
Syaikh al-Hamadani mengajar dan menyimak Qur’an di Masjid Azhar setiap hari, dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam. Ketika Al-Azhar mendirikan Ma’had khusus Qur’an dan Qiro’at, Syaikh al-Hamadani mengajukan diri untuk menjadi pengajar, namun sayangnya beliau ditolak karena satu alasan saja: beliau tidak punya sanad ijazah tertulis dari guru beliau, Syaikh al-Janaini, padahal tidak ada satupun orang yang meragukan kemampuan Syekh al-Hamadani, dan semuanya tahu bahwa beliau murid utama Syaikh al-Janaini.
Akhirnya, dengan sangat sedih Syaikh al-Hamdani mengadukan masalah ini kepada teman seperjuangan dan seperguruan beliau, Syaikh al-Zayyat.
Dengan penuh keprihatinan Syaikh al-Zayyat berkata: Wahai Syaikh al-Hamadani, solusinya adalah kamu harus punya sanad ijazah. Duduklah dan bacalah Qur’an di hadapan saya, karena saya akan memberimu sanad ijazah melalui saya ke Syaikh al-Janaini.
“Syaikh al-Zayyat, bukankah kita satu guru? Bukankah kita teman? Bukankah kamu tahu bacaan saya dengan baik??”. Kata Syaikh al-Hamadani dengan sedikit heran.
“Ya, Saya kenal kamu sangat baik.. tapi duduklah dan segera mulai baca Qur’an”. Timpal Syaikh al-Zayyat.
Akhirnya Syaikh al-Hamadani duduk dengan sabar membaca kepada temannya, Syaikh al-Zayyat, hingga selesai, kemudian diberi sanad Ijazah.
Ya, dalam urusan agama tidak boleh bermain-main. Sanad Ijazah bukanlah permainan. Syaikh al-Hamadani rela mengambil sanad ijazah melalui Syaikh al-Zayyat, meskipun beliau dan Syaikh al-Zayyat sama-sama murid al-Janaini.
• Maulana Syaikh Ali Jum’ah