Dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/29/ naik-dan-tu run/ telah diuraikan keadaan bermunajat kepada Allah, ketika Rasulullah shallallah u alaihi wasallam di Sidratil Muntaha pada peristiwa mi’raj, ketika Nabi Yunus a.s di dalam perut ikan, ketika kita sujud, ketika di Makkah Al Mukaromah, Masjid Nabawi, Multazam, Raudhoh, Maqam Ibrahim, Hijr Ismail, Rukun Yamani, ataupun ketika di Hajar Aswad, ketika di makam orang-oran g disisiNya ataupun ketika ditempat mulia yang lain, tidak ada hubunganny a dengan jarak (makna dzahir) antara Allah Azza wa Jalla dengan hambaNya. Allah ta’ala adalah dekat. Dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak. Seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.
Mereka tetap bersikeras bahwa Allah ta’ala bertempat atau berada di atas ‘Arsy karena Rasulullah sendiri yang bersabda telah melihat Allah pada peristiwa mi’raj dan Beliau telah melihat cahaya.
Apakah mereka berkeyakin an bahwa Rasulullah melihat cahaya yang timbul dari DzatNya yang bertempat atau berada di atas ‘Arsy ketika Beliau di Sidratil Muntaha pada peristiwa mi’raj ?
Berikut hadits terkait dengan “Rasulullah melihat cahaya”
Diriwayatk an oleh Abdullah bin Syafiq dari Abu Dzar:
ثُمَّ قُلْتُ ِلأَبِي ذَرٍّ لَوْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُ هُ. فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ كُنْتَ تَسْأَلُهُ ؟ قَالَ: كُنْتُ أَسْأَلُهُ : هَلْ رَأَيْتَ رَبُّكَ؟ قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ قَدْ سَأَلْتُ فَقَالَ: ((رَأَيْتُ نُوْرًا)). (رواه مسلم)
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu Rasulullah صلى الله عليه وسلم sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau tanyakan?” . Aku akan bertanya: “Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau صلى الله عليه وسلم. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya”. (HR. Muslim)
Maksud cahaya di sini bukanlah cahaya (makna dzahir) yang timbul dari DzatNya namun cahaya disini kaitan dengan melihat Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiap a yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Ny a? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Ibnu Hajar al-Atsqala ni dalam Fathul Bary jilid 8/ 708, setelah menyebutkan pendapat-p endapat yang menyatakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya dan pendapat yang sebaliknya , berkata: “Hadits-ha dits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatk an secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatk an secara mutlak. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-had its yang mutlak tersebut kepada hadits-had its yang muqayyad”.
Kemudian Ibnu Hajar رحمه الله mengakurka n (menjama’) antara kedua pendapat yang kelihatann ya saling bertentang an tersebut dengan menyatakan : “Dengan ini kita bisa mengumpulk an antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatny a Rasulullah صلى الله عليه وسلم terhadap Allah) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkar inya. Yaitu dengan membawa pengingkar an Aisyah kepada penglihata n dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihata n dengan hatinya”
Kita harus berpegang kepada firman Allah ta’ala yang artinya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihata n mata” (QS Al An’am [6]:103)
Uraian lebih lanjut tentang melihat dengan hati dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/15/ bukanlah-ma ta-yang-bu ta/
Diriwayatk an dari Aisyah رضي الله عنها, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: ”Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-Nya?” Aisyah رضي الله عنها menjawab:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَة َ. قَالَ وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِن ِينَ أَنْظِرِين ِي وَلاَ تَعْجَلِين ِي أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
]وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُق ِ الْمُبِينِ [ ]وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى[ فَقَالَتْ: أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَ يْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطً ا مِنَ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ. فَقَالَتْ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَا رُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَا رَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ [ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ ]وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَه ُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ[(م تفق عليه)
Barangsiap a yang menyangka bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin kedustaan besar kepada Allah.
Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: “Ya Umul mukminin, sebentar dulu! jangan terburu-bu ru! Bukankah Allah telah berfirman: “[وَلَقَدْ رَآهُ بِاْلأُفُق ِ الْمُبِينِ ] [ وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى] (“Dan sesungguhn ya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang”. (“Dan sesungguhn ya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha”.
Aisyah رضي الله عنها menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentangnya .
Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah melihatnya dalam bentuk aslinya, yang ia diciptakan atasnya. Aku melihatnya turun dari langit dan menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya )”. Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:
[لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَا رُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَا رَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ ]?
(“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihata n mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui ”). Bukankah engkau pernah mendengar
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَه ُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ.
(“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraa n wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhn ya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana) . (HR. Bukhari-Mu slim)
Rasulullah melihat Allah dengan hati (ain bashiroh) ketika di Sidratil Muntaha bukan berarti Allah Azza wa Jalla bertempat atau berada di sana.
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan “Sesungguh nya Allah menciptaka n ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakka n kekuasaan- Nya bukan untuk menjadikan nya tempat bagi DzatNya”
Imam Sayyidina Ali kw mengatakan yang maknanya: “Sesungguh nya yang menciptaka n ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaa n tentang tempat), dan yang menciptaka n kayfa (sifat-sif at makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Pada hakikatnya Arsy diciptakan adalah agar manusia tidak menjadikan selain Allah Azza wa Jalla sebagai “Raja Manusia”
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Katakanlah : “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia“,
“Raja Manusia”,
“Sembahan manusia”. (QS An Naas [114]: 1-3 )
Manusia dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) di tempat manapun namun bukan juga berarti Allah Azza wa Jalla bertempat di mana-mana.
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati. Bintik hitam maknanya kegelapan atau ketiadaan cahaya.
Diriwayatk an dari Abu Musa al-‘Asy’ar i:
قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ يَخْفَضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُ هُ. يَرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلَ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَعَمَلَ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ. (رواه مسلم)
Berdiri Rasulullah صلى الله عليه وسلم di depan kami dengan menyampaik an lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguh nya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkat nya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang Sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR. Muslim)
Terkait dengan cahaya, firman Allah ta’ala yang artinya,
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaa n cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-aka n bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-ham pir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis- lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaa n-perumpam aan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Dalam memahami Al Qur’an tidak boleh berpegang sebagaiman a yang tertulis (tersurat) atau memahaminy a secara harfiah (dzahir). Tidak boleh berkeyakin an bahwa Allah Azza wa Jalla adalah cahaya atau Allah Azza wa Jalla mengeluark an cahaya sehingga men-cahaya -i langit dan bumi beserta isinya.
Mereka bersikukuh memahami secara dzahir berpegang kepada firman Allah ta’ala yang artinya “dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195). Jelas disini bukan berarti mudah dipahami dan secara dzahir. Firman Allah ta’ala pada ayat lain yang menerangka n bahwa walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-oran g yang berkompete n (ahlinya). “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatn ya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Ditegaskan bahwa Al Qur’an dalam bahasa Arab maka dalam memahaminy a wajib mengikuti seluruh alat bahasa dalam bahasa Arab termasuk di dalamnya makna majaz, ilmu balaghoh.
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah untuk menghindar i makna yang tidak pantas bagi Allah ta’ala maka perlu dilakukan pentakwila n dengan menggunaka n alat-alat bahasa tersebut
Kita harus dapat membedakan antara “mencari-c ari takwil” dengan mentakwilk an. Mentakwilk an adalah menimbang atau mengambil pelajaran dengan dali naqli yang muhkamat
Mereka yang dapat mengambil pelajaran terhadap ayat-ayat mutasyabih at atau mengambil pelajaran terhadap keseluruha n firman Allah ta’ala ada Ulil Albab
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganuger ahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Pemahaman secara hikmah tidak akan dimiliki oleh setiap manusia yang tidak bersyahada t karena mereka tidak termasuk orang yang dikehendak iNya bahkan kaum Zionis Yahudi adalah kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla.
Hadits yang diriwayatk an Sufyan bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatk an dari Abu Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam tentang orang-oran g yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-oran g yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam: “ Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangp un dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”
Pemahaman secara hikmah adalah pemahaman menggunaka n akal qalbu (hati atau lubb) sebagaiman a ulil albab
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Ulil albab dengan ciri utamanya sebagaiman firmanNya yang artinya
“(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3] : 191)
Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/15/ berdiri-dud uk-berbari ng/
Kalimat majaz atau balaghoh hanya dapat dipahami dengan hati.
Terjemahan nya cahaya namun maknanya sesuatu yang terkait dengan hati (ain bashiroh) seperti petunjuk , ilham, mulia (derajat)
Begitupula hakikat “di langit” “di atas” bukanlah dipahami sebagai tempat bagi Allah Azza wa Jalla namun sebagai padanan bagi Yang Maha Tinggi (Al ‘Aliy) dan Yang Maha Mulia (Al Jaliil)
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatk an oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhn ya langit dan bumi tidak akan/ mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimany a.”
Langit , di atas, tinggi sebagai kemuliaan, kebahagian diperlamba ngkan dengan Nuur (cahaya),
Bumi, di bawah, rendah sebagai kehinaan, kesengsara an diperlamba ngkan dengan Naar (api)
Manusia sebagai makhluk yang mulia dengan dikaruniak an akal (qalbu) dan akan mendapatka n kemuliaan (An Nuur) atau “naik” jika manusia memperguna kan akal (qalbu) di jalan Allah ta’ala dan RasulNya atau memperguna kan akal (qalbu) untuk mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a dan sebaliknya akan mendapatka n kehinaan (An Naar) atau “jatuh” jika manusia tidak memperguna kan akalnya atau memperturu tkan hawa nafsu.
Nabi Adam a.s diturunkan dari tempat yang mulia ke bumi karena melanggar perintah Allah ta’ala atau karena tidak memperguna kan akal untuk mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a atau karena memperturu tkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatka n kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26 )
“Katakanlah : “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatla h aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-oran g yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Mengikuti atau memperturu tkan hawa nafsu = tidak mengikuti petunjukNy a atau tersesat dari jalan Allah, menuju kegelapan atau ketiadaan cahayaNya
Manusia dapat memilih memuliakan dirinya dengan menggunaka n akal mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a atau menghinaka n dirinya dengan memperturu tkan hawa nafsu. Setiap manusia telah diilhamkan pada jiwa (qalbu) mereka akan pilihan tersebut.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan Kami telah menunjukka n kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamk an kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaann ya“. (QS As Syams [91]:8 )
Apapun pilihan manusia akan dipertangg ungjawabka n di akhirat kelak tanpa dapat mengingkar inya karena pada dasarnya semua manusia telah diilhamkan pilihan tersebut.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat- Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (QS Anbiyaa’ [21]:23 )
“Dan sesungguhn ya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” (QS An Nahl [16:93 )
Pilihan ini yang dimaksud dengan keimanan yang kadang naik (menuju kemuliaan) dan kadang turun (menuju kehinaan).
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda
”Iman itu kadang naik kadang turun, maka perbaharui lah iman kalian dengan la ilaha illallah.” (HR Ibn Hibban)
Ketidakmam puan manusia menggunaka n ilham yang telah dihujamkan kedalam hati mereka dikarenaka n keadaan hati mereka. Semakin mereka berlumur dosa maka ketiadaan cahayaNya pada hati mereka , menuju kegelapan , kehinaan sehingga mereka buta hatinya.
Jalan Allah ta’ala, jalan yang lurus, diperlamba ngkan dengan Alif, lurus naik ke atas.
Bagian paling dasar, kehinaan, naar (Api), 7 lapis bumi terus naik 7 lapis langit, Nuur (Cahaya), kemuliaan.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Yang telah menciptaka n tujuh langit berlapis-l apis” (QS Al Mulk [67]:3 )
“Allah-lah yang menciptaka n tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS Ath Thalaq [65]: 12 )
“Sesungguhn ya Kami telah menciptaka n manusia dalam bentuk yang sebaik-bai knya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-r endahnya (neraka), kecuali orang-oran g yang beriman dan mengerjaka n amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putu snya” (QS At Tin [95]: 4-6 )
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki” ( QS An Nuur [24]:35 )
Manusia yang mendapat kemuliaan atau yang kembali ke sisi Allah yang Maha Mulia adalah Mereka yang mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a yakni mereka yang memperguna kan akal (qalbu) di jalan Allah dan RasulNya atau dengan kata lain adalah manusia yang bertaqwa.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhn ya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (Al-Hujura at [49]: 13 )
Mereka yang mulia dan di sisi Allah Azza wa Jalla, mereka yang istiqomah di jalan yang lurus, mereka yang telah diberi ni’mat , mereka hanyalah terdiri dari 4 golongan manusia yakni para Nabi (yang utama adalah Rasulullah ), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-oran g sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, orang-oran g yang mati syahid, dan orang-oran g saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Mereka yang dapat memandang Allah ta’ala dengan hati atau mereka yang telah mencapai muslim yang ihsan atau mereka yang telah berma’rifa t adalah mereka yang mengikuti cahayaNya atau petunjukNy a
Syaikh Ibnu Athoillah menyampaik an diawali dengan firman Allah Azza wa Jalla
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الحَكِيْمُ الخَبِيْرُ
Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamb a-Nya
Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui (QS. Al-An’am 18)
الحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْ بٍ وَإِنَّماَ المَحْجُوْ بُ أَنْتَ عَنِ النَّظْرِ إِذْ لَوْحَجَبَ هُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ ماَحَجَبَه ُ وَلَوكاَنَ لَهُ ساَتِرٌ لَكاَنَ لِوُجُوْدِ هِ حاَصِرٌ وَكُلُّ حاَصِرٍ
لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قاَهِرٌ
Allah tidak terhalang untuk dilihat, akan tetapi yang terhalang adalah anda untuk dapat melihat Allah, logikanya apabila Allah terhalang sesuatu untuk dilihat maka penghalang itu menutupi wujud Allah, apabila wujud Allah terhalang maka keberadaan Allah itu terbatas, dan setiap sesuatu yang terbatas niscaya ada sesuatu yang membatasi atau ada sesuatu yang menguasain ya, ada yang menguasai Allah itu mustahil.
يَعْنِي أَنَّ الحِجاَبَ لاَ يَتَّصِفُ بِهِ الحَقُّ سُبْحاَنَه ُ وَتَعاَلىَ ِلاسْتِحاَ لَتِهِ فيِ حَقِّهِ
Yakni, bahwa penghalang tidak akan pernah terjadi menyertai Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Haq Subhanalla h, karena hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
وَإِنَّماَ المَحْجُوْ بُ أَنْتَ أَيُّهاَ العَبْدُ بِصِفاَتِك َ النَّفْساَ نِيَّةِ عَنِ النَّظْرِ إِلَيْهِ فَإِنْ رُمْتَ الوُصُوْلَ فاَبْحَثْ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِكَ وَعاَلَجَه اَ
Sesungguhn ya yang terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk mengobati dan memperbaik inya, karena itu-lah sebagai penghalang anda. Mengobatin ya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaik inya dengan tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan.
إِن الحِجاَبَ يَرْتَفِعُ عَنْكَ فَتَصِلُ إِلىَ النَّظْرِ إِلَيْهِ بِعَيْنِ بَصِيْرَتِ كَ وَهُوَ مَقاَمُ الإِحْساَن ِ الَّذِي يُعَبِرُوْ نَ عَنْهُ بِمَقاَمِ المُشاَهَد َةِ
Pada akhirnya penghalang itu akan sirna, hilang dari anda sehingga sampai pada “Dapat Melihat Allah” dengan “Ain Bashiroh” (Pandangan mata hati) dan inilah yang disebut “Ihsan” yaitu beribadah kepada Allah seolah anda melihatNya , apabila anda tidak mampu melihatNya , sesungguhn ya Allah melihat anda. Para Ulama Sufi menyebutny a Maqom Musyahadah artinya ruang kesakisan, “Aku besaksi tiada Tuhan selain Allah”.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurka n hijab-hija b antara diri mereka dengan DiriNya.
Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-send i putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla.
Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnala h semua perkara baginya.
Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya.
Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan ,
“Seandainy a Anda tidak dapat sampai / berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapusk an dosa-dosa kejahatan dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya.
Tetapi apabila Allah menghendak i agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan menutupi sifat-sifa tmu dengan sifat-sifa t Kemahasuci an-Nya , kekurangan mu dengan Kemahasemp urnaan-Nya .
Allah Ta’ala menerima engkau dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal perbuatanm u sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”
Kami akhiri tulisan kali ini dengan doa munajat Syaikh Ibnu Athoillah,
“Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanN ya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurna an, keindahan dan keagunganN ya, sehingga nyatalah bukti kebesaranN ya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembuny i padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolonga n“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830