Dalam tulisan kami sebelumnya pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/31/ gigitlah-as -sunnah/ kami menghimbau untuk “menggigit ” As Sunnah dan sunnah Khulafaur Rasyidin berdasarka n pemahaman pemimpin ijtihad (Imam Mujtahid) / Imam Mazhab dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Terhadap tulisan kami tersebut, mereka mengatakan bahwa kami telah memfitnah ulama Al Albani.
Kami tidak bermaksud memfitnah maupun menghujat ulama Al Albani namun kami berupaya menyampaik an dan meluruskan kesalahpah aman yang telah terjadi selama ini karena Allah ta’ala semata dan sekaligus sebagai upaya menegakkan Ukhuwah Islamiyah ditengah-t engah perselisih an (perbedaan pemahaman) diantara kaum muslim dikarenaka n kesalahpah aman mereka
Ulama Al Albani pada kitab beliau berjudul “Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallah u ‘alaihi wa sallama min At-Takbiir i ilaa At-Tasliim i Ka-annaka Taraahaa” , edisi Indonesia berjudul “Sifat Shalat Nabi Shallallah u ‘alaihi wa sallam”, penerbit Media Hidayah ada menyampaik an perkataan Imam Mazhab yang empat. Contohnya diuraikan dalam tulisan pada http:// kajianislam sunnah.blo gspot.com/ 2011/10/ pernyataan- para-imam- untuk-meng ikuti_3450 .html
Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut adalah sebagai bentuk sikap tawadhu (rendah hati) mereka. Mereka mengingatk an kita untuk meninggalk an pendapat/ pemahaman mereka khusus yang menyelisih i sunnah Rasulullah . Itupun kalau memang ada.
Perkataan para Imam Mazhab yang empat tersebut bukanlah perintah untuk meninggalk an keseluruha n pendapat/ pemahaman mereka. Berdasarka n perkaatan para Imam Mazhab yang empat tersebut maka kita mengikuti pendapat/ pemahaman para Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Begitupula ulama Al Albani dalam kitab yang sama “menyalahg unakan” firman Allah ta’ala yang artinya, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-p emimpin selain-Nya . Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadan ya). “. (QS Al-A’raaf [7] : 3)
Para ahli tafsir menyampaik an larangan mengikuti pemimpin-p emimpin selainNya maknanya adalah larangan mengikuti pemimpin yang membawa kepada kesesatan bukan larangan mengikuti pemimpin ijtihad kaum muslim atau imam mujtahid alias Imam Mazhab, mereka yang mentaati Allah dan RasulNya.
Kaum muslim pada umumnya adalah tidak berkompete nsi sebagai imam mujtahid maka sebaiknyal ah mengikuti pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim atau Imam Mazhab yang dikenal sebagai muqallid sambil merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Boleh dikatakan pada masa kini semakin sangat sulit untuk menjadi Imam Mujtahid Mutlak karena hadits tidak terbatas pada apa yang telah dibukukan namun sebagian dalam bentuk hafalan dan umumnya sudah terlupakan sanadnya dan sebagian matan/ redaksinya masih ada yang mengingatn ya. Imam Mazhab pada sewaktu mereka berijtihad dan beristinba t mereka mengetahui hadits lebih banyak dari apa yang telah dibukukan.
Kita umat muslim sebaiknyal ah mentaati dan mengikuti Imam Mazhab karena mereka telah disepakati oleh jumhur ulama memiliki kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Imam Mazhab telah diakui terbaik dalam memahami pemahaman Salafush Sholeh.
Segelintir umat muslim terkecoh oleh ulama yang tanpa disadari telah berbohong karena mereka mengatakan atau mengaku-ak u bahwa apa yang mereka pahami dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh. Tentulah mereka tidak pernah bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mengkonfir masi pemahaman Salafush Sholeh sebenarnya . Kenyataann ya adalah pemahaman mereka sendiri terhadap lafaz/ tulisan perkataan Salafush Sholeh dimana upaya pemahaman mereka tentulah bisa benar dan bisa pula salah, terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama-ulam a tersebut diantarany a ulama Ibnu Taimiyyah (pelopor) , Ibnu Qoyyim Al Jauziah (pengikut Ibnu Taimiyyah) , Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikut Ibnu Taimiyyah) dan termasuk Al Albani yang merupakan pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab.
Mereka adalah ulama-ulam a korban dari ghazwul fikri (perang pemahaman) kaum Zionis Yahudi. Upaya ghazwul fikri (perang pemahaman) kaum Zionis Yahudi telah kami sampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/26/ bukti-korba n/ atau pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/24/ korban-pera ng-pemaham an/
Mereka dikenal oleh orang awam sebagai ulama pembaharu (mujaddid) namun pada hakikatnya pemahaman mereka yang baru dalam arti menyelisih i pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim.
Mereka adalah ulama-ulam a yang tidak mentaati pemimpin ijtihad kaum muslim atau imam mujtahid alias Imam Mazhab. Mereka berupaya memahami Al Qur’an dan Hadits dengan akal pikiran mereka sendiri. Mereka dikenal belajar agama lebih bersandar kepada belajar sendiri (otodidak) . Pemahaman mereka, kebanyakan bukan didapatkan dari mulut para ulama ( talaqqi ) atau tidak ber sama’ (mendegar ) kepada lisan para guru namun mereka mencukupka n diri dengan muthala’ah (menelaah) kitab-kita b dengan akal pikiran mereka sendiri.
Al Hafidz Abu Bakar Al Khatibh Al Baghdady mengatakan bahwa “… ilmu tidak dapat diambil kecuali dari mulut para ulama” .
Para ulama menyampaik an bahwa ilmu yang hanya didapat dengan belajar sendiri (otodidak) maka kemungkina n besar akan dapat berakibat kepada pelaksanaa n ibadah fasidah (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumus kan kedalam tasybihill ah bikholqihi (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Terjerumus kedalam tasybihill ah bikholqihi (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) sebagaima na yang disampaika n oleh Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra. Beliau berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi )
Untuk itulah kita wajib menghindar i terjerumus dalam kekufuran karena kesalahpah aman. Hal ini telah kami uraikan dalam tulisan pada
Pada hakikatnya jalan kesalamata n (firqatun najiyah) adalah mengikuti pemahaman/ pendapat pemimpin ijtihad kaum muslim alias Imam Mazhab berikut penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ambillah ilmu dari mulut (talaqqi) ulama bermazhab dan sholeh. Bermazhab adalah jalan keselamata n dan sholeh adalah indikator pengikut Rasulullah sebagaiman a telah kami sampaikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/24/ indikator-d ekat-denga nya/
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah –Shollallah u ‘alaihi wasallam– pada matan haditsnya. Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaan nya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan :
“Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandark an) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandark an sandaran, yang mana ia diangkatka n kepada yang berkata. Maka menyandark an perkataan berarti mengangkat kan perkataan (mengembal ikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarik an oleh ulama dan universita s Al-Azhar Asy-Syarif . Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-ab ad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis . Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi adalah ijazah. Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan. Memberikan ijazah sangat penting. Menimbang agar tak terjadinya penipuan dan dusta dalam penyandara n seseorang. Apalagi untuk zaman sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis menjadi suatu keharusan
Tradisi ijazah ini pernah dipraktekk an oleh Nabi shallallah u alaihi wasallam ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an. Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda :
artinya: “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang. Yaitu, dari Abdillah ibn Mas’ud r.a., Saidina Salim r.a., Saidina Mu’az r.a. dan Saidina Ubai bin Ka’ab r.a.“. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Tulisan kami kali ini kami akhiri dengan pendapat Al Muhaddits Al Kabir Abdullah al Ghumari Al Hasany terhadap ulama Al Albani yang terkenal sebagai ulama yang memahami agama lebih banyak dari belajar sendiri (otodidak) dibandingk an bertalaqqi
Al Muhaddits Al Kabir Abdullah al Ghumari Al Hasany yang merupakan guru dari Mufty Addiyar Al Mishriyah Al Allamah Al Imam Ali Jum’ah (mufti Mesir). Al Muhaddits Al Kabir Abdullah al Ghumari Al Hasany adalah Al Allamah di bidang hadits dan ilmu lain. Pada awalnya Hafalan hadits beliau mencapai 50.000 hadits baik sanad maupun matannya,n amun setelah beliau meninggal banyak ulama yang menjuluki Al Hafidz.
***** awal kutipan *****
..dia adalah Nashiruddi n, Al Albani adalah asalnya (Albania). Pada awalnya dia ber i’itikaf di dalam kamar perpustaka an “Al Dzahiriyah” Damaskus disana dia berkutat membaca buku dan betah untuk membaca.
Setelah itu dia menyangka bahwa dirinya telah menjadi profesiona l dalam urusan agama. Dia memberanik an diri untuk berfatwa dan mentashhie h hadits atau mendha’ifk annya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Juga dia berani menyerang ulama yang mu’tabar (yang berkompete n di bidangnya) padahal dia mandakwa bahwa “hafalan”h adits telah terputus atau punah. Maka akibatnya bisa anda saksikan terkadang dia menganggap buruk pendapat para ulama juga mendha’ifk an hadits yang baik-baik dan menganggap nya lemah, sampai sampai shahih Bukhari dan shahih Muslim pun tidak selamat dari koreksinya .
Berdasarka n hal tersebut (dia tidak berguru) maka isnadnya maqthu’ (silsilah keilmuanny a terputus) dan kembali kepada kitab kitabnya yang ia teliti, kembali kepada juz juz yang ia baca dengan tanpa Talaqqi (belajar kepada guru).
Dia pernah mendakwaka n dirinya sebagai kholifah (penerus) Assyaikh Badruddin Al Hasani (salah satu guru Al Ghomari,pe n) yang beliau adalah seorang ulama yang tidak pernah terlepas dari biji tasbih dari tangannya meskipun sedang mengajar,d an anehnya ia menganggap bid’ah kepada orang yang mengenakan nya (biji tasbih).
Lalu dia (al Albani) mendakwaka n dirinya telah mencapai derajat “penghafal hadits” dan mampu mentashhie h hadits sehingga pengikut pengikutny a menyangka bahwa dia adalah “muhadits” dunia seluruhnya . Apakah dengan sekedar ijazah dari sangkaan seseorang lantas dia boleh berbicara / koreksi atas hadits Rasulillah shallallah u ‘alaihi wasallam.. ??
Kemudian berdasarka n persaksian dari para ulama di zamannya dari para ulama Dimasyq menyatakan bahwa dia tidak hafal matan-mata n hadits apalagi sanad-sana dnya. Bahkan keilmuanny a tidak mencapai untuk menilai sebuah matan hadits kemudian meneliti rijal (para perowi)nya di kitab kitab “Al Jarh watta’diil ”, sehingga berangkat dari itu semua dia menghukumi sebuah hadits dengan menshahihk an dan mendha’ifk an nya dalam keadaan “tidak tahu” bahwa sebuah hadits mempunyai jalan riwayat, syawahid (hadits lain sebagai saksi penopang) dan mutaba’at (penelusur an susulan). Dia juga lupa bahwa seorang “Al Hafidz“ (penghafal 100 ribuan hadits sanad dan matannya) mempunyai “otoritas” menshahihk an dan mendha’ifk an sebuah hadits sebagaiman a yang di katakan oleh Al Hafidz As Suyuthy dalam “Al Fiyah” nya(kitab nadzom ilmu hadits diroyah 1000 bait)
كَما قَال السُيوطِي فِي ألفيته:
وخذه حَيث حَافظ عليه نص ** أو من مصنَّف بِجمعه يخص
artinya:
Maka ambillah hadits ketika telah di” nash” oleh seorang Al Hafidz………a tau dari kitab susunannya yang khushus untuk kodifikasi hadits tersebut.
Begitulah hukum sebenarnya dimana bahwa ilmu agama tidak diambil dari “Muthola’a h” atas kitab-kita b ansich dengan mengesampi ngkan “Talaqqi” (mengaji) kepada Ahl Al Ma’rifah Wa Al Tsiqoh (ahli pengetahua n khushush dan dapat dipercaya) dikarenaka n terkadang dalam beberapa kitab terjadi “penyusupa n” dan “pendustaa n” atas nama agama atau terjadi pemahaman yang berbeda dengan pengertian para “salaf” maupun “kholaf” sebagaiman a mereka (para ulama) saling memberi dan menerima ilmu agama dari satu generasi ke generasi lainnya maka pemahaman yang berbeda dengan ulama salaf maupun kholaf itu dapat berakibat kepada pelaksanaa n “Ibadah fasidah” (ibadah yang rusak) atau dapat menjerumus kan kedalam “Tasybihil lah Bikholqihi ” (penyerupa an Allah dengan makhluq Nya) atau implikasi negative lainnya.
Cara seperti itu adalah bukan cara “belajar” dan cara menuntut ilmu yang dilakukan ulama salaf dan kholaf sebagaiman a yang telah dikatakan oleh Al Hafidz Abu Bakar Al Khatibh Al Baghdady, “… ilmu tidak dapat diambil kecuali dari mulut para ulama”
Maka jelaslah tidak diperboleh kan mempelajar i ilmu agama kecuali dari orang yang “arif” dan tsiqoh yang mengambil ilmu dari tsiqoh………. .dst sampai ke para Shahabat ra. Sehingga orang yang mengambil Al Qur’an dari Mushhaf dinamakan “Mushhafy” tidak dapat disebut “Qari” begitulah seperti yang dikatakan Al Hafidz Khathib Al Baghdady dalam kitabnya yang berjudul “alfaqih wal mutafaqqih ” bersumber dari sebagian ulama salaf.
Cukuplah bagi kita sebagai anjuran untuk “talaqqi”( menerima ilmu dari guru) sebuah hadits Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam:
مَن يُرد الله بهِ خَيراً يُفقّهه فِي الدِين, وفِي رِوَاية زيادة: “إنَما العِلم بالتعلُمِ, والفِقه بالتفقّه
Artinya: barangsiap a yang dikehendak i baik oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka ia diberi pemahaman dalam agama dalam sebuah riwayat ada tambahan…” bahwa ilmu hanya (didapat) dari Belajar….( HR Al Bukhory, Muslim, Ahmad di musnadnya dan lain lain)
Terdapat juga di al mu’jam al kabir imam thabrany 19/ 395 Al Hafidz di Al Fath mengatakan ”isnadnya baik” 131/1
ورَوى مُسلم فِي صحيحهِ عَن ابن سِيرين أنهُ قَال: ” إنّ هَذا العِلم دِين فانظرُواعم ّن تأخذُون دينكُم”.
Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatk an dari Ibnu Sirin ia berkata: ”bahwa ilmu ini adalah agama maka lihatlah kepada siapa kalian mengambil agama kalian”
أخرجهُ مُسلم فِي صَحيحهِ: المُقدمة: بَاب بَيان أن الإسنَاد مِن الدِين, وأنَ الرِوَاية لا تكُون إلاّ عَن الثقات, وان جرح الرواة بِما هُو فيهم جَائِز بَل وَاجِب وأنهُ ليسَ مِن الغِيبة المُحرّمة بَل مِن الذبّ عَن الشَريعة المُكرّمة
Hadits tadi diriwayatk an Imam Muslim di Muqaddimah shahihnya bab: menerangka n bahwa isnad itu bagian agama dan bahwa meriwayatk an hadits itu tidak boleh terjadi kecuali dari orang yang tsiqot(dip ercaya) dan bahwa mencela “periwayat an” itu diperboleh kan asal sesuai dengan kenyataan bahkan wajib bukan termasuk “ghibah” yang diharamkan namun dengan tujuan “mempertah ankan” syari’at yang dimuliakan .
Imam Abu Hayyan Al Andalusy berkata:
وقَال أبو حَيان الأندلسِي:
يظنّ الغُمْرُ أن الكُتْبَ تَهدي ** أخَا جَهلٍ لإدْراكِ العُلومِ
ومَا يَدري الجهولُ بأنّ فِيها ** غَوامِض حَيّرت عَقلَ الفهيمِ
إذا رُمت العُلومَ بغيرِ شيخٍ ** ضللتَ عَن الصِراط المُستقِيم
وتلتَبِسُ الأمُورُ عليكَ حَتى ** تصيرَ أضلَّ مِن تُوما الحَكيم
Artinya:
khalayak ramai menyangka bahwa kitab kitab itu dapat menuntun orang bodoh untuk menggapai ilmu……
padahal orang yang amat bodoh tidak tahu bahwa di dalam kitab kitab itu banyak masalah rumit yang membingung kan akal orang cerdas.
Apabila engkau mencari ilmu tanpa guru…..mak a engkau dapat tersesat dari jalan yang lurus.
Maka segala hal yang berkaitan akan menjadi samar buatmu hingga engkau menjadi lebih sesat dibanding si Thomas (ahli filsafat). (Hasyiyah Al Thalib Ibnu Hamdun ala Lamiyat Al ‘Af’al hal 44)
Assyaikh Habiburrah aman Al A’dzhami Muhaddits daratan India berkata dalam Muqaddimah bantahan nya terhadap Al Albany dengan judul “mablagh ilm al Albany” (kapasitas keilmuan Al Albany) dengan teks sebagai berikut….
“Syekh Nashiruddi n Al Albany adalah orang yang sangat menyukai untuk menyalahka n orang orang yang sangat brilian dari kalangan pembesar para ulama dan dia tidak memperduli kan siapapun orangnya. Maka dapat anda lihat terkadang dia melemahkan riwayat Imam Bukhary dan Imam Muslim dan ulama lainnya yang dibawah level ke dua imam tadi………dan hal itu terjadi di banyak tempat sehingga sebagian orang yang bodoh dan yang terbatas pemikirann ya dari kalangan ulama menyangka bahwa Al Albani adalah orang yang profesiona l pada abad ini dan kemahirann ya jarang ditemukan semacam dia di era sekarang. Semacam inilah hal yang dibanggaka n olehnya di berbagai tempat dengan mengeluark an kotorannya sehingga para pembaca melirikkan pandangan mereka dan terkadang dia mengatakan : ”aku mendapatka n tahqiq (pernyataa n) semacam ini dan tidak akan kau temukan di lain tempat (maksudnya di kitab lain-yang menurut dia- tidak terdapat pernyataan semacam itu).
terkadang dia mendakwa bahwa dirinya “di istimewaka n” oleh Allah di abad ini untuk meneliti atas hadits hadits tambahan dalam kondisi perbedaan riwayatnya yang tersebar di kitab kitab yang berserakan sehingga ia telah mencapai hal yang belum pernah diraih para Muhaqqiqqi in yang telah lampau maupun yang akan datang.
Namun orang yang “mengenal” al Albany dan orang yang meneliti biografiny a ia pasti mengetahui bahwa dia tidak mendapatka n ilmu dari “mulut para ulama” dan dia belum pernah duduk bersimpuh di depan pengajian para ulama , padahal ilmu itu harus didapat dengan cara ta’allum (mengaji).
Ada berita sampai kepada saya bahwa hafalan kitabnya tidak melebihi “mukhtasho r al qodury” dan profesi keahlian sebenarnya adalah “mereparas i jam” yang dirinya mengakui hal ini dan membanggak annya, padahal cara mendapatka n ilmu dengan ta’allum tersebut adalah hal yang telah lazim dikenal dikalangan pelajar hadits di seluruh madrasah kami(india ).Begitula h apa yang telah dinyatakan oleh Assyaikh Muhaddits diyar al Hindiyah الألبَانِي أخطاؤه وشُذوذه 1/9
Inilah kapasitas keilmuan Al Albany,mak a bila kau membaca kitab kitabnya akan kau temukan tanda yang jelas karena dia menyebut apa yang ia katakan shahieh akan berlawanan dengan apa yang dikatakan dengan dha’ief hingga kau temukan dia merubah hadits hadits Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang tidak boleh diakukan oleh Ahlul ilmi bil hadits. Pada akhirnya dia mendha’ifk an yang shahieh dan menshahieh kan yang dhai’ef. Ini adalah polah tingkah orang yang belum pernah menghirup aroma “ilmu” dan cara orang yang belum pernah mengenal para “guru” dan belum pernah sama’ (mendengar ) dari teks teks lafadz mereka. Saya tidak melihat dia kecuali orang yang membaca kitab dan menganggap bahwa mencari ilmu itu tidak butuh terhadap bimbingan dan talaqqi para guru. Padahal kita sungguh mengetahui bahwa seorang penghafal hadits tidak hanya mencukupka n diri dengan muthala’ah tanpa berkelilin g mencari ilmu dari para guru dari biografi mereka dan mereka sama’ (mendengar riwayat hadits) sebagaiman a orang orang sebelum mereka ber sama’ kepada para guru ……begitula h adat kebiasaan “Ahli Isnad”.
Termasuk diantara “cacat” al Albany adalah dia berani mengkoreks i Imam Imam Besar,cuku plah sebagai celaan bahwa dia mengkoreks i dan berani terhadap hadits shahih Imam Bukhory dan shahieh Imam Muslim, oh….seanda inya saja dia mendhaifka n hadits hadts tadi berdasarka n ilmu dan ma’rifah…. .namun sayang dia mendhaifka nnya karena kebodohan dan keculasan.
Siapapun orang yang mau melihat kitab kitabnya dengan pemahaman dan pengetahua n yang baik dan menjauhkan diri dari “ta’ashshu b” (fanatisme ) dan buang jauh jauh kebodohan yang berbahaya maka akan menjadi jelas bagi dia bahwa Al Albani adalah orang yang sangat lemah dalam ilmu hadits baik matannya maupun rijalnya.
Diantara cacat Al Albany yang fatal adalah dia menuduh orang yang mengingkar inya dengan si “pembuat bid’ah” dan dia sendiri lah yang sunny (Ahlus Sunnah) dengan pengikutny a sehingga berhak masuk sorga dan penentangn ya adalah ahlulbid’a h yang akan masuk neraka. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk mencapai “kemasyhur an” dia ingin menjadi yang terhebat di zamannya dan mengunggul i pendahulu pendahulun ya.
Kesimpulan nya Al Albany dan fatwa fatwa dan istinbat nya adalah merupakan bencana untuk kaum muslimin. Bisa anda lihat bagaimana dia membid’ahk an berdzikir dengan biji tasbih, membaca al Qur’an untuk mayyit….ju ga di kitab kitabnya banyak kesesatan yang nyata apalagi di syarah Al Thohawy. Maka sesuai dengan pernyataan di atas apa yang dikatakan oleh Assyaikh Muhammad Yasin Al Fadany yang masyhur bahwa Al Albany itu “Dhaallun mudhillun” (sesat dan menyesatka n).
Juga sesuai dengan pernyatan Syaikh Al Muhaddits Habiburrah man: ketika aku membaca karangan Al albani dalam pembahasan seperti ini dan yg lainnya, aku menjadi teringat hadits Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam:
إن ممَا أدرَك النَاس مِن كلام النُبوة الأولى إذا لَم تستحِ فاصْنع مَا شِئت”.
“sungguh apa yang dapat di tangkap oleh manusia dari perkataan Nubuwwah yang pertama adalah “kalau kau tidak tahu malu maka berbuatlah sesukamu…”
Sekarang kami katakan kepada para pengikut Al Albani dan yang terbujuk rayu ucapan-uca pannya dan kepada orang orang yang tertipu dengan slogan slogannya,
“kembalila h kalian kedalam ajaran yang baik yang sudah ada, ikutilah jalan para Abror…..ik utilah jalan yang lurus campakkan jalan orang yang menyimpang dari “Annahj al mustaqiim” ….
Takutlah kalian untuk memberanik an diri atas kalam Rasulillah shallallah u ‘alaihi wasallam dengan tanpa didasari ilmu, jangan kalian terperdaya oleh orang yang sesat meskipun dia mempunyai puluhan karangan dan buku.
Oh…..betap a buruknya keberanian mengkoreks i dan berkecimpu ng tanpa ilmu atas hadits Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam.
Ya Allah kami memohon kepada Mu keselamata n dan penjagaan …..
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَال الله تَعالى: (وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمُ إنَّ السَّمْعَ والبَصَرَ والفُؤَادَ كُلُ أوْلئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً ) 36 [ سُورة الإسراء].”
“janganlah kau ikuti apa yang kamu tidak mengetahui karena pendengara n, pengelihat an dan hati itu semuanya akan dipertangg ung jawabkan” (QS Al Isra [17]:36)
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830