PERTANYAAN :
Di ‘en
Mungkin dikarenakan banyak mempelai pria menolak membaca ta’liq, entah dgn alasan apa, dewasa ini byk penghulu yg hanya menyuruh menandantangi berkas2 pd surat nikah. Naasnya, krn kekurang tahuan, biasanya suami tdk meneliti dulu dan lgsung menandatangani semuanya. Setelah beres, dgn entengnya si penghulu ngomong “dgn ditandatangani pernyataan ta’liq maka sama sj dgn membaca ta’liq…” Bagaimanakah saudara2 disini memandang mslh tsb? Apakah ta’liq memang bnr2 jatuh pd kondisi seperti tsb. Lebih afdol disertai ta’birnya. Terima kasih.
JAWABAN :
> Umam Zein
Pada dasarnya tandatangan dikategorikan sama dengan tulisan, karena itu tandatangan tersebut tidak punya konsekuensi apapun terhadap isi yang ditandatangani selama tidak diniati. Mengacu pada hasil Bahtsu Masail PCNU Kebumen 2011:
PERNYATAAN SIGHAT TA’LIK TALAK
Berdasarkan keputusan mentri agama RI dan tertera dalam buku nikah bahwa bagi pelaksanaan akad nikah dilakukan pembacaan sighat ta’liq talak dan menandatanganinya. Dalam prakteknya, adakalanya penghulu dan pihak mempelai pria sepakat untuk membacanya lalu menandatanganinya setelah pelaksanaan akad nikah, dan adapula prakteknya yang tidak membaca sighot ta’lik itu tetapi dengan pernyataanyang ditandatangani oleh mempelai laki-laki bahwa ia telah membacanya.
Pertanyaan:
a. Apakah sighat ta’lik talaq yang tidak dibacakan tetapi dengan pernyataan yang ditandatangani itu otomatis terjadi sesuai dengan isinya, dan dikenai sanksi jika melanggar ta’liqnya?
b. Hukum meninggalkan membaca atau menandatangani sighot ta’lik yang merupakan perintah Ulil Amri ?
Jawaban:
a. Tidak terjadi dan tidak ada konskuensi apapun.
b. Diperbolehkan, karena aturan tersebut tidak mashlahat.
PENGEMBANGAN MASALAH :
Bagaimana bila tandatangan tersebut diniati?
JAWABAN :
> Mohamad Cholil Asyari
Sesungguhnya shighat ta’liq thalaq dalam buku nikah tersebut adalah khulu’ dengan lafadz thalaq berta’liq. Wallahu subhanahu wata’ala a’lam.
Referensi :
فرع لو كتب صريح طلاق أو كنايته ولم ينو إيقاع الطلاق فلغو ما لم يتلفظ حال الكتابة أو بعدها بصريح ما كتبه نعم يقبل قوله أردت قراءة المكتوب لا الطلاق لإحتماله
( قوله لو كتب ) أي إلى زوجته أو إلى وليها
وفي المغني ما نصه تنبيه احترز بقوله كتب عما لو أمر أجنبيا فكتب لم تطلق وإن نوى الزوج كما لو أمر أجنبيا أن يقول لزوجته أنت بائن ونوى خلافا للصيمري في قوله إنه لا فرق بين أن يكتب بيده وبين أن يملي على غيره
اه وقوله صريح طلاق أي كطلقتك أو طلقت بنتك
وقوله أو كنايته أي كأنت خلية أو بنتك خلية مني ( قوله ولم ينو إيقاع الطلاق ) أي بما كتبه
وخرج به ما إذا نواه من غير تلفظ به فإنه يقع على الأظهر كما في المنهاج ونصه فإن نواه فالأظهر وقوعه
قال في المغني لأن الكناية طريق في إفهام المراد وقد اقترنت بالنية ولأنها أحد الخطابين فجاز أن يقع بها الطلاق كاللفظ
اه ( قوله فلغو ) أي فالمكتوب لغو لأن الكتابة تحتمل النسخ والحكاية وتجربة القلم والمداد وغيرها ( قوله ما لم يتلفظ الخ ) قيد في كون المكتوب لغوا وخرج به ما لو تلفظ به مع عدم النية فإنه يقع
وقوله بصريح ما كتبه أي بما كتبه الصريح في الطلاق فالإضافة من إضافة الصفة إلى الموصوف
وأفاد به أنه إذا تلفظ بالمكتوب الكنائي ولم ينو إيقاع الطلاق لا يقع وهو كذلك إذ الكناية محتاجة إلى النية مطلقا سواء كتبت أو لم تكتب فتحصل أن التلفظ بالمكتوب من غير نية يقع به الطلاق إذا كان صريحا فإن كان كناية فلا بد مع التلفظ به من النية ( قوله نعم يقبل الخ ) تقييد لوقوع الطلاق بالتلفظ بالمكتوب من غير نية أي أن محل الوقوع بما ذكر عند عدم النية إذا لم يقل أردت قراءة المكتوب لا إنشاء الطلاق وإلا صدق بيمينه لإحتمال ما قاله
أما إذا نوى عند الكتابة إيقاع الطلاق ثم تلفظ به وقال أردت قراءة المكتوب فلا يفيد قوله المذكور شيئا
إذ العبرة بالنية فيقع عليه الطلاق
واعلم أن الخلاف السابق في اقتران النية بأول الكناية أو جميعها أو بأي جزء يجري في الكتابة أيضا
الكتاب: حاشية إعانة الطالبين ج4 ص16
Sub masalah: Jika seseorang menuliskan kalimat thalaq, sharih maupun kinayah, lalu tidak diniati jatuhnya thalaq maka tulisan itu tidak berdampak apapun. Hal itu selama kalimatnya tidak diucapkan, baik saat penulisan ataupun setelah dituliskan, pada tulisan thalaq yang sharih tersebut. Benar demikian, hanya saja bisa dibenarkanpengakuan seseorang yang berkata ‘aku bermaksud membaca yang tertulis itu bukan membaca kalimat thalaqnya.’ Sebab hal demikian masih dimungkinkan.
[Jika seseorang menuliskan] yakni kepada istrinya atau kepada wali dari istrinya. Dalam kitab Mughni disebutkan:
“Tanbih: Dikecualikan dari ketentuan ‘menuliskan’ yakni dari permasalahan seseorang yang meminta seorang lainnya untuk menuliskan kalimat thalaq, maka tidak jatuh thalaq sekalipun diniati thalaq oleh suami itu. Hal itu sebagaimana permasalahan seseorang yang meminta seorang lainnya untuk berkata pada istrinya ‘kamu telah dipisahkan’, meski diniati thalaq oleh suaminya. Bertentangan dengan pendapat ash-Shaimari yang berkata ‘bahwasanya tidak ada perbedaan antara dituliskan dengan tangan sendiri atau dengan didiktekan pada orang lain’.”
[Kalimat thalaq sharih] seperti ‘aku menthalaqmu’, ‘aku menthalaq putrimu’.
[Maupun kinayahnya] seperti ‘kamu sudah terlepas’, ‘putrimu sudah lepas dariku’.
[Lalu tidak diniati jatuhnya thalaq] atas isi tulisannya. Dikecualikan dari hal ini yakni pada seseorang yang meniatkan thalaq tanpa mengucapkannya, maka jatuh thalaq menurut qaul adzhar sesuai keterangan kitab Minhajuth Thalibin yang menyatakan: jika diniati maka jatuh thalaq menurut qaul adzhar. Khatib asy-Syirbini dalam Mughni Muhtaj berkata:
“Karena kinayah merupakan sarana untuk memahamkan sebuah maksud sedangkan saat itu statusnya sudah dibarengkan dengan niat, selain itu karena kinayah tulisan merupakan salah satu dari dua khitab, maka boleh saja thalaq terjadi dengan perantaraan hal itu sebagaimana terjadi pada lafazh ucapan.”
[Maka tulisan itu tidak berdampak apapun] yakni yang ditulis tidak berdampak apapun. Sebab sebuah tulisan bisa saja terhapus, sekedar sebagai bahan cerita, latihan menulis, dan lain sebagainya.
[Selama kalimatnya tidak diucapkan] sebagai catatan dari tulisan yang tidak berdampak apapun. Dikecualikan darinya ketika kalimat itu diucapkan tanpa diniati maka tetap jatuh thalaq.
[Pada tulisan thalaq yang sharih tersebut] yakni pada tulisan yang sharih dari thalaq. Merupakan jenis idhafah shifat kepada maushuf. Bisa dipahami bahwasanya bila yang dibaca adalah tulisan thalaq kinayah lalu tidak diniati maka tidak jatuh thalaq. Dan memang demikian, sebab kinayah selalu butuh kepada niat, baik ditulis maupun tidak. Bisa disimpulkan bahwa pengucapan atas tulisan yang dengan tanpa niat bisa jatuh thalaq adalah pada thalaq sharih. Jika berupa thalaq kinayah maka harus disertai niat saat pengucapannya.
[Benar demikian, hanya saja bisa dibenarkan] sebagai catatan dari jatuhnya thalaq lewat pengucapan tulisan tanpa diniati, yakni jatuhnya thalaq yang tanpa perlu diniati tadi ketika seseorang itu tidak berkata ‘aku bermaksud membaca yang tertulis itu, bukan pernyataan thalaqnya’. Jika bukan demikian, maka sumpahnya bisa dibenarkansebab ucapannya masih dimungkinkan mengarah ke hal itu.
Sedangkan ketika ada seseorang meniatkan thalaq saat menulisnya, lalu tulisan itu dibaca dan membantah ‘aku bermaksud membaca yang tertulis itu’ maka pengakuannya tidak dianggap. Sebab yang dijadikan standar ibrah adalah niatnya sehingga thalaq tetap dihukumi jatuh.
Ketahuilah bahwa perbedaan pendapat yang lampau tentang ketentuan dibarengkannya niat pada awal lafazh kinayah, atau keseluruhan lafazh, atau pada bagian manapun dari lafazh, maka hal itu juga berlaku pada kasus penulisannya. (Ianah Thalibin, 4/16)
( الخلع ) شرعا ( فرقة بعوض ) كميتة مقصود من زوجة أو غيرها راجع ( لزوج ) أو سيدة ( بلفظ طلاق أو خلع ) أو مفاداة ولو كان الخلع في رجعية لأنها كالزوجة في كثير من الأحكام
( أو بدأ ب ) صيغة ( تعليق ) في إثبات ( كمتى ) أو أي حين ( أعطيتني كذا فأنت طالق فتعليق ) لاقتضاء الصيغة له ( فلا ) طلاق إلا بعد تحقق الصفة ولا ( رجوع ) له عنه قبل الصفة كسائر التعليقات ( ولا يشترط ) فيه ( قبول ) لفظا ( ولا إعطاء فورا ) بل يكفي الإعطاء ولو بعد أن تفرقا عن المجلس لدلالته على استغراق كل الأزمنة منه صريحا
الكتاب: فتح المعين ج3 ص385&381
(Khulu’) menurut syariat adalah (perpisahan dengan biaya tebusan) misalnya berupa bangkai yang ada nila gunanya dari pihak istri atau lainnya, yang diberikan (kepada suami) atau tuannya (dengan lafazh thalaq atau khulu’) ataupun lafazh mufadah [tebusan]. Meskipun juga khulu’ itu terjadi pada istri yang terthalaq raj’i, sebab statusnya sama seperti istri dalam kebanyakan hukum.
(Atau bila suami melakukan khulu’ menggunakan) sighat (ta’liq) pada perwujudansesuatu (misalnya sewaktu-waktu) atau ketika (kamu memberiku sekian maka jatuhlah thalaqmu, maka hal itu disebut sebagai ta’liq thalaq) karena kesesuaian shighat atasnya. (Maka tidak ada) thalaq kecuali setelah tahqiqnya sifat yang digantungkan. Dan juga tidak ada (pencabutan kembali) bagi suami atas pernyataannya sebelum terwujud perkara itu, sama halnya dengan setiap bentuk ta’liq lainnya. (Tidak disyaratkan) dalam ta’liq (adanya qabul) dengan lafadz (serta pemberian secara seketika),melainkan cukup dengan ada pemberian sekalipun sesudah suami-istri itu berpisah dari majlis, sebab sudah jelas bahwa pernyataan ta’liq itu mencakup semua tempo. (Fathul Mu’in, 3/381&385)
(مسألة : ك) : يجب امتثال أمر الإمام في كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر ، فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه في مصارفه ، وإن كان المأمور به مباحاً أو مكروهاً أو حراماً لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله (م ر) وتردد فيه في التحفة ، ثم مال إلى الوجوب في كل ما أمر به الإمام ولو محرماً لكن ظاهراً فقط ، وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهراً وباطناً وإلا فظاهراً فقط أيضاً ، والعبرة في المندوب والمباح بعقيدة المأمور ، ومعنى قولهم ظاهراً أنه لا يأثم بعدم الامتثال ، ومعنى باطناً أنه يأثم اهـ. قلت : وقال ش ق : والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهراً وباطناً مما ليس بحرام أو مكروه ، فالواجب يتأكد ، والمندوب يجب ، وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوي الهيئات ، وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادي بعدم شرب الناس له في الأسواق والقهاوي ، فخالفوه وشربوا فهم العصاة ، ويحرم شربه الآن امتثالاً لأمره ، ولو أمر الإمام بشيء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اهـ.
الكتاب : بغية المسترشدين ص189
[Permasalahan; al-Kurdi] wajib hukumnya mentaati perintah Imam di setiap sektor yang menjadi wewenangnya, seperti pada penyerahan zakat mal yang dzahir. Jika bukan termasuk wewenang Imam dan itu termasuk hak yang wajib atau sunah maka diperbolehkan menyerahkannya pada Imam atau boleh berinisiatif sendiri mengenai tasharufnya. Jika yang diperintahkan itu perkara mubah, makruh, atau haram maka tidak ada kewajiban mematuhinya sebagaimana pendapat ar-Ramli. Ibnu Hajar bimbang mengulas hal ini dalam kitab Tuhfah, dan akhirnya cenderung pada hukum wajib atas semua perintah Imam meskipun pada perkara haram, tetapi hanya pada hukum dzahirnya saja. Di luar perkara yang haram, jika memiliki nilai kemashlahatan universal maka wajib taat baik dzahir maupun batin. Jika bukan demikian maka secara hukum dzahir saja. Sedangkan acuan yang dipakai pada perkara sunah dan mubah adalah sesuai dengan keyakinan orang yang diperintah. Maksud para ulama tentang hukum dzahir yakni tidak berdosa ketika mengabaikan perintah Imam, dan maksud hukum batin yakni berdosa bila diabaikan. Demikian pendapat al-Kurdi. Aku (Syaikh Abdurrahman) tegaskan, bahwa asy-Syarqawi telah menjelaskan:
Kesimpulannya yaitu wajib hukumnya mentaati apa yang diperintahkan Imam baik secara dzahir maupun batin selama tidak berupa perkara haram atau makruh. Yang wajib menjadi makin ditekankan, yang sunah menjadi diwajibkan, begitu juga yang mubah menjadi wajib jika di dalamnya terkandung mashlahat. Seperti halnya perintah meninggalkan konsumsi rokok ketika kita berpendapat tentang hukum makruhnya,mengingat rokok adalah perkara tercela bagi orang yang bermartabat. Pernah terjadi seorang penguasa memerintahkan wakilnya untuk mengumumkan larangan merokok bagi masyarakat di pasar-pasar dan kedai kopi. Masyarakat mengacuhkannya dan tetap merokok. Mereka sungguh telah melakukan maksiat. Hukum merokok sekarang menjadi haram mengacu pada peraturan penguasa tersebut. Andaikata seorang penguasa memerintahkan sesuatu lalu meralatnya, walaupun sebelum perintah itu dijalankan, maka hukum wajibnya tidak lantas menjadi gugur. (Bughyah Mustarsyidin: 189)