakak, penghasilan kakak saya terbatas begitu juga saudara yg lain. kakak masih menanggung adik sekolah. namun ayah saya tidak memahami kondisi kakak saya, malah ayah saya merasa kakak saya gak sayang lagi samanya, padahal kakak saya tu kayaknya sudah terlalu banyak beban yg ditanggungnya.

    tentu kakak saya merasa keberatan ayah saya tinggal dirumah bersama istrinya dan anak – anaknya tanpa penghasilan tambahan dari pihak yang “menumpang”. kakak saya berusaha memaniskan wajah ketika bertemu keduanya. ramah meskipun hatinya hancur.

    berdosakah kakak saya jika dia tidak mengizinkan orang tuanya tinggal dengan dia dan keluarganya, karena tentu dia merasa tidak enak dengan suaminya.. bagaimana solusi yang terbaiknya

    mohon penjelasannya ustad

    syukron jaza kallah hukhairan katsiran….

    asalamualaikum warah matullahi wabarakatuhu

  2. Avatar abdullah says:

    assalamualaikum warah matullahi wabarakatuhu

    ustad,
    kami sekeluarga 11 bersaudara di riau, 6 sudah menikah, kami bukan keluarga yang kaya, namun alhamdulillah cukup sederhana. ibu saya telah meninggal, ketika saya masih SMP (sekarang sedang kuliah di jawa, bapak saya nikah lagi dengan seorang janda beranak 4 padahal umurnya sudah 68 tahun, kami sangat terpukul karena dia menikahnya mendadak,namun kami tetap menerimanya. keluarga kami yg sebelas tadi tu sudah pisah rumah ( kesibukan masing – masing), namun masih saling membantu dan saling menjenguk minimal 2 kali sehari,, ayah saya sekarang tinggal bersama kakak saya yang baru menikah 7 bulan yg lalu, dan belum dikaruniai anak. ayah saya tidak bekerja, sedangkan ibu tiri saya gak juga bekerja. saya gak tw dri mana dia menafkahi keluarga dan istrinya yg baru. ibu tiri saya tu ikut ayah saya, sedangkan ayah saya tinggal sama kakak, penghasilan kakak saya terbatas begitu juga saudara yg lain. kakak masih menanggung adik sekolah. namun ayah saya tidak memahami kondisi kakak saya, malah ayah saya merasa kakak saya gak sayang lagi samanya, padahal kakak saya tu kayaknya sudah terlalu banyak beban yg ditanggungnya.

    tentu kakak saya merasa keberatan ayah saya tinggal dirumah bersama istrinya dan anak – anaknya tanpa penghasilan tambahan dari pihak yang “menumpang”. kakak saya berusaha memaniskan wajah ketika bertemu keduanya. ramah meskipun hatinya hancur.

    berdosakah kakak saya jika dia tidak mengizinkan orang tuanya tinggal dengan dia dan keluarganya, karena tentu dia merasa tidak enak dengan suaminya.. bagaimana solusi yang terbaiknya

    mohon penjelasannya ustad

    syukron jaza kallah hukhairan katsiran….

    asalamualaikum warah matullahi wabarakatuhu

  3. Avatar forsan salaf says:

    @ abdullah, wa’alaikum salam warohmatullahi wabaokatuh.
    Kewajiban nafkah untuk orang tua (ayah dan ibu) yang tidak mampu adalah dibebankan kepada anak. Begitu juga nafkah istri dari ayah (ibu tiri). Oleh karena itu, bagi anak harus berusaha untuk menafkahi ayah dan istrinya dengan bekerjasama antara satu sama lainnya untuk memberikan nafkah yang cukup kepada orang tuanya dan bukan kepada salah satu anak saja.
    Dalam hal ini, anda dan saudara-saudara anda yang mampu berkewajiban dalam menafkahi orang tua anda dan istrinya. Ketika meninggalkan kewajiban ini, padahal semua saudara mampu untuk memenuhinya, maka berdosa.
    Saran kami, orang tua bisa menjadi surga bagi kita dan menjadi neraka bagi kita. Jika kita bisa berbuat baik dan berbakti kepada mereka, maka akan menjadi jalan menuju surga. Namun jika sebaliknya bila durhaka kepada mereka dan meninggalkan kewajiban kepada mereka serta menyia-nyiakan mereka, maka akan menjadi jalan menuju neraka.
    Sedangkan permasalahan perekonomian, maka perlu diketahui, setiap orang telah Allah tentukan rizqinya sebelum Allah menciptakannya ke dunia, dan tidak akan mati kecuali telah habis rizqinya. Dengan demikian, kita hanyalah sebagai perantara Allah dalam menyampaikan rizqinya kepada mereka, yang justru harusnya menjadikan kita bersyukur karena dengan menjadi wasilah/perantaranya akan mendapatkan pahala yang besar.

  4. Avatar forsan salaf says:

    @ abdullah, wa’alaikum salam warohmatullahi wabaokatuh.
    Kewajiban nafkah untuk orang tua (ayah dan ibu) yang tidak mampu adalah dibebankan kepada anak. Begitu juga nafkah istri dari ayah (ibu tiri). Oleh karena itu, bagi anak harus berusaha untuk menafkahi ayah dan istrinya dengan bekerjasama antara satu sama lainnya untuk memberikan nafkah yang cukup kepada orang tuanya dan bukan kepada salah satu anak saja.
    Dalam hal ini, anda dan saudara-saudara anda yang mampu berkewajiban dalam menafkahi orang tua anda dan istrinya. Ketika meninggalkan kewajiban ini, padahal semua saudara mampu untuk memenuhinya, maka berdosa.
    Saran kami, orang tua bisa menjadi surga bagi kita dan menjadi neraka bagi kita. Jika kita bisa berbuat baik dan berbakti kepada mereka, maka akan menjadi jalan menuju surga. Namun jika sebaliknya bila durhaka kepada mereka dan meninggalkan kewajiban kepada mereka serta menyia-nyiakan mereka, maka akan menjadi jalan menuju neraka.
    Sedangkan permasalahan perekonomian, maka perlu diketahui, setiap orang telah Allah tentukan rizqinya sebelum Allah menciptakannya ke dunia, dan tidak akan mati kecuali telah habis rizqinya. Dengan demikian, kita hanyalah sebagai perantara Allah dalam menyampaikan rizqinya kepada mereka, yang justru harusnya menjadikan kita bersyukur karena dengan menjadi wasilah/perantaranya akan mendapatkan pahala yang besar.

  5. Avatar fairus says:

    Assalamualaikum wr wb pak ustad,
    Menyambung pertanyaan di atas jika ayah telah meninggal maka istrinya yaitu ibu tiri wajibkah anak2 si ayah yg meninggal memberikan nahkah kepada ibu tiri dan juga anak dari ibu tirinya, trimakasih wassalamualaikum wr wb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>