Dalam beberapa tulisan berturut-t urut, kami telah menghimbau untuk menggigit As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarka n pemahaman pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Janganlah memahaminy a dengan akal pikiran sendiri atau mengikut pemahaman ulama yang tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/31/ gigitlah-as -sunnah/ .
Sebaiknya kita mengambil ilmu dari mulut ulama bermazhab dan sholeh. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/02/ dari-mulut- ulama/
Kita sebaiknya menghindar i kitab ulama yang belajar sendiri dan tidak bermazhab hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/11/03/ kitab-tidak -bermazhab /
Contoh ulama yang belajar sendiri dan tidak lagi bermazhab adalah ulama Ibnu Taimiyyah
Tentulah ulama Ibnu Taimiyyah tidak belajar tanpa guru sama sekali. Namun beliau lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak) dengan muthola’ah (menelaah kitab).
Para ulama menyampaik an ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’a h” (menelaah kitab) semata dengan mengesampi ngkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahua n khushush dan dapat dipercaya) dikarenaka n terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupa n” dan “pendustaa n” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaiman a mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaa n “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumus kan kedalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Kita sudah paham bahwa Ibnu Taimiyah pernah terjerumus ke dalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) karena menelaah kitab berdasarka n akal pikiran dia sendiri. Namun sebelum dia wafat , dia sempat bertobat akan kesalahpah amannya. http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/04/ taimiyahtob at.pdf
Penjelasan keterjerum usan beliau ke dalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” dijelaskan dalam http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Contoh keterjerum usan mereka ke dalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya)
Berikut dua ulama yang memahami hadits Rasulullah yang artinya, “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”
Ulama pertama berpendapa t, “Benar (Allah punya bayangan), sebagaiman a itu disebutkan dalam hadits. tetapi kita tidak tahu tata cara dari seluruh sifat-sifa t Allah lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunna h Wal Jama’ah (yaitu itsbat/ menetapkan saja)”. Sumber: http:// ww.binbaz.o rg.sa/mat/ 4234
Kesimpulan ulama ini adalah “Allah memiliki bayangan yang sesuai bagi-Nya”
Ulama kedua berpendapa t, “Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” artinya “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. “Makna hadits ini bukan seperti yang disangka oleh sebagian orang bahwa bayangan tersebut adalah bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (sesat), karena dengan begitu maka berarti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah supaya berteduh di bawahnya orang-oran g yang dikehendak i oleh-Nya dari para hamba-Nya”.
Ulama kedua telah membedakan antara terjemahan dengan makna yang lebih sesuai bagi Allah Azza wa Jalla, daripada ulama pertama yang berpendapa t bahwa Allah memliki bayangan yang sesuai bagi-Nya.
Metodologi pemahaman yang dipergunak an oleh ulama pertama yang kami sebut dengan metodologi “terjemahk an saja” atau memahami secara harfiah/ dzahir nya nash/ lafazh/ tulisan.
Metodologi “terjemahk an saja” akan menemukan kesulitan pula dalam memahami contohnya perkataan Rasulullah yang artinya “Sesungguhn ya pintu-pint u surga terletak di bawah bayangan pedang” (HR Muslim 3521) Sumber: http:// www.indoqur an.com/ index.php?s urano=34&a yatno=133& action=dis play&optio n=com_musl im
Apa yang dialami oleh ulama yang pertama terjadi juga dengan ulama yang lainnya ketika mereka memahami
Allah berfirman yang artinya : “Hai iblis, apakah yang menghalang i kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptaka n dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombong kan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-oran g yang (lebih) tinggi?”. (Surat Shaad: 75)
Sesungguhn ya abu Hurairoh ra telah berkata telah bersabda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam “Allah Azza wa Jalla menggengga m bumi pada hari kiamat dan melipat (menggulun g) langit (dalam riwayat lain: langit-lan git) dengan tangan kanan-Nya”, kemudian Allah Azza wa Jalla berkata: “Akulah raja! Manakah raja-raja bumi (dunia)?”. (Hadits shahih riwayat. Bukhari no. 4812,6519, 7382 & 7413 dan muslim no. 2787 )
Dari Abdullah bin ‘Amr r.a ia berkata: Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhn ya orang-oran g yang adil di sisi Allah Azza wa Jalla (pada hari kiamat) di atas mimbar-mim bar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar Rahman dan kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu orang-oran g yang berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada kelaurga mereka, dan pada apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan Nasaa-i no 5379
Kesimpulan mereka adalah “Allah ta’ala mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah ta’ala adalah kanan“ Hal ini disampaika n contohnya pada http:// moslemsunna h.wordpres s.com/ 2010/03/29/ benarkah-ke dua-tangan -allah-azz a-wa-jalla -adalah-ka nan/
Silahkan saksikan video pada http:// www.youtube .com/ watch?v=CaT 4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15
I’tiqod mereka bahwa Allah ta’ala punya tangan namun mereka tambahkan bahwa tangan Allah ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk.
Berikut transkript nya,
“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk ? tidak.
Sedangkan sama sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut ndak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini, ndak sama.
Apalagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya ndak sama karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apapun di dunia ini, adapun kalau sama namanya ndak sama bentuknya dan rupanya.”
Begitupula seorang ustadz mengatasna makan pemahamann ya terhadap lafaz/ tulisan ulama salaf sebagai ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit
Beliau adalah pengikut ulama Ibnu Taimiyyah dimana tesis S2 beliau berjudul “Jawaban Ibnu Taimiyyah terhadap syubhat-sy ubhat terperinci yang berkaitan dengan sifat-sifa t Allah dzatiyah yang dilontarka n oleh para penolak sifat”
Bandingkan pendapat mereka dengan pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid / imam mazhab) seperti Imam Syafi’i ~rahimahulla h
Imam asy-Syafi’ i berkata:
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhn ya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptaka n tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifa t-Nya yang Azali sebelum Dia menciptaka n tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifa t-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqî n…, j. 2, h. 24).
Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[s elain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi’ i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunna h dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’ i berkata:
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptaka n tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptaka n tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifa t-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-ba gi dan terpisah-p isah. Karenanya tidak boleh dibayangka n dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’ i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات ، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbih ât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimanin ya dan tidak –secara mendetail– membahasny a dan membicarak annya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala penghabisa n, dan Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’ i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisa n adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisa nnya. Dalil bagi kemustahil an hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisa n dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisa n secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan penguranga n, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhka n kepada yang menjadikan nya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tand a makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.
Begitu pula pendapat para pengikut Imam Mazhab
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Perhatikan pula peringatan yang disampaika n Imam Sayyidina Ali ra
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi )
Ulama Ibnu Taimiyyah, ulama Ibnu Qoyyim Al Jauziah (pengikut Ibnu Taimiyyah) , ulama Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikut Ibnu Taimyyah) , juga termasuk ulama Al Albani (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab adalah termasuk ulama- ulama yang tidak lagi mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid / imam mazhab), mereka lebih bersandar kepada akal pikiran mereka sendiri.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Mereka yang tidak mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim (imam mujtahid / imam mazhab) pada hakikatnya tidak mentaati Sunnah Rasulullah bahwa jika terjadi perselisih an karena perbedaan pemahaman maka kita di-sunnah- kan berpegang kepada kesepakata n jumhur ulama
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda
“Sesungguh nya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisih an maka ikutilah as-sawad al a’zham (kesepakat an jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Barangsia pa menyendiri (memisahka n diri), maka dia akan menyendiri (masuk) ke dalam neraka”
Atsar Umar bin Khaththab R.A, berkata: “Hendaknya kalian berpegang teguh kepada jama’ah dan tidak bercerai berai. Sesungguhn ya syaithan bersama satu orang, dan jarang bersama dengan dua orang. Barangsiap a menghendak i kenikmatan hidup di sorga, maka hendaknya dia berpegang teguh kepada jama’ah”.
Mereka yang memisahkan diri dari pendapat / pemahaman jumhur ulama adalah yang dikatakan oleh Rasulullah sebagai “orang-ora ng muda”, mereka bagaikan “meluncurn ya anak panah dari busurnya”. Silahkan baca uraian kami pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/15/ orang-orang -muda/
Oleh karenanya setelah kita melihat terjadi perselisih an dikarenaka n perbedaan pemahaman maka kita sebaiknya kembali berpegang kepada pemahaman pemimpin itjihad kaum muslim (Imam Mujtahid / Imam Mazhab)
Sejak dahulu kala sampai saat ini, jumhur ulama telah sepakat bahwa pemahaman terbaik terhadap Al Qur’an dan Hadits dan pemahaman terbaik terhadap perkataan Salafush Sholeh adalah Imam Mazhab yang empat. Dahulu memang ada imam-imam mazhab yang lain, namun pendapat/ pemahaman mereka tidak dipakai lagi oleh kaum muslim
Memang Imam Mazhab yang empat tidak maksum namun mereka tetapi mereka itu mahfuzh (dipelihar a) dengan pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-oran g sholeh. Mereka disegeraka n teguranNya jika mereka berbuat kesalahan dan merekapun mempunyai kesempatan bertaubat atas kesalahann ya. Sungguh sebuah petunjuk ketidak-de katan denganNya jika berbuat kesalahan namun tidak disegeraka n teguran dariNya. Sebuah malapetaka besar jika seseorang mengetahui kesalahann ya ketika di akhirat kelak karena pada hakikatnya mereka tidak lagi diberi kesempatan
untuk bertaubat atas kesalahann ya.
Berikut contoh pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-oran g sholeh
Imam asy-Syafi’ i berkata:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي
فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور
ونور الله لا يؤتى لعاصى”
شَكَوْتُ إِلىَ وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ # فَأَرْشَدَ نِيْ إِلىَ تَرْكِ الْمَعَاصِ ي
وَأَخْــبَ رَنِيْ بِأَنَّ الْعِلْـمَ نُوْرٌ # وَنُوْرُ اللهِ لَا يُـؤْتىَ لِعَاصِى
Saya mengadu kepada Waqi’ (guru beliau) buruknya hafalanku,
maka dia menasihati ku agar meninggalk an maksiat.
Dan ia mengabarka n kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya,
dan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diberikan kepada pelaku maksiat.
Setelah Imam asy Syafi’i merunut (mencari tahu) kenapa beliau lupa hafalan Al-Qur’an (hafalan Al-Qur`ânn ya terbata-ba ta) dikarenaka n beliau tanpa sengaja melihat betis seorang wanita bukan muhrim yang tersingkap oleh angin dalam perjalanan beliau ke tempat gurunya
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatk an dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”T idak seorangpun yang mempelajar i Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakan nya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala : وَمَآأَصَا بَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُم ْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/ 42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul -Qur`ân, karya Ibnu Katsir, hlm. 147)
Itulah contoh mereka yang disayang oleh Allah ta’ala dan diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan mereka ketika masih di dunia.
Oleh karenanyal ah sebaiknya jangan mengikuti pemahaman ulama yang banyak kesalahann ya yang dibuktikan dengan banyak ulama lain yang menyanggah atau membantah pendapat ulama tersebut. Jangan beralasan dengan “ambil yang baik dan buang yang buruk” karenapada hakikatnya mereka tidak dalam pemelihara an Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang-oran g sholeh. Ikutilah pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid / Imam Mazhab) dan penjelasan para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830