Perkataan Imam ibn Malik di atas dijelaskan oleh Imam Bahauddin Abdullah ibn Aqil (698-769 H) dalam Syarh Ibnu Aqil juz 1 halaman 77 sebagai berikut: “Isim yang tidak menerima tanwin hukumnya dirafa’kan dengan dhammah, contohnya “Jaa-a Ahmadu”, dinashabkan dengan fathah contohnya “Roaitu Ahmada”, dijarkan dengan fathah contohnya “Roaitu bi Ahmada”, fathah disini menggantikan kasrah. Ketentuan ini berlaku apabila kalimat isim yang tidak menerima tanwin tidak diidhafahkan atau diiringi alif dan lam. Jika ia diidhafahkan, maka ia dijarkan dengan kasrah, contohnya “marortu bi Ahmadikum”, begitu juga bila ia dimasukan alif dan lam, contohnya “marortu bi al-Ahmadi”, maka ia dijarkan dengan kasrah (bukan fathah).”
Apa yang penulis paparkan di atas bukan untuk menyalahkan bacaan niat puasa yang telah dilakukan banyak orang, yaitu lafadz Ramadhon yang dibaca fathah pada niat di atas tidak merusak niat puasa seseorang, hanya saja bacaan tersebut dipandang salah menurut para pakar ulama Nahwu (ahli kaidah bahasa Arab). Demikianlah tahqiq para ulama yang penulis dengar langsung dari para guru mulia kami. Penjelasan tersebut, kita akan temukan bila kita membaca langsung kitab-kitab mu’tabar para ulama dalam bab yang menjelaskan niat puasa Ramadhan. (Oleh: H. Rizqi Zulkarnain Al-Batawiy)
Kesimpulannya:
Boleh dan Sah melafalkan niat puasa sbb:
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
atau
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaana haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
Sumber : http://www.sarkub.com
Artikel Bermanfaat Lainya
Pages:
- 1
- 2