Kami mengingatk an kembali kembali akan adanya ghazwul fikri (perang pemaham) oleh kaum Zionis Yahudi yang dilancarka n melalui pusat-pusa t kajian Islam yang mereka dirikan.
Empat gerakan yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi yakni
1. Paham anti mazhab, umat muslim diarahkan untuk tidak lagi mentaati pimpinan ijtihad atau imam mujtahid alias Imam Mazhab
2. Pemahaman secara ilmiah, umat muslim diarahkan untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-mas ing dengan metodologi “terjemahk an saja” hanya memandang dari sudut bahasa (lughat) dan istilah (terminolo gis) namun kurang memperhati kan nahwu, shorof, balaghoh, makna majaz, dll
3. Paham anti tasawuf untuk merusak akhlak kaum muslim karena tasawuf adalah tentang Ihsan atau jalan menuju muslim yang Ihsan atau muslim yang berakhlaku l karimah.
4. Paham Sekulerism e, Pluralisme , Liberalism e (SEPILIS) disusupkan kepada umat muslim yang mengikuti pendidikan di “barat” .
Protokol Zionis yang ketujuhbel as
“…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskred itkan para rohaniawan non-Yahudi (contohnya para Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancur kan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalang i misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandan gkan diman-mana . Tinggal masalah waktu maka agama-agam a itu akan bertumbang an..“
Salah satunya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidik i dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpu lan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab ) dan istiqomah mengikuti tharikat-t harikat tasawuf. Laurens mengupah ulama-ulam a yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemah kan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis .
Ditengarai kaum Zionis Yahudi mengangkat kembali pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah yang sudah lama terkubur untuk menimbulka n perselihan pada kaum muslim dan menjerumus kan mereka yang terpengaru h kedalam kekufuran baik kekufuran karena kesalahpah aman dalam i’tiqod atau karena kesalahpah aman yang lain seperti kesalahpah aman tentang bid’ah.
Kesalahpah aman dalam i’tiqod (akidah) dapat menjerumus kan pada kekufuran sebagaiman a peringatan yang disampaika n oleh ulama-ulam a terdahulu seperti
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula peringatan yang disampaika n oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi ).
Kesalahpah aman tentang bid’ah pun dapat menjerumus kan kedalam kekufuran sebagaiman a yang telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/24/ korban-pera ng-pemaham an/
Mereka membenci kaum sufi karena mereka terkena pengaruh ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilakukan oleh kaum Zionis Yahudi. Mereka bersandark an atas pengamatan kepada mereka yang mengaku aku sebagai sufi atau mereka yang mengaku-ak u telah menjalanka n tasawuf.
Mereka membenci kaum sufi karena mereka mengikuti pendapat dukhala ilmi yakni ulama namun bukan ahlinya atau ulama namun yang tidak menjalanka n tasawuf atau ulama namun yang tidak memperjala nkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.
Ulama tasawuf, Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-oran g berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapa t bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-oran g shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapa t bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah. Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.
Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatka n kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikan nya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.
Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi) terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesaran nya), shidquhu (kejujuran ), dan shafa’uhu( kesucianny a)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduan nya), wudduhu (cintanya) , dan wafa’uhu(k esetiaanny a)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilanga nnya), faqruhu (kepapaann ya), dan fana’uhu(k efanaannya ).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahka n kendali mereka pada Allah. Mereka mempersemb ahkan diri mereka di hadapanNya . Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah- Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya . Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekirany a kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya , niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak i…” (QS An-Nuur:21 )
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhn ya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganuge rahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatk an (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhn ya mereka pada sisi Kami benar-bena r termasuk orang-oran g pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47 )
Kaum Sufi adalah mereka yang telah berma’rifa t atau mereka yang telah mencapai muslim yang Ihsan (muhsin/ muhsinin) atau muslim yuang sholeh (sholihin) . Mereka bermaqom di sisi Allah Azza wa Jalla. Mereka adalah para kekasih Allah (Wali Allah). Tentang derajat/ tingkatan para Wali Allah telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/05/ 2011/09/28/ maqom-wali- allah/
Manusia yang disisi Allah Azza wa Jalla hanylah 4 golongan yakni, para Nabi (Rasululla h yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-oran g sholeh
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
“Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, para syuhada, dan orang-oran g saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Para Wali Allah, mereka saling mengenal sebagaiman a yang diuraikan dalam tulisan sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/22/ saling-meng enal/
Jadi sufi adalah shafahu Allah, yakni Allah menyucikan nya sehingga ia menjadi seorang sufi. Mereka telah disucikanN ya sehingga mereka telah berma’rifa t atau mereka telah mencapai muslim yang Ihsan.
Apakah Ihsan ?
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَا نُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Ny a, maka jika kamu tidak melihat-Ny a maka sesungguhn ya Dia melihatmu. ’ (HR Muslim 11) Link: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=2&ay atno=3&act ion=displa y&option=c om_muslim
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaim u dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Ada dua kondisi yang dicapai oleh muslim yang ihsan atau muslim yang telah berma’rifa t
Kondisi minimal adalah mereka yang selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla
Kondiri terbaik adalah mereka yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Kaum Sufi (shafahu Allah), mereka telah disucikanN ya sehingga mereka dapat mencapai muslim yang terbaik yakni muslim yang Ihsan, muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh).
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaiman a firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiap a yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Setiap manusia pernah dapat melihat Allah Azza wa Jalla dalam keadaan fitri (suci) ketika jasmani belum dapat digunakan, ketika setelah ditupkan ruhNya atau ketika setelah keberadaan ruhani.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Dan (ingatlah) , ketika Tuhanmu mengeluark an keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Penduduk surga, baik mereka yang melalui hisab maupun tanpa dihisab akan dapat melihat Rabb karena mereka kembali fitri (suci) atau mereka telah disucikan kembali (telah dibukakan hijab pembatas) sehingga tidak lagi terhalang akan dosa. Mereka melihat bagaikan “melihat bulan di kala purnama yang tidak ada awan” (HR Muslim 267) yang maknanya melihat jelas tidak terhalang atau melihat tanpa kesulitan. Uraian selengkapn ya tentang melihat Rabb dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/09/12/ melihat-rab b/
Seorang muslim mencapai Ihsan atau menjadi Sufi adalah karena perbuatan Allah Azza wa Jalla menyucikan nya, jadi tidaklah boleh seorang muslim mengaku-ak u sebagai seorang sufi atau seorang sholeh atau seorang Wali Allah.
Hal ini dicontohka n oleh Imam Asy Syafi’i ra ketika beliau ditanya apakah beliau termasuk orang sufi. Beliau menjawabny a dengan sikap tawadhu (rendah hati) dengan ungkapan sebagai berikut, “Uhibbu asShalihii na wa lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah”. Suatu jawaban yang harus dipahami dengan balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih (sufi)
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at Rasulullah shallallah u alaihi wasallam (agar termasuk orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaika n Imam Asy Syafi’i ra bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Bagi kita manusia berharap pertolonga n Allah dan berupaya untuk mencapainy a dengan memperjala nkan diri kita kepada Allah Azza wa Jalla mengikuti jalan (tharikat) sebagaiman a Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah menjalanin ya dan ulama-ulam a yang telah mengikuti nya sehingga dikenal adanya tharikat-t harikat mutakbaroh .
Imam Asy Syafi’i ra juga mencela mereka yang mengaku-ak u sufi namun mereka malas, tidak mau berusaha, bergantung kepada orang lain, berdzikir saja sampai ada pula yang meninggalk an perkara syariat seperti sholat lima waktu.
Imam As Syafi’i juga menyatakan ,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-l ebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/ 207)Perkata an Imam As Syafi’i inilah yang disalahgun akan oleh mereka. Selengkapn ya telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/07/29/ pemutarbali kan-perkat aan-ulama/
Imam Al Baihaqi menjelaska n maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesunggu hnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufianny a dengan benar-bena r tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunaka n adab syari’ah dalam muamalahny a kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutka n satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan ,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua perkara ini, ”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman , engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhn ya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalang i, maka manusia tidak mampu melakukann ya, hingga terhindar dari maksiat).
Perkataan Imam As Syafi’i ra yang disampaika n Imam Al Baihaqi tersebut sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, ”...Sekirany a kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya , niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak i…” (QS An-Nuur:21 )
Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak iNya , Allah menghalang inya dari perbuatan keji dan mungkar, menghalang inya dari perbuatan maksiat, menghalang inya dari kesalahan.
Inilah penjagaan Allah Azza wa Jalla terhadap kaum sufi atau penjagaan terhadap orang-oran g sholeh atau penjagaan terhadap para Wali Allah. Andaikan mereka membuat kesalahan pun maka Allah Azza wa Jalla menyegerak an teguranNya sehingga memberikan kesempatan untuk bertaubat tidak mengundurk an teguran menjadi balasan di akhirat kelak karena mengetahui kesalahan ketika di akhirat kelak adalah menunjukka n ketidak-de katan dengan Allah Azza wa Jalla
Berikut contoh pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-oran g sholeh
Imam asy-Syafi’ i berkata: ‘Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku, maka dia menasihati ku agar meninggalk an maksiat. Dan ia mengabarka n kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânn ya terbata-ba ta), ternyata dikarenaka n beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatk an dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”T idak seorangpun yang mempelajar i Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakan nya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَا بَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم ْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/ 42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul -Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Oleh karenanya Imam Mazhab yang empat, walaupun mereka tidak maksum tetapi mereka itu mahfuzh (dipelihar a) dengan pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-oran g sholeh. Mereka disegeraka n teguranNya jika mereka membuat kesalahan dan merekapun segera mengetahui kesalahann ya dan bertaubat atas kesalahann ya. Sungguh merugi ulama yang tidak menyadari kesalahan yang telah dilakukann ya atau kesalahpah amannya dan ulama seperti itu tidak patut diikuti pemahaman dan pendapatny a serta pastilah tidak diakui oleh jumhur ulama sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab.
Dari dahulu sampai sekarang , jumhur ulama telah sepakat bahwa ulama yang berkompete nsi sebagai pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) atau ulama yang terbaik memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta terbaik memahami perkataan Salafush Sholeh adalah para Imam Mazhab yang empat. Memang ada Imam Mazhab yang lain selain yang berempat namun pada akhirnya pendapat / pemahaman mereka karena tidak komprehensiv e atau tidak menyeluruh sehingga kaum muslim mencukupka nnya pada Imam Mazhab yang empat.
Kesimpulan nya seorang sufi atau muslim yang telah berma’rifa t adalah muslim yang merasa diawasi Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat Rabb atau muslim yang Ihsan maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , Sehingga terwujud dalam berakhlaku l karimah. Inilah tujuan Rasulullah diutus oleh Allah ta’ala
Rasulullah menyampaik an yang maknanya “Sesungguhn ya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad).
Jadi kalau ada yang mengaku-ak u telah menjalanka n tasawuf atau mengikuti tharikat atau mengaku-ak u telah berma’rifa t namun tidak menjalanka n perkara syari’at seperti sholat lima waktu maka bisa dipastikan dia telah berdusta atau tharikat yang diikuti adalah thariqat palsu.
Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanak an suruhan agama dan menghentik an larangan agama dan membayarka n sekalian kewajiban syari’at”
Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzi li, ” Jika pendapat atau temuanmu bertentang an dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu , sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah , kecuali setelah bersesuaia n dengan Al-Qur’an dan Hadits“.
Nasihat Imam Syafi’i ra, “Berusahal ah engkau menjadi seorang yang mempelajar i ilmu fiqih (perkara syariat) dan juga menjalani tasawuf (thariqat, hakikat dan ma’rifat) , dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhn ya demi Allah saya benar-bena r ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajar i ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajar i ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) ? [Diwan Al-Imam Asy-Syafi’ i, hal. 47]
Nasehat Imam Malik ra, “Dia yang sedang Tasawuf tanpa mempelajar i fikih rusak keimananny a , sementara dia yang belajar fikih tanpa mengamalka n Tasawuf rusaklah dia . Hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar”
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830