Suatu ketika Bung Karno memimpin sidang DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang diantaranya membahas cara membasmi hama tikus. KH. Saifuddin Zuhri yang pada waktu itu sedang menjabat menteri agama ikut hadir, begitu pula Aidit, tokoh PKI yang kebetulan duduk agak dekat dengan KH. Saifuddin. Tiba-tiba saja di tengah sidang Aidit dengan sengaja melancarkan pertanyaan dengan nada sindiran. Untuk mengejek hukum Islam yang mengharamkan daging tikus.
“Saudara ketua, baiklah kiranya ditanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya ini, bagaimana hukumnya menurut agama Islam memakan daging tikus?” ujar Aidit.
KH. Saifuddin Zuhri merasa ditantang dengan sindiran beraroma penghinaan itu. Tentunya Aidit paham betul jawaban dari apa yang ia tanyakan tersebut. Tetapi Aidit dengan sengaja mendemonstrasikan antipatinya terhadap Islam. KH. Saifuddin Zuhri pun lantas menjawab dengan tak kalah cerdiknya.
“Saudara ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku ini sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng, karena itu jangan dibelokkan untuk makan daging tikus!”
Tentu saja jawaban yang diberikan KH. Saifuddin Zuhri mengundang gelak tawa para anggota termasuk Bung Karno yang memimpin sidang DPA. Bisa dibayangkan, bagaimana wajah Aidit kala itu.
Sekilas Biografi KH. Saifuddin Zuhri
Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (lahir di kota kawedanan Sokaraja, 9 kilometer dari Banyumas, 1 Oktober 1919 – meninggal 25 Maret 1986 pada umur 66 tahun)
Ayahnya bernama Haji Muhammad Zuhri dari keluarga petani yang taat beragama. Ibunya bernama Siti Saudatun, salah seorang cucu Kiai Asraruddin, seorang ulama yang berpengaruh dan memimpin sebuah pesantren kecil di daerahnya. Ketika tak dapat menghindari penunjukan Bupati (Regent) Banyumas untuk memangku jabatan penghulu, pengaruh Kiai Asraruddin bertambah besar. Jadilah ia seorang ulama, politisi, pejuang sekaligus seorang penghulu.
K.H. Saifuddin Zuhri dibesarkan dalam pendidikan pesantren di daerah kelahirannya, sebuah pesantren kecil yang tidak tenar namanya. Masa mudanya ditempuh dalam keprihatinan untuk mendidik diri sendiri. Ia memasuki pergerakan pemuda dalam tempaan zaman pergolakan bersenjata dan pergerakan politik. Pada usia 19 tahun ia dipilih menjadi pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama Daerah Jawa Tengah Selatan, dan Konsul Nahdlatul ‘Ulama Daerah Kedu merangkap Guru Madrasah. Berbarengan dengan itu ia aktif dalam dunia kewartawanan, menjadi koresponden kantor berita Antara (kini Lembaga Kantor Berita Nasional Antara) dan beberapa harian dan majalah.
Pada usia 35 tahun K.H. Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merangkap Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat dan anggota Parlemen Sementara. Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada usia 39 tahun, lalu mengangkatnya menjadi Menteri Agama ketika berusia 43 tahun.
Menjabat Menteri Agama
Kisah pengangkatannya sebagai Menteri Agama, pada tanggal 17 Februari 1962, tepat pada hari Jum’at, ia diminta menghadap ke Istana Merdeka. Banyak teka-teki memenuhi benaknya ketika dia memenuhi panggilan Bung Karno. Apakah karena urusan DPR atau DPA? Apa urusan NU? Atau surat kabar Duta Masyarakat? Ternyata dalam pertemuan itu Bung Karno minta K.H. Saifuddin Zuhri agar menjadi Menteri Agama, menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
“Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama,” ujar Bung Karno ketika itu.
Permintaan ini tidak serta merta diambil oleh KH. Saifuddin Zuhri, tetapi justru meminta pendapat terlebih dahulu kepada tokoh NU, khususnya K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Chalid. Selain itu, ia juga bertemu dengan K.H. Wahib Wahab dan mencari tahu kenapa Bung Karno memilih dia untuk menggantikan K.H. Wahib Wahab yang mundur sebagai Menteri Agama. Setelah bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut dan semua mendukung, K.H. Saifuddin Zuhri menerima penunjukannya sebagai Menteri Agama.
Pada periode kepemimpinannya sebagai Menteri Agama inilah, dunia pendidikan tinggi Islam berkembang pesat. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) berkembang di sembilan provinsi, masing-masing memiliki cabang di kota kabupaten. Jika KH. Saifuddin adalah menteri agama ke-9 maka putranya. Lukman Hakim Saifuddin adalah menteri agama ke-22 (saat ini).
Perjuangan
K.H. Saifuddin Zuhri diangkat sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu ia memimpin laskar Hizbullah untuk bersama-sama pasukan TKR di bawah pimpinan Kol. Soedirman, dan berbagai pasukan kelasykaran rakyat lainnya ikut pertempuran Ambarawa (yang terkenal dengan peristiwa Palagan Ambarawa) itu dan berhasil mengusir penjajah. Karena keterlibatan aktif, sungguh-sungguh, dan penuh kepahlawanan dari KH. Saifuddin Zuhri dalam Perang Ambarawa dan perang gerilya lainnya, maka Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menganugerahkan “Tanda Kehormatan Bintang Gerilya”, sesuai dengan SK Presiden Republik Indonesia No. 2/Btk/1965 tanggal 4 Januari 1965.
Tanah Untuk Pesantren
Selain dari Pemerintah Republik Indonesia, KH. Saifuddin Zuhri sering mendapatkan penghargaan berupa tanah dari masyarakat. Dalam surat hibah tanah itu ditulis ucapan terima kasih kepada Komandan Hizbullah KH. Saifuddin Zuhri karena telah membantu menyelamatkan keluarganya pada zaman revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, tanah itu tidak dijadikan sebagai tanah pribadi. KH. Saifuddin memberikan tanah itu kepada kiai lokal untuk dijadikan sebagai pesantren atau lembaga pendidikan Islam.
Kenapa KH. Saifuddin Zuhri meminta agar tanah yang diterima dari orang kaya yang pernah ditolongnya menjadi pesantren? Baginya, pesantren merupakan lembaga di mana para pelajar dididik secara holistik, baik secara intelektual maupun secara mental. Lebih dari itu, pesantren merupakan basis dan pondasi untuk memupuk nasionalisme, terutama di kalangan umat Islam. Pesantren yang biasanya didatangi pelajar dari penjuru tanah air merupakan “kawah candradimuka” yang paling ampuh untuk mengenalkan persaudaraan antar sesama bangsa yang dalam tradisi Nahdlatul Ulama sering disebut dengan ukhuwah wathaniyah.
Karya Tulis
• (1947) Palestina dari Zaman ke Zaman
• (1965) Agama Unsur Mutlak dalam National Building
• (1972) K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Bapak Pendiri NU
• (1974) Guruku Orang-orang dari Pesantren
• (1979) Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
• (1981) Kaleidoskop Politik Indonesia (tiga jilid)
• (1982) Unsur Politik dalam Dakwah
• (1983) Secercah Dakwah
• Berangkat dari Pesantren – karyanya yang rampung beberapa bulan menjelang akhir hayat.