Dana Talangan Haji

Deskripsi Masalah :

Antrean calon jama’ah haji Indonesia makin panjang meskipun pemerintah telah memberlakukan peraturan dana minimal porsi haji sebesar Rp 25.000.000. Untuk Jawa Tengah misalya, calon jama’ah haji yang daftar setelah bulan Nofember 2010 harus rela menunggu untuk menunaikan kewajiban hajinya hingga tahun 2016 M. Menurut beberapa sumber, dana parkir yang berasal dari ONH ini tidak kurang dari 25 Trilun Rupiah. Adalah uang dalam satuan jumlah yang sangat banyak dan tentunya sangat membantu fakir miskin bila rutin dizakati setiap tahunnya.

Pertanyaan :

  1. Apakah uang Rupiah wajib dizakati?
  2. Jika wajib, apakah dana setoran awal ONH juga wajib dizakati, dan siapa yang berkewajiban mengeluarkannya?

(Pertanyaan dari : PCNU KAB. CILACAP)

Jawab :

  1. Ada perbedaan pendapat diantara Ulama’, sebagian Ulama’ mengatakan wajib zakat pada uang rupiah dengan memandang nilai yang terkandung dalam uang rupiah tersebut, sebagian Ulama’ yang lain mengatakan wajib zakat pada uang rupiah apabila diniati tijarah.
  2. Gugur.

Maraji’ :

موهبة ذي الفضل ج 4 ص 29 – 30

واختلف المتأخرون بالنوط فعند الشيخ سالم بن سمير والحبيب عبد الله بن سميط أنها من قبيل الديون نظرا إلى ما تضمنته الورقات المذكورة من النقود المتعامل بها, وعند الشيخ محمد الأنباني والحبيب عبد الله بن أبي بكر أنها كالفلوس المضروبة, والتعامل بها صحيح عند الكلّ وتجب زكاة ما تضمّنته الأوراق من النقود عند الأوّلين زكاة عين وتجب زكاة التجارة عند الآخرين فى أعيانها إذا قصد بها التجارة, وأما أعيان الأوراق التى لم تقصد بها التجارة فلا زكاة فيها اتفاقا.

وجمع شيخنا رحمه الله بين كلامهم فقال بعد نقل إفتآءآتهم ما ملخصه : إن الأوراق المذكورة لها جهتان, الأولى جهة ما تضمنته من النقدين, الثانية جهة أعيان, فإذا قصدت المعاملة بما تضمنته ففيها تفصيل حاصله انه إذا اشتريت عين به وهو الغالب فى المعاملة كان من قبيل شراء عرض بنقد فى الذمة وهو جائز, وإعطاء ورقة النوط للبائع إنما لنسلم ما تضمنته من الحاكم الواضع لذلك النوط أو نوّابه, وإذا قصد بذلك الشراء التجارة صحّ وصارت تلك العين عرض تجارة, قال : فإن دفع الأوراق لصرّاف ليأخذ منه قدر ما تضمنته كان ن قبيل تسلم ما لصاحب الورقة عند الحاكم من نوّبه لأنه دين عنده بنفسه أو بمأذونه من كلّ من يتعاطى المعاملة بها لمن اراد حقه ممن كانت الأوراق فى يده, فإن بيعت الأوراق بمثلها متماثلا أو متفاوتا كان من قبيل الدين وهو باطل, وإذا قصدت المعاملة بأعيانها كانت كالفلوس المضروبة فيصح البيع بها وبيع بعضها ببعض لأنها منتفع بها وذات قيمة كالنحاس المضروبة وتصير عرض تجارة بنيتها وتجب زكاة التجارة فيها.

وحاصل هذا الجمع أنا نعتبر قصد المتعاملين فإما أن يقصد ما تضمنته الاوراق وإما ان يقصد أعيانها ويترتب على كل أحكام غير أحكام الآخر. قال : وترجيح الجهة الأولى هو الأولى لانه يعلم بالضرورة أن المقصود عند المتعاقدين إنما هو القدر المعلوم مما تضمنته الأوراق لا ذواتها. لا يقال إن المتعاقدين لا يصرحون بألسنتهم أن المقصود منها هو النقد المقدر, لأنّا نقول : لمّا شاع اصطلاح واضعها على ذلك وكثر التعامل بها على الوجه المصطلح عليه نزل ذلك منزلة التصريح ويترتب على ذلك أنه اشتراها وبقيت عنده حولا كاملا كانت نصابا وجبت عليه زكاتها لأنها من قبيل الدين وهو تجب فيه الزكاة.

قال : وإذا علمت تعلم انما كتبه العلامة عبد الحميد الشروانى محشى التحفة فى أول كتاب البيع من جزمه بعدم صحة التعامل بها مطلقا وجزمه بعدم وجوب الزكاة معللا عدم الصحة بأن الأوراق المذكورة لا منفعة فيها وأنها كحبّتى برّ غير صحيح لأنها ذات قيمة ومنفعة منتفع بها غاية الإنتفاع على أنك قد حملت أن القصد ما دلّت عليه من النقود المقدرة فلا يتم تعليله فتنبه لهذه المسألة فإن التجار ذوى الأموال يثبتون بما صدر من المحشى المذكور رحمه الله ويمتنعون من إخراج الزكاة وهذا جهل منهم وغرور, والمحشى قال فيها بحسب ما بدا له من غير نصّ فلا يؤخذ بقوله, والإحتياط بأمثال هذه المسألة ممّا هو متعين لأنه ينشأ منه فساد كبير وغرر عظيم للجهّال. إهــ .

الفقه على المذاهب الأربعة ج 1 ص 974

جمهور الفقهاء يرون وجوب الزكاة في الأوراق المالية لأنها حلت محل الذهب والفضة في التعامل ويمكن صرفها بالفضة بدون عسر فليس من المعقول أن يكون لدى الناس ثروة من الأوراق المالية ويمكنهم صرف نصاب الزكاة منها بالفضة ولا يخرجون منها زكاة ولذا أجمع فقهاء ثلاثة من الأئمة على وجوب الزكاة فيها وخالف الحنابلة فقط فانظر تفصيل آراء المذاهب تحت الخط ( الشافعية قالوا : الورق النقدي وهو المسمى – بالبنكنوت – التعامل به من قبيل الحوالة على البنك بقيمته فيملك قيمته دينا على البنك والبنك مدين مليء مقر مستعد للدفع حاضر ومتى كان المدين بهذه الأوصاف وجبت زكاة الدين في الحال وعدم الإيجاب والقبول اللفظيين في الحوالة لا يبطلها حيث جرى العرف بذلك على أن بعض أئمة الشافعية قال : المراد بالإيجاب والقول كل ما يشعر بالرضا من قول أو فعل والرضا هنا متحقق

الحنفية قالوا : الأوراق المالية – البنكنوت – من قبيل الدين القوي إلا أنها يمكن صرفها فضة فورا فتجب فيها الزكاة فورا

المالكية قالوا : أوراق البنكنوت وإن كانت سندات دين إلا أنها يمكن صرفها فضة فورا وتقوم مقام الذهب في التعامل فتجب فيها الزكاة بشروطها

الحنابلة قالوا : لا تجب زكاة الورق النقدي إلا إذا صرف ذهبا أو فضة ووجدت فيه شروط الزكاة السابقة

Uraian Jawaban :

Emas dan perak yang dikenai wajib zakat adalah uang dinar (emas) dan uang dirham (perak) yang berfungsi sebagai alat tukar, sedangkan yang tidak digunakan sebagai alat tukar, seperti perhiasan emas, tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Fungsi emas dan perak sebagai alat tukar pada zaman dahulu, sekarang telah digantikan oleh kertas yang secara intrinsik tidak mempunyai nilai.

Lalu apakah kedudukan uang kertas sama seperti uang dinar dan dirham dalam hal wajib dikeluarkan zakatnya?

Ulama’ mutaakhhirin berbeda pendapat dalam menanggapi kewajiban mengeluarkan zakat uang kertas :

      1. Pendapat pertama: Uang kertas wajib dikeluarkan zakatnya jika diniatkan untuk modal usaha dagang. Jika hanya sebagai uang nafkah serta kebutuhan sehari-hari atau semisalnya maka tidak wajib dizakati.
        Ulama’ yang berpendapat demikian beralasan karena memandang bahan dari uang kertas tersebut bukan dari emas dan perak sehingga dari sisi barang (‘ainiyyah) bukan termasuk harta yang wajib dizakati, mereka menyamakan dengan permasalahan fulus yaitu alat jual beli yang terbuat dari selain emas dan perak, dan digunakan untuk membeli kebutuhan yang ringan. Biasanya terbuat dari tembaga atau yang serupa. Dalam kasus ini uang kertas wajib dikenai zakat diqiyaskan dengan kewajiban zakat fulus dan nuhas ketika diniati dagang. Termasuk diantara ulama yang sependapat dengan pendapat pertama ini adalah syaikh al-anbani dan habib Abdullah bin abibakar.
      2. Pendapat kedua: Uang kertas wajib dikeluarkan zakatnya dengan memandang nilai yang terkandung (nominal) dalam uang kertas tersebut.
        Pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh kebanyakan ulama mutaakkhirin dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, sebagaimana kutipan berikut :
      • Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bertransaksi menggunakan uang kertas termasuk kategori transaksi pengalihan hutang (hiwalah) kepada bank sejumlah nilai nominal uang tersebut. Karenanya, memiliki uang tersebut sama dengan memiliki piutang atas bank. Dan bank sebagai debitor (madin) termasuk kategori mampu, mengakui dan siap membayar hutangnya seketika. Dan jika debitor termasuk kategori tersebut diatas, maka piutang (dalam hal ini dibuktikan dengan kepemilikan uang kertas) harus dizakati seketika. Tidak adanya ijab-qabul secara verbal dalam akad pengalihanhutang tidak membatalkan akad pengalihan hutang itu sendiri, ketika hal yang demikian sudah umum berlaku. Disamping itu sebagia ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ijab-qabul adalahsegala bentuk tindakan atau ucapan yang dapat mengindikasikan kerelaan masing-masing pihak yang bertransaksi. Dan dalam kasus ini kerelaan yang dimaksudkan sudah terwujud.
      • Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa surat berharga (banknote) termasuk piutang potensial (ad-dain al-qowy) kecuali bahwa ia dapat ditukar seketika dengan perak. Oleh karena itu surat berharga wajib dikenai zakat.
      • Ulama Malikiyah berpendapat bahwa surat berharga, meskipun hanya berupa bukti pengakuan hutang, namun ia dapat ditukar dengan perakse ketika dan dapat berfungsi seperti emas dalam traksaksi. Oleh karena itu surat berharga harus dizakati seketika.
      • Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa uang kertas tidak dikenai zakat kecuali jika ia telah dicairkan menjadi emas atau perak dan telah memenuhi syarat kewajiban zakat.

Dalam kitab Mauhibah Dzil Fadl , Syeikh Mahfudh Termas mengutip pendapat gurunya, Syekh Sayyid Abi Bakar Syatho, bahwasanya beliau telah mengkompromikan antara dua pendapat tentang kewajiban menzakati uang kertas, dan mengatakan bahwa dalam uang kertas terdapat dua macam sisi yakni sisi nominal (nilai yang terkandung) dan sisi intrinsik (bahan membuat uang). Jika diniati bertransaksi dengan nilai yang terkandung dalam uang kertas, maka termasuk membeli barang dengan naqd (uang) dalam tanggungan, dan apabila menghendaki nilai intrinsik uang kertas, maka disamakan dengan fulus dalam hal wajib dizakati ketika diniati dagang.

Syekh Sayyid Syatho mentarjih pendapat tentang wajibnya mengeluarkan zakat uang kertas dengan memandang nilai nominalnya, dan mengatakan pendapat itu adalah yang paling utama, karena sudah diketahui secara pasti bahwa yang dikehendaki oleh muta’aqidain (dua orang yang bertransaksi) itu hanyalah nilai nominal yang terkandung dalam uang kertas, bukan nilai intrinsik uang kertas tersebut. Beliau juga menolak pendapat Syaikh Abdul Hamid Asy-Syarwani dalam hasyiyah kitab Tuhfat al-Muhtaj tentang tidak sahnya melakukan transaksi menggunakan uang kertas secara mutlak, serta menganggap bahwa uang kertas tidak bermanfaat seperti halnya dua biji gandum, karena menurut Syaikh Sayyid Syatho uang kertas memiliki nilai dan manfaat yang sangat besar.

Dalam kitab Fiqhu az-Zakat karya Syeikh Yusuf al-Qordlowi juz: 1, hal: 233-239 disebutkan bahwa Syekh Husnin Makhluf – Mantan Mufti Mesir – mengatakandalam kitab at-Tibyan fi Zakat al-Atsman bahwa uang kertas bisa dikenai zakat dengan mengasumsikan empat hal, yakni:

  1.  Uang kertas diasumsikan sebagai harta yang dijamin oleh bank, dan karenanya kedudukannya sama dengan harta likuid meskipun praktiknya tidak sama dengan hutang-piutang.
  2. Uang kertas diasumsikan sebagai harta yang disimpan di bank. Dengan memandang kedua hal tersebut, ulama sepakat bahwa uang kertas harus dikenai zakat.
  3. Uang kertas diasumsikan sebagai piutang jatuh tempo yang menjadi kewajiban bank. Karena bank adalah debitor yang mampu dan piutang sudah jatuh tempo, maka uang kertas dikenai zakat dalam kedudukannya sebagai piutang jatuh tempo atas debitor mampu, sebagaimana pendapat mazhab Syafi’iyyah.
  4. Uang kertas dipandang dari sudut nilai nominal yang berlaku dan diterima masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah. Dalam kasus ini uang kertas wajib dikenai zakat diqiyaskan dengan kewajiban zakat fulus dan nuhas.

Selanjutnya Syaikh Yusuf Qordlowi dalam Fiqhu az-Zakaat berkata bahwa asumsi terkahir inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam menetapkan hukum uang kertas. Uang kertas kini telah menjadi alat pembayaran utama dalam berbagai pertukaran dan transasksi. Dan uang kertas kini tidak lagi harus dijamin dengan sejumlah logam tertentu di bank. Bank juga tidak lagi menukar uang kertas dengan emas atau perak. Perbedaan pendapat berkaitan uang kertas bisa dimaklumi pada awal pemberlakuan uang tersebut dimana masyarakat belum percaya dengan uang kertas, layaknya sesuatu yang biasa terjadi dalam setiap perkara baru. Tetapi kini keadaan sudah benar benar berubah. Uang kertas sekarang bisa menjadi pendapatan negara sebagaimana logam mulia. Masyarakat pun memandang uang kertas seperti mereka memandang logam mulia. Uang kertas bisa dibayarkan sebagai mahar, dan karenanya dapat menghalalkan hubungan suami istri, tanpa ada yang menentang. Ia juga dapat diserahkan sebagai alat pembayaran, dan karenanya mengalihkan kepemilikan suatu komoditas kepada pembayaranya, tanpa ada perdebatan. Uang kertas dapat pula dibayarkan sebagai upah atas jerih payah seseorang dan tak seorang buruh atau pegawaipun yang menolaknya. Uang kertas juga dibayarkan sebagai denda pembunuhan sibhul amdi, dan karenanya dapat membebaskan pembunuh serta menghilangkan tuntutan dari keluarga korban. Jika uang kertas dicuri, maka pencurinya akan dijatuhi hukuman pencuri, tanpa ada yang meragukan. Ketika uang kertas disimpan dan dimiliki seseorang, maka orang itu disebut orang kaya. Dan kekayaan seseorang dihitung berdasarkan seberapa banyak ia memiliki uang kertas. Semakin banyak uang kertas di tangannya, maka akan semakin besar pula kekayaannya, baik menurut pandangan orang lain maupun menurut dirinya sendiri.

Arti semua ini adalah bahwa uang kertas telah berfungsi sebagaimana uang yang diakui syara’ dan diterima masayarakat. Jika demikian, patutkah kita menghalangi fakir-miskin dan mustahiq lain untuk dapat memanfaatkan uang dengan beragam fungsinya? Bukankah setiap orang berupaya mendapatkannya? Bukankah setiap orang yang memilikinya akan menganggapnya sebagai nikmat yang harus disyukuri? Bukankah faqir-miskin juga menginginkannya bahkan ngiler karena sangat ingin mendapatkannya? Bukankah mereka akan merasa berbahagia, jika diberi sedikit saja uang tersebut? Demi Allah iya.

Keputusan yang sama juga ditetapkan oleh Konferensi Fiqih Islam (Majlis al-Majma’ al-Fiqhy al-Islamy) yang diadakan di Makkah tahun 1402 H .

http://lbm-jateng.org/2014/04/dana-talangan-haji/

Sebarkan Kebaikan Sekarang
loading...

Santri Admin

Santri Admin has written 839 articles

Comments

comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>