Ahmad Bagir Baabud wrote:
Assalamualaikum wr wb. ust ana mau tanya bagaimana tanggapan antum terhadap departemen kesehatan yang sekarang melarang bidan-bidan untuk mengkhitan bayi-bayi perempuan, padahal kita tau bagaimana pentingnya khitan terlebih untuk wanita , dengan tujuan agar wanita tadi itu tidak menjadi binal! dan langkah2 apa yang akan antum lakukan untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini, dan ini sudah marak dimana2. sekian pertanyaan alfagir, syukron ats jawabanya.
semoga Allah swt memanjangkan umur antum didalam taat kepada-Nya.
FORSAN SALAF menjawab:
Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki maupun perempuan yang baligh, berakal, jelas jenis kelaminnya dan memungkinkan untuk khitan. Namun sebagian ulama’ berpendapat wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.
Lelaki pertama yang berkhitan adalah Nabi Ibrohim as dan perempuan pertama adalah Siti Hajar. Dikisahkan Siti Sarah (istri Nabi Ibrohim) bersumpah akan memotong tiga anggota tubuh Siti Hajar ketika tersinggung setelah mengandung Nabi Isma’il. Kemudian Nabi Ibrohim mencarikan jalan keluar untuk melaksanakan sumpahnya dengan melubangi kedua daun telinga Siti Hajar dan mengkhitannya.
Jika ada pelarangan dari DepKes kepada para bidan untuk mengkhitan perempuan, maka selayaknya MUI badan hukum yang diakui negara hendaknya menegur dan mengeluarkan fatwa tentang kewajiban khitan bagi perempuan. Karena MUI adalah sebagai muhtasib (yang punya wewenang untuk melarang secara resmi) dan kewajiban khitan perkara bukan mujma’ alaih (atas kesepakatan ulama’) berarti tidak ada kewajiban bagi setiap muslim mengingkari perkara yang mukhtalaf fihi.
شرح سلم التوفيق / 86
(وترك الختان) اي وبعد احتمال الختان في العاقل الواضح كما قاله الفشني والدليل على وجوب الختان قوله تعالى ” ثم اوحينا اليك ان اتيع ملة ابراهيم حنيفا” وكان من ملته الختان…الى قوله…واما الصغيرة والمجنون ومن لا يحتمل الختان والخنثى فلا يجب ختنهم.
هامش اعانة الطالبين /4/ 173-174
(ووجب ختان) للمرأة والرجل حيث لم يولدا مختونين لقوله تعالى” ان اتبع ملة ابراهيم” ومنها الختان اختتن وهو ابن ثمانين سنة وقيل واجب على الرجال وسنة للنساء اهـ
فتح الباري لابن حجر – (ج 10 / ص 146)
– قَوْلُهُ : ( أَوَّل مَا اِتَّخَذَ النِّسَاء الْمِنْطَق )
بِكَسْرِ الْمِيم وَسُكُون النُّون وَفَتْح الطَّاء هُوَ مَا يُشَدّ بِهِ الْوَسَط ، وَوَقَعَ فِي رِوَايَة اِبْن جُرَيْجٍ النُّطُق بِضَمِّ النُّون وَالطَّاء وَهُوَ جَمْع مِنْطَق ، وَكَانَ السَّبَب فِي ذَلِكَ أَنَّ سَارَةَ كَانَتْ وَهَبَتْ هَاجَرَ لِإِبْرَاهِيم فَحَمَلَتْ مِنْهُ بِإِسْمَاعِيل ، فَلَمَّا وَلَدَتْهُ غَارَتْ مِنْهَا فَحَلَفَتْ لَتَقْطَعَنَّ مِنْهَا ثَلَاثَة أَعْضَاء فَاِتَّخَذَتْ هَاجَر مِنْطَقًا فَشَدَّتْ بِهِ وَسَطهَا وَهَرَبَتْ وَجَرَّتْ ذَيْلهَا لِتُخْفِي أَثَرهَا عَلَى سَارَةَ ، وَيُقَال إِنَّ إِبْرَاهِيم شَفَعَ فِيهَا وَقَالَ لِسَارَةَ : حَلِّلِي يَمِينك بِأَنْ تَثْقُبِي أُذُنَيْهَا وَتَخْفِضِيهَا وَكَانَتْ أَوَّل مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ . وَوَقَعَ فِي رِوَايَة اِبْن عُلَيَّة عِنْد الْإِسْمَاعِيلِيّ ” أَوَّل مَا أَحَدَّتْ الْعَرَب جَرّ الذُّيُول عَنْ أُمّ إِسْمَاعِيل ” وَذَكَرَ الْحَدِيث . وَيُقَال إِنَّ سَارَةَ اِشْتَدَّتْ بِهَا الْغَيْرَة فَخَرَجَ إِبْرَاهِيم بِإِسْمَاعِيل وَأُمّه إِلَى مَكَّة لِذَلِكَ
قال السهيلي : فكانت اول من اختتن من النساء و اول من ثقبت اذنها منهن و اول من طولت ذيلها
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج – (ج 26 / ص 350)
Here’s a well written article on the importance of female circumcision in Islam and the health and other benefits this noble practice offers to our sisters.
There exist many ahadith to show the important place, circumcision, whether of males or females, occupies in Islam.
Among these traditions is the one where the Prophet is reported to have declared circumcision (khitan) to be sunnat for men and ennobling for women (Baihaqi). He is also known to have declared that the bath (following sexual intercourse without which no prayer is valid) becomes obligatory when both the circumcised parts meet (Tirmidhi). The fact that the Prophet defined sexual intercourse as the meeting of the male and female circumcised parts (khitanul khitan) when stressing on the need for the obligatory post-coital bath could be taken as pre-supposing or indicative of the obligatory nature of circumcision in the case of both males and females.
Stronger still is his statement classing circumcision (khitan) as one of the acts characteristic of the fitra or God-given nature (Or in other words, Divinely-inspired natural inclinations of humans) such as the shaving of pubic hair, removing the hair of the armpits and the paring of nails (Bukhari) which again shows its strongly emphasized if not obligatory character in the case of both males and females. Muslim scholars are of the view that acts constituting fitra which the Prophet expected Muslims to follow are to be included in the category of wajib or obligatory.
That the early Muslims regarded female circumcision as obligatory even for those Muslims who embraced Islam later in life is suggested by a tradition occurring in the Adab al Mufrad of Bukhari where Umm Al Muhajir is reported to have said: “I was captured with some girls from Byzantium. (Caliph) Uthman offered us Islam, but only myself and one other girl accepted Islam. Uthman said: ‘Go and circumcise them and purify them.’”
More recently, we had Sheikh Jadul Haqq, the distinguished head of Al Azhar declaring both male and female circumcision to be obligatory religious duties (Khitan Al Banat in Fatawa Al-Islamiyyah. 1983). The fatwa by his successor Tantawi who opposed the practice cannot be taken seriously as we all know that he has pronounced a number of unislamic fatwas such as declaring bank interest halal and questioning the obligation of women wearing headdresses
At the same time, however, what is required in Islam, is the removal of only the prepuce of the clitoris, and not the clitoris itself as is widely believed. The Prophet is reported to have told Umm Atiyyah, a lady who circumcised girls in Medina: “When you circumcise, cut plainly and do not cut severely, for it is beauty for the face and desirable for the husband” (idha khafadti fa ashimmi wa la tanhaki fa innahu ashraq li’l wajh wa ahza ind al zawj) (Abu Dawud, Al Awsat of Tabarani and Tarikh Baghdad of Al Baghdadi).
This hadith clearly explains the procedure to be followed in the circumcision of girls. The words: “Cut plainly and do not cut severely” (ashimmi wa la tanhaki) is to be understood in the sense of removing the skin covering the clitoris, and not the clitoris. The expression “It is beauty (more properly brightness or radiance) for the face” (ashraq li’l wajh) is further proof of this as it simply means the joyous countenance of a woman, arising out of her being sexually satisfied by her husband. The idea here is that it is only with the removal of the clitoral prepuce that real sexual satisfaction could be realized. The procedure enhances sexual feeling in women during the sex act since a circumcised clitoris is much more likely to be stimulated as a result of direct oral, penile or digital contact than the uncircumcised organ whose prepuce serves as an obstacle to direct stimulation.
A number of religious works by the classical scholars such as Fath Al Bari by Ibn Hajar Asqalani and Sharhul Muhadhdhab of Imam Nawawi have stressed on the necessity of removing only the prepuce of the clitoris and not any part of the organ itself. It is recorded in the Majmu Al Fatawa that when Ibn Taymiyyah was asked whether the woman is circumcised, he replied: “Yes we circumcise. Her circumcision is to cut the uppermost skin (jilda) like the cock’s comb.” More recently Sheikh Jadul Haqq declared that the circumcision of females consists of the removal of the clitoral prepuce (Khitan Al Banat in Fatawa Al Islamiyya.1983).
Besides being a religious duty, the procedure is believed to facilitate good hygiene since the removal of the prepuce of the clitoris serves to prevent the accumulation of smegma, a foul-smelling, germ-containing cheese- like substance that collects underneath the prepuces of uncircumcised women (See Al Hidaayah. August 1997). A recent study by Sitt Al Banat Khalid ‘Khitan Al-Banat Ru’ yah Sihhiyyah’ (2003) has shown that female circumcision, like male circumcision, offers considerable health benefits, such as prevention of urinary tract infections and other diseases affecting the reproductive organs. Recent findings also conclusively prove that it prevents cystisis in women.
TERJEMAHAN :
Inilah sebuah tulisan indah tentang pentingnya khitan bagi wanita dalam Islam, kesehatan dan keuntungan-keuntungan lain dalam melaksanakan anjuran mulia ini bagai saudara-saudara wanita kita.
Terdapat banyak hadits yang menunjukan bagian terpenting dalam khitan bagi laki-laki maupun wanita kedudukannya dalam Islam.
Satu diantara tradisi-tradisi ini telah disabdakan oleh nabi tentang keharusan khitan /sunnat bagi orang laki dan menaikkan derajat bagi wanita (Baihaqi). Beliau juga menyatakan bahwa mandi Janabat (setelah melakukan hubungan badan) menjadi suatu kewajiban bila kedua bagian yang telah dikhitan bertemu (Tirmidhi). Secara pasti nabi telah memberi tanda bahwa hubungan badan adalah pertemuan bagian yang telah dikhitan antara laki-laki dan perempuan (khitanul khitan) ketika menekankan kewajiban mandi harus dilakukan sebagai prediksi atau indikasi kewajiban murni dari khitan dalam permasalahan keduanya laki-laki dan wanita.
Lebih tegas beliau menyatakan, khitan adalah satu jenis tindakan suci atau asli pemberian tuhan (atau dalam kata lain, kecenderungan alam bagi manusia) seperti mencukur rambut, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku (Bukhori) yang juga merupakan anjuran kuat agar diutamakan walau bukan merupakan kewajiban bagi keduanya laki-laki dan wanita. Sarjana-sarjana Muslim adalah sebagai pemandangan aksi tindakan suci yang diharapkan nabi untuk diikuti dan termasuk dalam katagori wajib.
Orang-orang Muslim terdahulu menghormati wanita yang khitan sebagai kewajiban walaupun bagi mereka yang nantinya memeluk Islam dalam hidupnya disarankan oleh sebuah tradisi di Adab al Mufrad of Bukhori, dimana Umm Al Muhajir melaporkan : Saya ditangkap bersama beberapa gadis di Byzantium. (Caliph) Uthman menawarkan Islam kepada kita, tetapi hanya diri saya dan satu gadis lain yang menerima Islam. Uthman berkata : “Pergilah , khitan dan sucikanlah mereka.”
Lebih lanjut akhir-akhirnya ini, Sheikh Jadul Haqq, Kepala Al Azhar menyatakan bahwa khitan bagi laki-laki dan perempuan menjadi kewajiban-kewajiban tugas agama (Khitan Al Banat in Fatawa Al-Islamiyyah.1983). Fatwa yang disampaikan pengganti Tantawi yang ditolak dalam prakteknya tidak dapat diambil secara sungguh-sungguh seperti kita semua tahu bahwa dia telah mengatakan sejumlah fatwa yang tidak Islami seperti bunga bank halal dan mempertanyakan kewajiban wanita memakai jilbab.
Bagaimanapun juga, apapun yang dikehendaki Islam, hanya merupakan penghilangan bagian kulit yang menutupi klitoris dan yang dipercaya bukan pada klitoris itu sendiri. Seperti dilaporkan, Nabi mengatakan kepada Umm Atiyyah, seorang wanita yang menghitan gadis-gadis di Madinah: “Ketika Anda mengkhitan, potonglah dengan teratur dan jangan dipotong secara keras/kasar, supaya tampak indah dan menggairahkan suami” (idha khafadti fa ashimmi wa la tanhaki fa innahu ashraq li’l wajh wa ahza ind al zawj) (Abu Dawud, Al Awsar of Tabarani dan Tarikh Baghdan dari Al Baghdadi).
Hadits ini dengan jelas menerangkan prosedur yang harus diikuti dalam pelaksanaan khitan. ” Potonglah dengan teratur dan jangan dipotong secara keras/kasar” (ashimmi wa la tanhaki) yang dimaksud dalam menghilangkan bagian kulit yang menutupi klitoris dan bukan klitorisnya. Ungkapan “Itu supaya tampak indah (Supaya lebih terang atau bercahaya) dalam bentuk” (ashraq li’l wajh) lebih jauh diartikan penampilan Mr V yang lebih menimbulkan gairah sex yang memuaskan suaminya. Dapat disimpulkan disini bahwa hanya dengan menghilangkan bagian klitoris, kepuasan dalam sex dapat tercipta. Cara ini menambah gairah pada wanita dalam bersenggama sejak klitoris dikhitan dan lebih memberi semangat dalam bersenggama tapi bagi yang bagiannya tidak dikhitan hal itu menjadi penghalang.
Sejumlah mubaliqh dari sarjana-sarjana kuno seperti Fath Al Bari oleh Ibn Hajas Asqalani dan Shrhul Muhadhdhab dari Imam Nawawi menekankan pentingnya memotong bagian luar yang berada di klitoris dan bukan pada setiap bagian dalam organ itu sendiri. Hal ini juga terdapat di Majmu Al Fatawa ketika Ibn Taymiyyah ditanya apakah wanita itu dikhitan, dia menjawab: Ya kita khitan. Khitannya adalah memotong bagian kulit paling atas (jilda). Sheikh Jadul Haqq menyatakan bahwa khitannya wanita adalah menghilangkan bagian atas klitoris ( Khitan Al Banat Fatawa Al Islamiyya 1983).
Disamping sebagai kewajiban agama, khitan dipercaya menjaga kebersihan , mencegah penimbunan smegma, bau busuk, kuman yang biasanya bersarang didalam bagian wanita yang tidak dikhitan (lihat Al hidayah, Agustus 1997). Baru-baru ini studi Sitt Al Banat Khalid ‘Khitan Al Banat Ru’yah Sihhiyyah (2003) menunjukan bahwa wanita khitan seperti laki-laki khitan, sama-sama mendapatkan keuntungan kesehatan, seperti pencegahan infeksi saluran kencing dan penyakit-penyakit lain yang menjangkiti alat-alat reproduksi. Akhir-akhir ini juga dapat dibuktikan bahwa khitan mencegah pembengkakan pada wanita.
Here’s a well written article on the importance of female circumcision in Islam and the health and other benefits this noble practice offers to our sisters.
There exist many ahadith to show the important place, circumcision, whether of males or females, occupies in Islam.
Among these traditions is the one where the Prophet is reported to have declared circumcision (khitan) to be sunnat for men and ennobling for women (Baihaqi). He is also known to have declared that the bath (following sexual intercourse without which no prayer is valid) becomes obligatory when both the circumcised parts meet (Tirmidhi). The fact that the Prophet defined sexual intercourse as the meeting of the male and female circumcised parts (khitanul khitan) when stressing on the need for the obligatory post-coital bath could be taken as pre-supposing or indicative of the obligatory nature of circumcision in the case of both males and females.
Stronger still is his statement classing circumcision (khitan) as one of the acts characteristic of the fitra or God-given nature (Or in other words, Divinely-inspired natural inclinations of humans) such as the shaving of pubic hair, removing the hair of the armpits and the paring of nails (Bukhari) which again shows its strongly emphasized if not obligatory character in the case of both males and females. Muslim scholars are of the view that acts constituting fitra which the Prophet expected Muslims to follow are to be included in the category of wajib or obligatory.
That the early Muslims regarded female circumcision as obligatory even for those Muslims who embraced Islam later in life is suggested by a tradition occurring in the Adab al Mufrad of Bukhari where Umm Al Muhajir is reported to have said: “I was captured with some girls from Byzantium. (Caliph) Uthman offered us Islam, but only myself and one other girl accepted Islam. Uthman said: ‘Go and circumcise them and purify them.’”
More recently, we had Sheikh Jadul Haqq, the distinguished head of Al Azhar declaring both male and female circumcision to be obligatory religious duties (Khitan Al Banat in Fatawa Al-Islamiyyah. 1983). The fatwa by his successor Tantawi who opposed the practice cannot be taken seriously as we all know that he has pronounced a number of unislamic fatwas such as declaring bank interest halal and questioning the obligation of women wearing headdresses
At the same time, however, what is required in Islam, is the removal of only the prepuce of the clitoris, and not the clitoris itself as is widely believed. The Prophet is reported to have told Umm Atiyyah, a lady who circumcised girls in Medina: “When you circumcise, cut plainly and do not cut severely, for it is beauty for the face and desirable for the husband” (idha khafadti fa ashimmi wa la tanhaki fa innahu ashraq li’l wajh wa ahza ind al zawj) (Abu Dawud, Al Awsat of Tabarani and Tarikh Baghdad of Al Baghdadi).
This hadith clearly explains the procedure to be followed in the circumcision of girls. The words: “Cut plainly and do not cut severely” (ashimmi wa la tanhaki) is to be understood in the sense of removing the skin covering the clitoris, and not the clitoris. The expression “It is beauty (more properly brightness or radiance) for the face” (ashraq li’l wajh) is further proof of this as it simply means the joyous countenance of a woman, arising out of her being sexually satisfied by her husband. The idea here is that it is only with the removal of the clitoral prepuce that real sexual satisfaction could be realized. The procedure enhances sexual feeling in women during the sex act since a circumcised clitoris is much more likely to be stimulated as a result of direct oral, penile or digital contact than the uncircumcised organ whose prepuce serves as an obstacle to direct stimulation.
A number of religious works by the classical scholars such as Fath Al Bari by Ibn Hajar Asqalani and Sharhul Muhadhdhab of Imam Nawawi have stressed on the necessity of removing only the prepuce of the clitoris and not any part of the organ itself. It is recorded in the Majmu Al Fatawa that when Ibn Taymiyyah was asked whether the woman is circumcised, he replied: “Yes we circumcise. Her circumcision is to cut the uppermost skin (jilda) like the cock’s comb.” More recently Sheikh Jadul Haqq declared that the circumcision of females consists of the removal of the clitoral prepuce (Khitan Al Banat in Fatawa Al Islamiyya.1983).
Besides being a religious duty, the procedure is believed to facilitate good hygiene since the removal of the prepuce of the clitoris serves to prevent the accumulation of smegma, a foul-smelling, germ-containing cheese- like substance that collects underneath the prepuces of uncircumcised women (See Al Hidaayah. August 1997). A recent study by Sitt Al Banat Khalid ‘Khitan Al-Banat Ru’ yah Sihhiyyah’ (2003) has shown that female circumcision, like male circumcision, offers considerable health benefits, such as prevention of urinary tract infections and other diseases affecting the reproductive organs. Recent findings also conclusively prove that it prevents cystisis in women.
TERJEMAHAN :
Inilah sebuah tulisan indah tentang pentingnya khitan bagi wanita dalam Islam, kesehatan dan keuntungan-keuntungan lain dalam melaksanakan anjuran mulia ini bagai saudara-saudara wanita kita.
Terdapat banyak hadits yang menunjukan bagian terpenting dalam khitan bagi laki-laki maupun wanita kedudukannya dalam Islam.
Satu diantara tradisi-tradisi ini telah disabdakan oleh nabi tentang keharusan khitan /sunnat bagi orang laki dan menaikkan derajat bagi wanita (Baihaqi). Beliau juga menyatakan bahwa mandi Janabat (setelah melakukan hubungan badan) menjadi suatu kewajiban bila kedua bagian yang telah dikhitan bertemu (Tirmidhi). Secara pasti nabi telah memberi tanda bahwa hubungan badan adalah pertemuan bagian yang telah dikhitan antara laki-laki dan perempuan (khitanul khitan) ketika menekankan kewajiban mandi harus dilakukan sebagai prediksi atau indikasi kewajiban murni dari khitan dalam permasalahan keduanya laki-laki dan wanita.
Lebih tegas beliau menyatakan, khitan adalah satu jenis tindakan suci atau asli pemberian tuhan (atau dalam kata lain, kecenderungan alam bagi manusia) seperti mencukur rambut, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku (Bukhori) yang juga merupakan anjuran kuat agar diutamakan walau bukan merupakan kewajiban bagi keduanya laki-laki dan wanita. Sarjana-sarjana Muslim adalah sebagai pemandangan aksi tindakan suci yang diharapkan nabi untuk diikuti dan termasuk dalam katagori wajib.
Orang-orang Muslim terdahulu menghormati wanita yang khitan sebagai kewajiban walaupun bagi mereka yang nantinya memeluk Islam dalam hidupnya disarankan oleh sebuah tradisi di Adab al Mufrad of Bukhori, dimana Umm Al Muhajir melaporkan : Saya ditangkap bersama beberapa gadis di Byzantium. (Caliph) Uthman menawarkan Islam kepada kita, tetapi hanya diri saya dan satu gadis lain yang menerima Islam. Uthman berkata : “Pergilah , khitan dan sucikanlah mereka.”
Lebih lanjut akhir-akhirnya ini, Sheikh Jadul Haqq, Kepala Al Azhar menyatakan bahwa khitan bagi laki-laki dan perempuan menjadi kewajiban-kewajiban tugas agama (Khitan Al Banat in Fatawa Al-Islamiyyah.1983). Fatwa yang disampaikan pengganti Tantawi yang ditolak dalam prakteknya tidak dapat diambil secara sungguh-sungguh seperti kita semua tahu bahwa dia telah mengatakan sejumlah fatwa yang tidak Islami seperti bunga bank halal dan mempertanyakan kewajiban wanita memakai jilbab.
Bagaimanapun juga, apapun yang dikehendaki Islam, hanya merupakan penghilangan bagian kulit yang menutupi klitoris dan yang dipercaya bukan pada klitoris itu sendiri. Seperti dilaporkan, Nabi mengatakan kepada Umm Atiyyah, seorang wanita yang menghitan gadis-gadis di Madinah: “Ketika Anda mengkhitan, potonglah dengan teratur dan jangan dipotong secara keras/kasar, supaya tampak indah dan menggairahkan suami” (idha khafadti fa ashimmi wa la tanhaki fa innahu ashraq li’l wajh wa ahza ind al zawj) (Abu Dawud, Al Awsar of Tabarani dan Tarikh Baghdan dari Al Baghdadi).
Hadits ini dengan jelas menerangkan prosedur yang harus diikuti dalam pelaksanaan khitan. ” Potonglah dengan teratur dan jangan dipotong secara keras/kasar” (ashimmi wa la tanhaki) yang dimaksud dalam menghilangkan bagian kulit yang menutupi klitoris dan bukan klitorisnya. Ungkapan “Itu supaya tampak indah (Supaya lebih terang atau bercahaya) dalam bentuk” (ashraq li’l wajh) lebih jauh diartikan penampilan Mr V yang lebih menimbulkan gairah sex yang memuaskan suaminya. Dapat disimpulkan disini bahwa hanya dengan menghilangkan bagian klitoris, kepuasan dalam sex dapat tercipta. Cara ini menambah gairah pada wanita dalam bersenggama sejak klitoris dikhitan dan lebih memberi semangat dalam bersenggama tapi bagi yang bagiannya tidak dikhitan hal itu menjadi penghalang.
Sejumlah mubaliqh dari sarjana-sarjana kuno seperti Fath Al Bari oleh Ibn Hajas Asqalani dan Shrhul Muhadhdhab dari Imam Nawawi menekankan pentingnya memotong bagian luar yang berada di klitoris dan bukan pada setiap bagian dalam organ itu sendiri. Hal ini juga terdapat di Majmu Al Fatawa ketika Ibn Taymiyyah ditanya apakah wanita itu dikhitan, dia menjawab: Ya kita khitan. Khitannya adalah memotong bagian kulit paling atas (jilda). Sheikh Jadul Haqq menyatakan bahwa khitannya wanita adalah menghilangkan bagian atas klitoris ( Khitan Al Banat Fatawa Al Islamiyya 1983).
Disamping sebagai kewajiban agama, khitan dipercaya menjaga kebersihan , mencegah penimbunan smegma, bau busuk, kuman yang biasanya bersarang didalam bagian wanita yang tidak dikhitan (lihat Al hidayah, Agustus 1997). Baru-baru ini studi Sitt Al Banat Khalid ‘Khitan Al Banat Ru’yah Sihhiyyah (2003) menunjukan bahwa wanita khitan seperti laki-laki khitan, sama-sama mendapatkan keuntungan kesehatan, seperti pencegahan infeksi saluran kencing dan penyakit-penyakit lain yang menjangkiti alat-alat reproduksi. Akhir-akhir ini juga dapat dibuktikan bahwa khitan mencegah pembengkakan pada wanita.
@ ahmed :
thanks for your participation of sending an article about circumcision. We appreciate and thanks much to you.
Continously, we are waiting for your others article.
terima kasih banyak atas partisipasi Anda telah mengirimkan artikel tentang khitan. Kami sangat menghargainya dan terima kasih banyak. Selanjutnya, kami akan selalu menantikan kiriman artikel Anda yang lain.
@ ahmed :
thanks for your participation of sending an article about circumcision. We appreciate and thanks much to you.
Continously, we are waiting for your others article.
terima kasih banyak atas partisipasi Anda telah mengirimkan artikel tentang khitan. Kami sangat menghargainya dan terima kasih banyak. Selanjutnya, kami akan selalu menantikan kiriman artikel Anda yang lain.
Memang cewek seharusnya khitan spt cowok,agar si suami lbh nikmat.
Memang cewek seharusnya khitan spt cowok,agar si suami lbh nikmat.
bukan begitu Bang….dipotongnya ntu biar si wanita ga pecicilan atawe kegatelan lantaran bagian yang dipotong(asal dipotong sahaja) dapat meredam libido perempuan.Biar gak hyper sex Bang…
bukan begitu Bang….dipotongnya ntu biar si wanita ga pecicilan atawe kegatelan lantaran bagian yang dipotong(asal dipotong sahaja) dapat meredam libido perempuan.Biar gak hyper sex Bang…
assalamu alaikum.
mohon dapat dijelaskan jawaban yg mashur tentang khitan bagi wanita bagaimana?
Bagaimana kalo anak itu belum di kitan di mana bisa mengkhitannkan biar sesuai dg syariat?
ini terjadi saat ini merupakan fenomena kehidupan. hanya bagaimana mencari jalan keluarnya bila anak itu sdh baligh? atau belum? mohon jawabannya sebab ini sangat penting bual alfakir ini
terimakasih.
wassalamualaikum.
assalamu alaikum.
mohon dapat dijelaskan jawaban yg mashur tentang khitan bagi wanita bagaimana?
Bagaimana kalo anak itu belum di kitan di mana bisa mengkhitannkan biar sesuai dg syariat?
ini terjadi saat ini merupakan fenomena kehidupan. hanya bagaimana mencari jalan keluarnya bila anak itu sdh baligh? atau belum? mohon jawabannya sebab ini sangat penting bual alfakir ini
terimakasih.
wassalamualaikum.
saya dengar MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan. Tapi menurut saya kalau khitannya terlalu berlebihan sebagaimana dilakukan oleh wanita di afrika juga tidak boleh. katanya bisa menimbulkan rasa nyeri bagi perempuan tersebut ketika dewasa. sunnahnya kan memang hanya disunat sedikit saja dari (maaf) glambirnya (jaldah) saja. kitab i’anah juga sudah membahasnya kok. berikut petikannya:
(قوله: والمرأة الخ) أي والواجب في ختان المرأة قطع جزء يقع عليه اسم الختان وتقليله أفضل لخبر أبي داود وغيره أنه (ص) قال للخاتنة: أشمي ولا تنهكي فإنه أحظى للمرأة وأحب للبعل أي لزيادته في لذة الجماع، وفي رواية: أسرى للوجه أي أكثر لمائه ودمه.
saya dengar MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan. Tapi menurut saya kalau khitannya terlalu berlebihan sebagaimana dilakukan oleh wanita di afrika juga tidak boleh. katanya bisa menimbulkan rasa nyeri bagi perempuan tersebut ketika dewasa. sunnahnya kan memang hanya disunat sedikit saja dari (maaf) glambirnya (jaldah) saja. kitab i’anah juga sudah membahasnya kok. berikut petikannya:
(قوله: والمرأة الخ) أي والواجب في ختان المرأة قطع جزء يقع عليه اسم الختان وتقليله أفضل لخبر أبي داود وغيره أنه (ص) قال للخاتنة: أشمي ولا تنهكي فإنه أحظى للمرأة وأحب للبعل أي لزيادته في لذة الجماع، وفي رواية: أسرى للوجه أي أكثر لمائه ودمه.
@ton:Klo anda ingin pndpt yg masyhur g ada.krn setiap madzhab mempunyai sudut pandang berbeda2.Alhasil,Dr amin daud mengatakan:klo mau ikut yg hrs mengkhitan di harap kpd ahlix,krn di negara sudan 20-25% perempuan mandul disebabkan krn cara menghitanx yg tdk sesuai.dikarnakan khitan utk perempuan berbeda2.ada yg namax khitan basith: memotong sebagian clitoris atau semuax.ada jg khitan mutawassith: memotong clitoris,bibir kcl kemaluan(labium minus pudendi) n sdkt dr bibir bsr(labium majus pudendi) kemaluan.
@ton:Klo anda ingin pndpt yg masyhur g ada.krn setiap madzhab mempunyai sudut pandang berbeda2.Alhasil,Dr amin daud mengatakan:klo mau ikut yg hrs mengkhitan di harap kpd ahlix,krn di negara sudan 20-25% perempuan mandul disebabkan krn cara menghitanx yg tdk sesuai.dikarnakan khitan utk perempuan berbeda2.ada yg namax khitan basith: memotong sebagian clitoris atau semuax.ada jg khitan mutawassith: memotong clitoris,bibir kcl kemaluan(labium minus pudendi) n sdkt dr bibir bsr(labium majus pudendi) kemaluan.
terimaksih atas jawabannya tapi masih belum saya terima semuanya. perihal khitan ini bila kita mengituki madzhab yg mengharuskan utk dikhitan dimana kami bisa melakukan? sementara anak anak kami sdh mulai berumur 8 tahun bagi yang wanita sementara kami sangat berkeinginan untuk mengkhitannya.
adakah didaerah jatim tempat untuk itu yang dimana pelaksanaanya benar benar syariat? ini sangat penting sekali buat alfakir yan sebelumya tidak memahami bila wanita itupun dikhitan.
tolong berilah kami alamatnya dan batasan usia berapa wanita itu dihitan?
terimaksih atas jawabannya tapi masih belum saya terima semuanya. perihal khitan ini bila kita mengituki madzhab yg mengharuskan utk dikhitan dimana kami bisa melakukan? sementara anak anak kami sdh mulai berumur 8 tahun bagi yang wanita sementara kami sangat berkeinginan untuk mengkhitannya.
adakah didaerah jatim tempat untuk itu yang dimana pelaksanaanya benar benar syariat? ini sangat penting sekali buat alfakir yan sebelumya tidak memahami bila wanita itupun dikhitan.
tolong berilah kami alamatnya dan batasan usia berapa wanita itu dihitan?
Ust mohon penjelasan tambahan:
1.Kapan sbaiknya khitan itu dilakukan bagi perempuan, saat bayi atau kanak-kanak atau remaja atau dewasa?
2.Pernah kami datang kpd bidan utk menghitan anak prempuan kami yang brusia 2 tahun, tp bidan malah melarang katanya di kesehatan RI sudah di larang hitan bagi perempuan. Gmn solusinya?
(kami tinggal di Kab. Pasuruan kec. Gondangwetan JATIM)
Mohon infonya…
Ust mohon penjelasan tambahan:
1.Kapan sbaiknya khitan itu dilakukan bagi perempuan, saat bayi atau kanak-kanak atau remaja atau dewasa?
2.Pernah kami datang kpd bidan utk menghitan anak prempuan kami yang brusia 2 tahun, tp bidan malah melarang katanya di kesehatan RI sudah di larang hitan bagi perempuan. Gmn solusinya?
(kami tinggal di Kab. Pasuruan kec. Gondangwetan JATIM)
Mohon infonya…
@ zenkom, waktu khitan baik untuk laki-laki atau perempuan sebaiknya di hari ketujuh dari kelahiran jika memungkinkan. Namun apabila tidak memungkinkan, maka ditunggu hingga saat memungkinkan baginya untuk dikhitan.
Adapun jika tidak ada bidan yang mau untuk mengkhitan, maka ikuti saja pendapat ulama’ yang tidak mewajibkan khitan bagi perempuan.
@ zenkom, waktu khitan baik untuk laki-laki atau perempuan sebaiknya di hari ketujuh dari kelahiran jika memungkinkan. Namun apabila tidak memungkinkan, maka ditunggu hingga saat memungkinkan baginya untuk dikhitan.
Adapun jika tidak ada bidan yang mau untuk mengkhitan, maka ikuti saja pendapat ulama’ yang tidak mewajibkan khitan bagi perempuan.
In contrast to those who say that Islamic female circumcision (hoodectomy) is harmful to women’s sexual health, there are many research studies proving otherwise. The latest is the recent study Orgasmic Dysfunction Among Women at a Primary Care Setting in Malaysia. Hatta Sidi, and Marhani Midin, and Sharifah Ezat Wan Puteh, and Norni Abdullah, (2008) Asia Pacific Journal of Public Health, 20 (4) accessible http://myais.fsktm.um.edu.my/4480/ which shows that being Non-Malay is a higher risk factor for Orgasmic Sexual Dysfunction in women, implying that Malay women experience less problems in achieving orgasm than non-Malay women. As you know almost all Malay women in Malaysia are circumcised (undergo hoodectomy) in contrast to non-Malay women who are not. This would suggest that hoodectomy does in fact contribute to an improved sex life in women rather than diminishing it as some argue
In contrast to those who say that Islamic female circumcision (hoodectomy) is harmful to women’s sexual health, there are many research studies proving otherwise. The latest is the recent study Orgasmic Dysfunction Among Women at a Primary Care Setting in Malaysia. Hatta Sidi, and Marhani Midin, and Sharifah Ezat Wan Puteh, and Norni Abdullah, (2008) Asia Pacific Journal of Public Health, 20 (4) accessible http://myais.fsktm.um.edu.my/4480/ which shows that being Non-Malay is a higher risk factor for Orgasmic Sexual Dysfunction in women, implying that Malay women experience less problems in achieving orgasm than non-Malay women. As you know almost all Malay women in Malaysia are circumcised (undergo hoodectomy) in contrast to non-Malay women who are not. This would suggest that hoodectomy does in fact contribute to an improved sex life in women rather than diminishing it as some argue
Perempuan arab pertama yang disunatkan adalah Siti Hajar atas desakan Siti Sarah yang cemburu dengannya.
Siti Sarah cemburu hingga mahu bersumpah untuk memotong 3 bahagian tubuh Siti Sarah yang jauh lebih muda dan cantik.
Sebagai seorang perempuan tentu dia kenal bahagian mana tubuh perempuan yang menyeronokan sebab itu dia menyuruh Ibrahim membuat lubang di kedua telinga Siti Sarah. Tentu sekali ianya sakit kerana zaman itu tidak ada bius.
Kemungkinan hujung pisau yang tajam digunakan. Bayangkan sakitnya.
Tetapi Siti Sarah masih tidak puas hati dan mahu Siti Sarah dikenakan hukuman lebih berat. Yaitu di potong dibahagian sulit dan sangat sensitif bagi seorang wanita kelintitnya.
Maka Siti Sarah diikat kedua kaki yang dikangkang luas untuk mendedahkan alat sulit nya sebelum dipotong dengan kejam.
Ya jadi wanita hari ini beruntung ada bius..
Perempuan arab pertama yang disunatkan adalah Siti Hajar atas desakan Siti Sarah yang cemburu dengannya.
Siti Sarah cemburu hingga mahu bersumpah untuk memotong 3 bahagian tubuh Siti Sarah yang jauh lebih muda dan cantik.
Sebagai seorang perempuan tentu dia kenal bahagian mana tubuh perempuan yang menyeronokan sebab itu dia menyuruh Ibrahim membuat lubang di kedua telinga Siti Sarah. Tentu sekali ianya sakit kerana zaman itu tidak ada bius.
Kemungkinan hujung pisau yang tajam digunakan. Bayangkan sakitnya.
Tetapi Siti Sarah masih tidak puas hati dan mahu Siti Sarah dikenakan hukuman lebih berat. Yaitu di potong dibahagian sulit dan sangat sensitif bagi seorang wanita kelintitnya.
Maka Siti Sarah diikat kedua kaki yang dikangkang luas untuk mendedahkan alat sulit nya sebelum dipotong dengan kejam.
Ya jadi wanita hari ini beruntung ada bius..