Serunya Bahtsul Masail Maudhu’iyyah

muktamar-nu-ke-33

Sore hari setelah pidato Gus Mus, aku berkesempatan mendengar langsung pidato Kyai Ma’ruf Amin di arena Bahtsul Masail Maudhu’iyyah di Pesantren Tambak Beras persis di saat pertikaian pendapat belum jua reda mengenai metodologi penetapan hukum manhaj nahdhiyyah.

Suasana di arena Bahtsul Masâil Maudhû’iyyah ini juga tak kalah seru. Setelah Kyai Afifuddin Muhajir menyampaikan Draft kajian yang akan dibahas, sidang yang dipandu oleh moderator Kyai Moqsith Ghazali itu segera menampilkan kericuhan “khas NU”, entah apa jadinya bila wartawan media online arrahmah dot com atau pkspuyengan meliput bagian ini, mungkin akan beredar berita mengenaskan, “Kericuhan tak hanya di Arena Muktamar, NU juga pecah kongsi di Bahtsul Masâil.”

Duduk perkara dalam sidang bahtsul masâil itu ditekankan pada amanat Munas Alim Ulama Lampung 1992 yang menghendaki ditentukannya metodologi penetapan hukum bagi kalangan NU terutama pada kasus-kasus yang sama sekali belum ditemukan landasan hukum atau bahkan sekedar ‘ibarat (ungkapan) dalam nash atau referensi kitab yang mu’tabar.

KH. Afifuddin Muhajir dalam draft bahtsul masâil menguraikan dengan gamblang dan jelas keharusan NU memutuskan proses Istinbâth al-ahkâm lewat tiga metode; bayâni, qiyâshi, maqâshidi. Beliau juga mensyaratkan proses istinbâth ini harus memenuhi lima syarat;
1. Mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud
2. Memperhatikan kaedah-kaedah bahasa
3. Mengaitkan satu nash dengan nash yang lain karena nash itu satu ketersatuan yang tidak dapat dipisahkan
4. Mengaitkan nash yg dibahas dengan maqashid asy-syari’ah (hasil istiqra atau penelitian induktif para ulama terdahulu atas nash-nash syariat) agar nash bisa difahami secara kontekstual tidak hanya tekstual.
5. Melakukan takwil ketika diperlukan.

Betapa krusialnya menetapkan sebuah hukum yaaa? Ya karena itu, hanya Nahdlatul Ulama yang concern pada persoalan ini, maka dalam agenda Muktamar selalu disertakan komisi khusus yang membahas persoalan-persoalan agama. Nah, untuk membahas apalagi menetapkan hukum atas suatu perkara jelas bukan hal mudah, dibutuhkan bukan hanya keilmuan yang mumpuni tapi juga keahlian istiqrâi sehingga tidak terjebak pada nash yang terhidang (tekstual) tapi maksud-maksud yang dikandung dibalik teks (kontekstual). Karena itu metodologi penetapan hukum menjadi penting dan mendesak diputuskan.

Tapi tak semua bisa menerima gagasan ini, kekisruhan pendapat segera terjadi. Sebagian dipicu oleh “ketakutan” sebagian peserta menyebut diri sebagai mustanbith atau mujtahid padahal masih berada di level muqallid, sebagian peserta lain “ketakutan” NU akan kebablasan dalam menetapkan suatu hukum.
Kericuhan dalam perspektif NU itu adalah Ikhtilaf dalam hal pendapat, biasanya sih karena belum mengerti substansinya, jadi meskipun Kyai Moqsith berkali-kali menjelaskan substansi persoalan, ada saja peserta yang “ngotot” menolak Draft istinbâth ini.

Hingga kemudian, di tengah kekisruhan itu datanglah Kyai Ma’ruf Amin yang kemudian dipersilahkan oleh Kyai Moqsith untuk menjelaskan kronologi hasil Munas Lampung. Dan beginilah Pidato singkat Kyai Ma’ruf Amin yang merupakan penegasan kembali dari apa yang sudah berkali-kali dijelaskan oleh Kyai Moqsith dan Kyai Afifuddin Muhajir, “Hasil Munas Lampung itu memang memberi mandat untuk melakukan Istinbath Jama’i, karena kita ini masih kategori Muqallid, kita ini nda seberani Imam Nawawi Banten yang meskipun bukan Mujtahid lalu berkata pada penetapan hukum mengenai zakat, seandainya imam syafi’i hidup beliau akan berfatwa seperti aku, karena memang tidak ada ‘ibarat hukum yang didapati di kitab-kitab mu’tabar. Karena itu, metodologi penetapan hukum ini menjadi penting, itu yang harus dirumuskan segera. Karena kita ini “pengecut” maka ya mari kita lakukan ramai-ramai ini namanya istinbath jama’i.”

Di jejeran bangku belakang, aku yang duduk bersama para ulama NU lain dari Kalimantan dan Jawa Barat berbisik ringan, “fauqa kulli dzî ilmin ‘alîm_di atas langit masih ada langit. Kekisruhan berakhir oleh wibawa ilmiyah.” Seorang Kyai dari Kalimantan membalas bisikan saya, “Mereka yang tidak faham substansi, akhirnya toh bisa menerima, jadi perdebatan yang menampilkan maraji’ tadi, seperti musabaqoh qirâatil kutub saja.” Kami tersenyum lalu Kyai Moqsith menutup sidang dengan ketuk palu dan membaca surat al-fâtihah.

Begitulah di tubuh Nahdhatul Ulamâ ada dua kharisma agung; kharisma rûhiyah dan ‘ilmiyah yang masing-masing dibalut oleh ketawadhu’an sikap rendah hati yang membumi. Pada karakter mereka tidak arogan memburu jabatan, bahkan akhirnya Gus Mus menolak dan mengundurkan diri dari penetanpannya sebagai Rais ‘Aam, sementara pada bidang keilmuan, Kyai Ma’ruf Amin sebagaimana juga Kyai Abdul Moqsith Ghazali dan Kyai Afifuddin berulang kali menegaskan keterbatasan ilmu untuk menetapkan suatu hukum, namun situasi menghendaki para ulama berani melakukan istinbath baru berdasar keilmuan yang mumpuni.

Maka, mari kita ambil dua pelajaran hebat ini, kharisma itu tidak bisa direkayasa, ia muncul dari keluasan ilmu dan hati yang telah menyamudera, para ulama NU meskipun telah cukup syarat sebagai mujtahid namun tak berani langsung menetapkan hukum tanpa mekanisme istinbâth yang jelas, bandingkan dengan sebagian ustadz belakangan ini yang sembrono dalam berfatwa, saya rasa Muktamar Nahdhatul Ulama merupakan pukulan telak bagi kalangan Wahabiyyin yang arogansi intelektual mereka membuat begitu berani menetapkan hukum tanpa istinbâth, semua dianggap selesai dengan jargon “ar-rujû’ ilal quran was sunnah_kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah.”

Para ulama Nahdhatul Ulama telah menampilkan teladan tinggi sekelas Imam Madzhab yang tidak saling menjatuhkan apalagi mencaci maki, mereka bermujahadah untuk menyusun mekanisme penetapan sebuah hukum. Anda bisa bayangkan bila untuk sebuah hukum syari’at saja perlu istinbâth yang panjang dan berjenjang maka bagaimana pula dengan peristilahan sederhana seperti “Islam Nusantara”, tanpa kemauan menerima penjelasan, kalangan Wahabiyyin -yang belakangan mendapat dukungan dari sebagian ustadz NU yang dangkal pengetahuan atau enggan menerima penjelasan- langsung menuding bahwa ini peristilahan baru yang akan memecah-belah Islam sebab hanya ada Satu Islam.

Para ulama seperti Kyai Afifuddin Muhajir yang diakui sebagai jawara ushul fiqh ataupun Kyai Mustofa Bisri yang diakui Kharisma Ruhiyahnya, tak lelah dan tak merasa malu menjelaskan mengapa mereka mendukung istilah Islam Nusantara, bahkan keduanya sampai merasa harus menjelaskannya dari perspektif semantik dan kebahasaan, padahal ini langkah paling dasar dalam proses Istinbâth. Jadi, semoga Anda bisa mengerti sekarang, apa dasar keilmuan mereka yang mencaci-maki ulama Islam Nusantara? Selain kesombongan dan kebencian kepada Nahdlatul Ulama, yang tersisa hanya kosong yang melompong.

Selamat kepada Nahdlatul Ulama yang telah menyelesaikan Muktamar ke-33, dinamika muktamar yang elegant telah menampilkan kekhasan NU dalam menyelesaikan masalah. Selamat berjuang Gurunda KH. Ma’ruf Amin dan Syaikhi KH. Said Aqil Siradj juga untuk seluruh jajaran pengurus PBNU yang akan segera terbentuk, nama saya nda perlu dimasukkan yaa, biar saja saya menjadi penggembira yang mencintai Nahdhatul Ulama.

dikutip dari :
(Oleh: KH. Nurul Huda (Enha) Bekasi).
www.padhang-mbulan.org

Sebarkan Kebaikan Sekarang
loading...

Santri Admin

Santri Admin has written 839 articles

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>