Dalam tulisan kami sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/07/ klaim-merek a/ telah disampaika n oleh Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi bahwa Imam Baihaqi, Imam Nawawi maupun Ibnu Hajar dalam memahami ayat-ayat mutasyabih at tentang sifat Allah telah terjatuh/ tergelincir pada penakwilan terhadap sifat-sif at Allah. Pendapat mereka bahwa pemahaman tersebut tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh. Pada kenyataany a yang dimaksud oleh mereka tidak sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh adalah tidak sesuai dengan pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan para pengikutny a dalam memahami lafaz/ tulisan perkataan Salafush Sholeh.
Pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah dan para pengikutny a dengan istilah mereka sebagai “tanpa tahrif , tanpa tathil, tanpa tamstil/ tasybih dan tanpa takyif” pada dasarnya adalah memahami ayat-ayat mutasyabih at tentang sifat Allah berdasarka n pemahaman secara dzahir atau secara harfiah yang kami sebut sebagai pemahaman dengan metodologi “terjemahk an saja” sebagaiman a yang telah disampaika n dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/07/ 2011/02/02/ terjemahkan -saja/ Padahal ulama-ulam a terdahulu telah memperinga tkan kita antara lain
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula kita seharusnya memperhati kan peringatan yang disampaika n oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi ).
Tulisan kali ini menyoroti kembali fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi yang disampaika n oleh Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Ulama Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Yaman. Ustadz Abu Karimah ‘Askari adalah yang berselisih pemahaman dengan ustadz Firanda walaupun mereka berdua sama mengaku-ak u mengikuti pemahaman Salafush Sholeh sebagaiman a terurai dalam tulisan pada http:// www.salafyb pp.com/ categoryblo g/ 97-dusta-fi randa-dite ngah-badai -fitnah-ya ng-sedang- melanda-ba g1.html
Fatwa Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa yang disampaika n oleh Ustadz Abu Karimah, kami ambil dari dari situs : http:// www.darussa laf.or.id/ stories.php ?id=33
Berikut kutipannya ,
***** awal kutipan *****
Jawab: “Do’a jama’i setelah Imam mengucapka n salam dengan serempak, tidak ada asalnya yang menunjukka n bahwa amalan ini disyari’at kan. Dan Dewan Riset dan Fatwa memberikan jawaban sebegai berikut:
“Do’a sesudah shalat fardlu dengan mengangkat kedua tangan baik oleh Imam maupun ma`mum, sendirian atau bersama-sa ma, bukanlah sunnah. Amalan ini adalah bid’ah yang tidak ada keterangan nya sedikitpun dari Nabi shallallah u ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya radliyalla hu ‘anhum. Adapun do’a tanpa hal-hal demikian, boleh dilakukan karena memang ada keterangan nya dalam beberapa hadits. Wabillahi taufiq. Semoga shalawat tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya . (Lajnah Daimah).
Pada bagian lain, Lajnah menjawab:” Do’a dengan suara keras setelah shalat lima waktu, ataupun sunnah rawatib. Atau do’a-do’a sesudahnya dengan cara berjama’ah dan terus-mene rus dikerjakan merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Tidak ada keterangan sedikitpun dari Nabi shallallah u ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang hal ini, juga para sahabatnya radliyalla hu ‘anhum. Barangsiap a yang berdo’a setelah selesai shalat fardlu atau sunnah rawatibnya dengan cara berjama’ah , maka ini adalah menyelisih i Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan apabila mereka menganggap orang yang mengingkar i hal ini atau tidak berbuat sebagaiman a yang mereka lakukan sebagai orang kafir atau bukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka ini adalah kebodohan dan kesesatan serta memutarbal ikkan kenyataan yang ada. (Lajnah Daimah, lihat Fatwa Islamiyah 1/318-319)
***** akhir kutipan *****
Namun disisi lain kami mendapatka n keterangan dari http:// www.voa-isl am.com/ islamia/ ibadah/ 2011/01/12/ 12739/ menjaharkan -dzikir-se sudah-shal at-fardhu- ternyata-s unnah/ sebagai berikut
***** awal kutipan *****
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Al-‘Allama h Syaikh Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraska n dzikir atau melirihkan nya?
Beliau menjawab: Yang sunnah adalah menjaharka n dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyalla hu ‘anhuma bahwa mengeraska n suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanak an shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarn ya.” (Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’)
Dalam Jawaban lain, beliau berkata: “Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyalla hu ‘anhuma, “Sesungguhn ya mengeraska n dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam“. Ibnu Abbas juga mengatakan : “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”
Hadits shahih ini dan hadits-had its semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughira h bin Syu’bah radhiyalla hu ‘anhuma dan lainnya, semuanya menunjukka n disyariatk annya mengeraska n dzikir ketika orang-oran g selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-oran g yang berada di pintu-pint u dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu. (Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesai kan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dali l lain yang menerangka n hal itu.
Dalam tuntunan mengeraska n dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantarany a:
1. Menampakka n pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalanka n kewajiban yang agung ini.
2. Dan (sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatk an orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.
Syaikh Shalih al-Fauzan
Beliau ditanya tentang menjaharka n doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?
Beliau menjawab, “Doa yang dicontohka n dari Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam dan yang disyari’at kan, seseorang diberi pilihan antara menjaharka nnya atau melirihkan nya. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui yang lirih dan tersembuny i. Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharka nnya bisa mengganggu orang disekitarm u; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu. Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.
Perlu diperhatik an, bahwa mengeraska n di sini bukan dengan suara bersama-sa ma (koor), sebagaiman a yang dilakukan sebagian orang. Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-s ama), maka termasuk bid’ah.
Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharka nnya sesuai dengan hadits-had its shahih yang menyebutka n bahwa para sahabat menjaharka n dzikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْت َ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْر َامِ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
sampai akhir dari dzikir-dzi kir yang dicontohka n, maka membacanya dengan keras. Tapi dengan sendiri-se ndiri, bukan dengan berjamaah (bersama-s ama) sebagaiman a yang kami sebutkan di awal. Dzikir berjama’ah ini termasuk perkara bid’ah (yang diada-adak an). Setiap orang berdzikir sendiri-se ndiri dan mengeraska nnya sesudah shalat.” (al-Muntaq a’ min Fatawa al-Fauzan: Juz 3)
***** akhir kutipan *****
Pada kesimpulan akhirnya penulis tulisan tersebut menuliskan “Pendapat yang menganjurk an untuk mengeraska n dzikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir hadits. Maka, sebagaiman a kaidah Ushul Fiqih bahwa makna dzahir harus lebih didahuluka n dan diamalkan sehingga ada dalil kuat lainnya yang me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau men-takwil-nya. Dan tidak didapatkan adanya dalil kuat yang menerangka n, bahwa dikeraskan nya dzikir setelah shalat wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.”
Jadi kesimpulan mereka dengan cara memaknai hadits secara dzahir (harfiah) atau sebagaiman a yang tertulis maka sunnah Rasulullah adalah mengeraska n dzikir sesudah shalat secara sendiri-se ndiri dan tidak secara berjam’ah.
Bagaimana kenyataann ya ?
Apakah mereka ada mengikuti sunnah Rasulullah mengeraska n dzikir secara sendiri-se ndiri ?
Apakah mereka lebih memilih melirihkan dzikir daripada sunnah Rasulullah mengeraska n dzikir?
Ataukah mereka ada yang beranggapa n sunnah Rasulullah mengeraska n dzikir bertentang an dengan firman Allah ta’ala yang artinya “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)
Dzikir berjamaah adalah tolong menolong dalam amal kebaikan. Jika salah satu saja peserta atau pemimpin dzikir dapat menghantar kan dzikir sampai (wushul) kepada Allah Azza wa Jalla maka seluruh peserta dzikir akan mendapatka n kebaikanny a bahkan orang yang hanya sekedar duduk bergabung dalam dzikir berjamaah tersebut juga akan mendapatka n kebaikan.
Dalam sebuah hadits qudsi Abu Hurairah ra meriwayatk an bahwa Nabi Shalllahu alaihi wasallam bersabda
“Sesungguh nya Allah SWT memiliki beberapa malaikat yang seringkali berkelilin g untuk mencari majelis orang-oran g berzikir. Maka,ketik a mereka menemukan sekelompok orang yang berzikir, para malaikat menghampir i mereka dan saling mengepakka n sayapnya sembari berputar-p utar hingga mereka berada di antara ahli zikir dan langit. Saat orang-oran g yang berzikir itu bubar, para malaikat kembali dan naik ke langit. Kemudian Allah bertanya kepada para malaikat – sedangkan Allah lebih mengetahui daripada mereka,’Ka lian datang dari mana?’ Mereka menjawab, ‘Kami datang dari majelis hamba-hamb a-Mu di bumi. Mereka bertasbih, bertahlil, bertakbir, bertahmid, bertahlil dan berdo’a kepada Engkau’ Allah bertanya,’ Apa yang mereka minta kepada-Ku? ‘ Para malaikat menjawab, ‘Mereka mengharap surga-Mu.’ Allah berkata, ‘Apakah mereka bisa melihat surga-Ku?’ Para malaikat menjawab, ‘Tidak, wahai Tuhan.’ Allah berfirman, ‘Bagaimana jika mereka bisa melihat surga-Ku?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka akan memohon perlindung an kepada Engkau.’ Allah bertanya, ‘Meminta perlindung an dari apa?’ Mereka menjawab, ‘Dari neraka, wahai Tuhan.’ Allah bertanya, ‘Apakah mereka melihat neraka-Ku? ‘ Para malaikat menjawab, ‘Tidak,wah ai Tuhan.’ Allah bertanya, ‘Bagaimana jika mereka bisa melihatnya ?’ Para malaikat menjawab, ‘Mereka akan memohon ampunan-Mu .’ Allah berfirman, ‘Aku telah mengampuni dosa mereka, mengabulka n permintaan mereka, dan memberikan perlindung an kepada mereka.’ Para malaikat berkata, ‘Ya Tuhan,di dalam majelis zikir itu terdapat fulan, ia sering melakukan perbuatan maksiat. Sebenarnya , ia hanya kebetulan lewat kemudian duduk bergabung dengan mereka.’ Allah berfirman, ‘Aku juga mengampuni dosanya. Mereka (ahli zikir) itu tidak tenodai oleh teman duduk mereka.” (HR Muslim)
Cara paling mudah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya yang telah dilakukan oleh Rasulullah dan para Salafush Sholeh adalah dengan mengetahui dzikir yang dilakukan oleh para Habib dan para Sayyid pada umumnya karena para Habib dan para Sayyid yang merupakan keturunan cucu Rasulullah , mereka mendapatka n pengajaran langsung dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang mendapatka n pengajaran langsung dari keluarga Rasulullah . Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mendapatka n didikan langsung dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Dalam masalah teknis pelaksanaa n ibadah dapat kita analogikan dengan belajar berenang. Mana yang lebih baik hasilnya, belajar berenang melalui pemahaman tulisan/ buku petunjuk cara berenang atau belajar berenang melalui didikan langsung oleh pelatih renang.
Begitupula dalam teknis pelaksanaa n sholat segelintir umat Islam yang mengikuti berdasarka n pemahaman ulama Al Albani yang diperolehn ya dari upaya beliau memahami lafaz/ tulisan hadits sedangkan beliau tidak dikenal oleh jumhur ulama mempunyai kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga kemungkina n kesalahpah amannya semakin besar. Contoh pendapat ulama Al-Albani. (Kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140) bahwa menggerakk an jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud dengan contoh pada http:// www.youtube .com/ watch?v=ze8 j_wX7Guw
Kajian selengkapn ya tentang perihal berisyarat dengan jari telunjuk diuraikan dalam tulisan pada http:// albanjari.e ramulti.co m/ berisyarat- dengan-jar i-telunjuk . Terlebih lagi beliaupun ada mengingkar i hadits Rasulullah sebagaiman a contohnya yang diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/22/ tidak-cukup / dan terhadap hadits-had it lain diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ inilahahlus sunnahwalj amaah.pdf
Lebih mudah dan selamat mengikuti teknis pelaksanaa n sholat mengikuti apa yang dilakukan oleh para Habib dan para Sayyid karena mereka mendapatka n pengajaran langsung dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang mendapatka n pengajaran langsung dari keluarga Rasulullah . Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mendapatka n didikan langsung dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Kadang ketakutan umat Islam dalam mengikuti apa yang telah disampaika n oleh Imam Sayyidina Ali ra terlampau berlebihan yang semua itu dikarenaka n fitnah orang dari kaum (zionis) Yahudi sehingga takut dikatakan sebagai pengikut Syiah khususnya mereka yang membenci Khulafaur Rasyidin lainnya. Sebagaiman a yang ditanyakan oleh Imam ‘Ali رضي الله عنه berkata: aku bertanya: Wahai Rasulullah ! Apakah ciri-ciri mereka? Baginda صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم bersabda: “Mereka menyanjung imu dengan sesuatu yang tidak ada padamu”
Padahal Imam Sayyidina Ali ra adalah khataman Khulafaur Rasyidin yang menyampaik an secara mendalam dan rinci bagaimana cara mencapai muslim yang Ihsan.
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak melihat-Ny a maka sesungguhn ya Dia melihatmu. ’ (HR Muslim 11) Link: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=2&ay atno=3&act ion=displa y&option=c om_muslim
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifa t
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang telah mencapai Ihsan atau muslim yang telah berma’rifa t, minimal mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik mereka yang dapat melihat Allah dengan hati maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindar i perbuatan maksiat, menghindar i perbuatan keji dan mungkar hingga terbentukl ah muslim yang berakhlaku l karimah sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
Rasulullah menyampaik an yang maknanya “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi pada hakikatnya ghazwul fikri yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi melalui pusat-pusa t kajian Islam yang mereka dirikan atau melalui orang-oran g yang telah “dibentuk” oleh mereka adalah menjauhkan umat Islam dari apa yang telah disampaika n oleh Imam Sayyidina Ali ra atau dengan kata lain menjauhka n umat Islam dari tentang Ihsan. Dari sinilah sumber terjadinya kerusakan akhlak pada segelintir kaum muslim sama bahayanya dengan upaya perusakan akhlak melalui pornografi , sex bebas, miras, narkoba, gaya hidup bebas, hedonisme, sekulerism e, pluralisme , liberalism e , dll .
Pengetahua n tentang Ihsan ada pada Tasawuf dalam Islam. Dalam kurikulum perguruan tinggi Islam, sejak dahulu kala, tasawuf adalah pendidikan akhlak yakni jalan (thariqat) untuk menjadi muslim yang Ihsan. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/01/16/ 2010/06/07/ pendidikan- akhlak/
Cobalah tanyakan kepada koruptor, apakah mereka takut dengan neraka. Pastilah mereka akan menjawab bahwa mereka takut akan siksa neraka. Namun mereka tidak takut bahwa perbuatan korupsi mereka telah dilihat Allah Azza wa Jalla karena mereka tidak pernah sampai pengetahua n tentang Ihsan sehingga mereka tidak mempunyai keyakinan bahwa segala sikap dan perbuatan mereka selalu dilihat oleh Allah Azza wa Jalla, setiap saat, dan Dia tidak tidur sebagaiman a firmanNya yang artinya “Dia yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhlukNy a), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik Nya apa yang dilangit dan apa yang di bumi” (Qs Al Baqarah [2]:255)
Begitupula dengan penguasa negeri kita yang telah diingatkan oleh para ulama bahwa “Negara dinilai tidak hadir untuk melindungi segenap kehidupan warganya. Bahkan retorika yang disampaika n pemerintah lebih banyak berbau kebohongan“. Bohong adalah tidak sesuai perkataan dengan kenyataann ya. Bohong adalah termasuk akhlak buruk dan yang melakukann ya pada hakikatnya karena tidak tahu tentang Ihsan atau tidak meyakini bahwa sikap dan perbuatan mereka dilihat oleh Allah Azza wa Jalla.
Apakah penguasa negeri kita telah dengan nyata melindungi rakyatnya di Ambon, Papua maupun rakyatnya yang terkena bencana lumpur Sidoarjo ?
Bandingkan lah dengan akhlak yang diperlihat kan oleh Khalfiah Umar ra berikut kutipannya
Khalifah Umar ra menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Khalifah Umar ra berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan mengangguk kan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum.
Lihatlah aku. Aku seorang janda miskin. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah petang tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulk an batu-batu kecil, memasukkan nya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-s ebentar ia bangun dan menangis minta makan.
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutka n, “Namun apa dayaku? Sungguh Khalifah Umar tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya. ”
Dengan air mata berlinang Khalifah Umar bangkit dan mengajak Sahabatnya untuk kembali ke kota. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungny a, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Khalifah Umar terlihat keletihan, Sahabatnya berkata, “Wahai Khalifah Umar, biarlah aku saja yang memikul karung itu….”
Dengan wajah merah padam, Khalifah Umar menjawab “Jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantik an aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Begitu pula yang terjadi dengan pihak eksekutif, yudikatif, legislatif negeri ini. Pada hakikatnya kebijakan dan implementa sinya dalam memenuhi amanat rakyat hanya berdasarka n kesepakata n di antara mereka semata. Mereka tidak menyadari tentang Ihsan, tidak menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla melihat sikap dan perbuatan mereka.
Contohnya mereka telah menyetujui undang-und ang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi pada tanggal 26 November 2008 namun kenyataann ya keping-kep ing video porno masih saja tersebar dengan bebasnya di negeri tercinta ini. Mereka dapat terjerumus dalam kemunafika n, berbeda antara yang dikatakan dengan kenyataann ya.
Begitupula dalam penegakkan hukum hanya berdasarka n interpreta si dan kesepakata n antar manusia belaka menyesuaik an dengan kepentinga n pihak yang akan “dimenangk an”. Bisa dilakukan dengan penggiring an “opini” maupun pencitraan hal ini sesuai dengan “target kerja” kaum Zionis Yahudi
Protokol Zionis yang kelimabela s
…Dibawah pengaruh kita, pelaksanaa n hukum kaum non_yahudi harus dapat diredusir seminim mungkin. Penghormat an kepada hukum harus dirongrong dengan cara interpreta si sebebas mungkin sesuai dengan apa yang telah kita perkenalka n pada bidang ini. Pengadilan akan memutuskan apa yang kita dikte, bahkan dalam kasus-kasu s yang mungkin mencakup prinsip-pr insip dasar atau isu-isu politik melalui jalur pendapat surat kabar dan jalur lainnya.
Oleh karenanya para penguasa negeri yang muslim sebaiknya janganlah menjadikan Amerika maupun sekutunya yang dibelakang mereka semua adalah kaum Zionis Yahudi sebagai “teman kepercayaa n”, penasehat, pelindung, pemimpin.
Taatilah para ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama, mereka yang mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Allah Azza wa Jalla memperinga tkan kita dengan firmanNya yang artinya
“Hai orang-oran g yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaa nmu orang-oran g yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hent inya (menimbulk an) kemudharat an bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahka n kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyi kan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminy a” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kita b semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri , mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanm u itu”. Sesungguhn ya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Ironis yang terjadi di wilayah kerajaan dinasti Saudi, mereka menjadikan Amerika sebagai teman kepercayaa n, pelindung, penasehat. Contoh paling mudah untuk diketahui bahwa mereka menyusun kurikulum pendidikan agama bekerjasam a dengan Amerika yang dibelakang nya adalah kaum Zionis Yahudi , sebagaiman a yang terurai dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/02/07/ muslim-buka nlah-ekstr imis/ Inilah salah satu “pintu masuk” ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi dan kesalahpah aman-kesal ahpahaman tersebut menyebar luas ke negeri-neg eri kaum muslim melalui perantaraa n beasiswa pendidikan di wilayah kerajaan dinasti Saudi.
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani dalam makalahnya dalam pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah , menyampaik an bahwa dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiyah (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah di Arab Saudi berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Sufiyyah (aliran–al iran tasawuf) adalah syirik dan keluar dari agama. Kutipan makalah selengkapn ya ada pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2010/08/18/ ekstrem-dal am-pemikir an-agama/
Dalam beberapa tulisan berturut-t urut, kami telah menghimbau untuk menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarka n pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Janganlah memahaminy a dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/31/ gigitlah-as -sunnah/
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/02/ dari-mulut- ulama/
Kita sebaiknya menghindar i kitab ulama yang belajar sendiri dan tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/03/ kitab-tidak -bermazhab /
Salah satu cara mempertaha nkan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/ pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Permasalah an yang terjadi pada Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyy ah wal Ifta` (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) adalah mereka tidak lagi mengikuti pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat. Mereka lebih menyandark an pada pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah, ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau bahkan mungkin pemahaman ulama Al Albani, padahal mereka oleh jumhur ulama tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau Imam Mazhab. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensiv e atau tidak menyeluruh sehingga kaum muslim mencukupka nnya pada Imam Mazhab yang empat. Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/ pendapat Imam Mazhab adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaiman a contoh yang terurai dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/30/ hukum-penut up-muka/
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentinga n
Sanad ilmu (sanad guru) sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits mempertany akan atau menganalis a dari mana matan/ redaksi hadits tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sedangkan sanad ilmu (sanad guru) mempertany akan atau menganalis a dari mana penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah tersebut diperoleh sampai kepada lisannya Rasulullah
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan Sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi ataupun serangan ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan kaum kafir dan munafik atau tercampurn ya dengan hawa nafsu. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Tulisan kali ini kami akhiri dengan nasehat Imam Mazhab tentang pentingnya tasawuf dalam Islam atau pentingnya pendidikan akhlak.
Imam Malik ra menyampaik an nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajar i fikih (perkara syariat) rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia ., hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar” .
Imam Syafi’i ra menyampaik an nasehat (yang artinya) ,”Berusahala h engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?”
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi’ i, hal. 47]
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830