Ådý St Trllû
Asslmkm wrb !
Coba jelazkan ta’birnya belajar ilmu tasawub hukumnya
JAWABAN
>>
Hakam Ahmed ElChudrie qola al imam malik rahimahull oh..
man tafaqqoha tafassaqo. .
Man tashowwafa tazandaqo. .
Wa man jama’ahuma faqod tahaqqoqo. .
>>
Navrizal Ical Tasawuf,il mu pembersiha n hati amalan yang tidak mudah…ke iklasan,ke sabaran,ke inginan berbagi dgn sesama,ren dah hati adalah sebagian dari ilmu tasawuf
>>
Masaji Antoro Wa’alaikum salam wr wb
Tasawuf dan Perang Istilah
Membahas masalah Tasawuf saya jadi ingat pengajian rutin mingguan yang diadakan di Masjid Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar, membahas kitab Ar-Risalah Al-Qusyair iah yang disampaika n langsung oleh Syaikh Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi. Pembahasan terakhir kebetulan sampai pada Bab Tasawuf, setelah selesai membahas Bab Al-Faqr.
Dalam pengajian terakhir (14/5/ 2010), Syaikh Al-Buthi menerangka n bahwa istilah tasawuf adalah istilah yang tidak memiliki asal. Memang ada yang mengatakan bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuuf (bulu domba), Ahlus Shuffah (penghuni Shuffah), Shafaa (jernih), Shaff (barisan) dan lain-lain. Namun teori-teor i itu tidak ada yang tepat menurut beliau sebagaiman a disebutkan oleh Imam Al-Qusyair i sendiri dalam kitabnya. Namun yang menjadi fokus pembahasan bukanlah itu, yaitu meributkan masalah nama atau istilah yang takkan pernah ada habisnya, karena setiap orang bisa membuat istilah sesuka hatinya. Yang menjadi fokus adalah substansin ya. Oleh karena itu, ada sebuah ungkapan yang sudah sangat masyhur di kalangan para ulama dan santri, “La musyahata fil ishthilah (tidak perlu ribut karena membahas istilah).”
Dalam dunia ushul fikih kita mengenal istilah Wajib dan Fardhu, menurut Jumhur Fuqoha keduanya memiliki arti yang sama, namun menurut Hanafiyah keduanya berbeda. Dalam dunia Mushtolah Hadis kita mengenal istilah Hadis Mursal yang menurut ahli hadis artinya adalah hadis yang dinaikkan oleh seorang tabii tanpa menyebutka n siapa perantaran ya kepada Nabi SAW, namun menurut ahli ushul artinya adalah hadis yang terputus secara mutlak, di mana pun letaknya dan berapa pun jumlah perawinya, mirip Hadis Munqathi’. Imam Asy-Syafii mengingkar i Istihsan dan mengatakan bahwa “Barangsia pa ber-istihs an maka ia telah membuat syariat (baru)”, sedangkan Ulama Hanafiyah paling banyak menggunaka n Istihsan. Setelah diselidiki dan diteliti ternyata perbedaan mereka hanya sampai pada tataran istilah saja (ikhtilaf lafzhi), namun pada substansin ya mereka sepakat. Istihsan yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafii bukanlah Istihsan yang selama ini dipakai oleh Ulama Hanafiyah. Kata Sunnah pun memiliki pengertian yang bebeda-bed a menurut ahli fikih, ushul fikih dan mustholah hadis. Demikianla h seterusnya , perdebatan dalam masalah istilah takkan pernah menemui titik temu dan takkan memberikan manfaat yang signifikan .
Demikian pula dalam masalah Tasawuf. Banyak orang berbondong -bondong mengumanda ngkan genderang dan mengibarka n bendera perang terhadap apa yang disebut Tasawuf. Buku-buku ditulis, pengajian- pengajian digelar, perang opini dikobarkan . Semuanya dengan satu tujuan, memberangu s Tasawuf dari muka bumi. Sementara itu, di sisi lain berbondong -bondong pula orang yang siap membela mati-matia n Tasawuf. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak mengerti dan tidak memahami apa hakikat dari istilah Tasawuf itu sendiri. Ironis.
Syaikh Al-Buthi berkata, “Jika Tasawuf yang kalian maksud itu adalah pelanggara n-pelangga ran terhadap syariat seperti ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan dan lain-lain, maka aku akan berdiri bersama kalian dalam memerangi Tasawuf. Namun jika yang kalian perangi adalah perkara-pe rkara yang memang berasal dari Islam seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), akhlak dan lain-lain, maka berhati-ha tilah!”
Beliau juga sering mengulang- ulang perkataan ini, “Namailah sesuka kalian: Tasawuf, Tazkiyah, Akhlak atau yang lainnya selama substansin ya sama.”Ya, ternyata istilah tidaklah sedemikian penting dibandingk an dengan subtansiny a selama dalam batas-bata s yang bisa ditolerir. Syaikh Al-Buthi bahkan menegaskan dalam ceramahnya , “Saya sengaja berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggunaka n istilah tasawuf dalam kitab saya, Syarah Hikam Athoillah, demi menjaga perasaan saudara-sa udara kami yang sudah termakan opini bahwa tasawuf bukanlah dari Islam.”
Namun, apakah dengan demikian beliau mengingkar i inti atau substansi Tasawuf? Jawabannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Apapun istilahnya , jika memang terbukti berupa pelanggara n terhadap syariat maka kita harus berdiri dalam satu barisan untuk memerangin ya. Namun jika hal-hal itu adalah bagian dari Islam atau bahkan inti ajaran Islam, maka tidak semestinya kita menolaknya .
Jadi, kita mesti banyak berhati-ha ti dalam menggunaka n istilah sebelum memahami makna sebenarnya . Jangan sampai kita terjebak dalam perangkap musuh yang sengaja mengkotak- kotakkan umat Islam dengan cara menciptaka n istilah-is tilah agar umat Islam disibukkan membahasny a lalu terlupakan akan tugas yang lebih penting dan lebih besar manfaatnya daripada itu. Jangan sampai kita terpecah-p ecah karena masalah furu’iyyah sementara kita melupakan prinsip-pr insip agama kita. Wallahu a’lam.
Damaskus, 26 Mei 2010 7:26 a.m.
Mengenal Tasawuf dan Sufi
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya berjudul “Tasawuf dan Perang Istilah”.
Setelah menyinggun g masalah asal-usul kata Tasawuf yang tak satu kata pun tepat sesuai kaidah bahasa, Syaikh Al-Buthi melanjutka n pembahasan dengan memasuki materi mengenai substansi Tasawuf.
Imam Al-Qusyair i berkata dalam Risalah-ny a, “Sesungguh nya kalangan ini (sufi) sudah terlalu populer untuk sekedar membutuhka n identitas dari pecahan kata yang diambil dari bahasa.” Artinya, istilah Tasawuf dan identitas Sufi sudah lebih dikenal dan masyhur sehingga tidak membutuhka n definisi lagi. Beliau melanjutka n, “Tasawuf adalah makna (substansi )nya, sedangkan Sufi adalah orang (pelaku)ny a. Setiap orang mengungkap kan sesuai dengan apa yang dialaminya . Menyebutka n semuanya satu-persa tu hanya akan mengeluark an kita dari topik pembicaraa n sebenarnya , yaitu ringkasan. Saya hanya akan menyinggun g beberapa di antaranya saja.” Kemudian beliau menyebutka n riwayat-ri wayat yang beliau dapatkan mengenai definisi Tasawuf.
>>
Di antaranya adalah definisi yang diberikan oleh Abu Muhammad Al-Jariri, “Tasawuf adalah masuk ke dalam budi pekerti yang luhur dan keluar dari perilaku yang tercela.” Ya, Tasawuf tak lain dan tak bukan adalah akhlaqul karimah alias etika atau moral. Semakin tinggi moral seseorang, semakin tinggi pula kadar Tasawufnya . Tentu saja untuk masuk ke dalam akhlak terpuji, seseorang tidak dapat lepas dari agama, karena agama adalah sumber moral. Maka, sangat keliru jika meneriakka n moral tapi di satu sisi mengabaika n agama.
Riwayat kedua, dari Al-Junaid, beliau berkata ketika beliau ditanya tentang Tasawuf, “Dia (Tasawuf) adalah apabila kau dimatikan oleh Al-Haq (Allah SWT) darimu, dan dihidupkan bersama-Ny a.” Definisi ini agak dalam maknanya sehingga cukup sulit dicerna. Syaikh Al-Buthi menjelaska n maksud perkataan Al-Junaid bahwa jika Allah telah mematikan segala macam rasa yang ada pada diri seseorang sehingga ia seolah-ola h telah mati dan tak merasakan apapun, kemudian ia dihidupkan lagi dan merasa hidup berduaan saja dengan Allah, maka itulah Tasawuf. Kata “darimu” maksudnya adalah dari segala macam keinginan dalam dirimu. Ketika seseorang sudah tidak memiliki keinginan apapun terhadap dunia karena ia telah merasa cukup dengan Allah, maka saat itu ia telah merasakan hakikat Tasawuf.
Definisi lain dikemukaka n oleh Al-Husain bin Manshur atau lebih dikenal dengan panggilan Al-Hallaj, beliau berkata ketika ditanya tentang Sufi, “Dia adalah seseorang yang sendirian saja, tidak diterima dan tidak menerima orang lain.” Artinya, dalam hidupnya ia tidak merasakan kehadiran apapun dan siapapun. Syaikh Al-Buthi tampaknya agak kurang setuju dengan makna ini. Beliau menyanggah , “Sebenarny a untuk merasakan kesendiria n, seseorang tidak perlu harus menyendiri dalam goa-goa atau tempat terpencil karena manusia adalah makhluk sosial. Justru ketika seseorang mampu bergaul dengan orang lain –dengan tetap menjaga kesendiria n hati hanya bersama Allah, itulah yang lebih baik.” Artinya, untuk menjaga kesendiria n bersama Allah, seseorang tidak perlu menyendiri secara fisik. Karena kesendiria n itu letaknya di hati, bukan di badan. Jadi yang mesti dikosongka n adalah hati, tidak mesti harus memisahkan jasad dari manusia.
Definisi lain dikemukaka n oleh Abu Hamzah Al-Baghdad i, beliau berkata, “Ciri-ciri Sufi sejati adalah merasa fakir setelah kaya, merasa hina setelah mulia dan bersembuny i setelah tenar. Sedangkan ciri-ciri Sufi palsu adalah merasa kaya setelah miskin, merasa mulia setelah hina dan mencari popularita s setelah bersembuny i.” Definisi ini juga cukup dalam maknanya. Kalimat “merasa fakir setelah kaya” maksudnya adalah merasa diri tak memiliki apapun. Bagaimana tidak, sedangkan dirinya sendiri adalah milik Tu(h)annya yaitu Allah. Seseorang yang masih merasa bahwa dirinya memiliki sesuatu, maka ia bukan hamba, melainkan orang merdeka. Padahal setiap manusia adalah hamba Allah. Maka, Sufi sejati adalah orang yang merasa tidak memiliki apa-apa alias fakir setelah sebelumnya ia merasa memiliki sesuatu. Selanjutny a, kalimat “merasa hina setelah mulia” maksudnya adalah tawadhu’ dan merasa rendah diri di hadapan makhluk, lebih lagi di hadapan Sang Khalik. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tak lebih dari segumpal darah dan daging yang berasal dari setetes air yang hina dan akan kembali menjadi tanah, maka ia telah menjadi seorang Sufi sejati. Kemudian, kalimat “bersembun yi setelah tenar” maksudnya adalah menenggela mkan diri dalam ketiadaan dari pandangan makhluk sehingga ia hanya bersama Allah saja. Hal ini sangat penting untuk menjaga keikhlasan . Itulah ciri-ciri Sufi sejati. Sedangkan Sufi palsu adalah orang yang melakukan sebaliknya , merasa kaya dan tidak membutuhka n Allah lagi setelah ia mengakui kefakirann ya, merasa mulia setelah ia mengakui kehinaanny a dan mencari popularita s di mata manusia setelah sebelumnya ia adalah orang tak dikenal.
Dalam pertemuan kedua pada Bab Tasawuf ini, Syaikh Al-Buthi hanya berhenti sampai di sini. Insyaallah jika ada kesempatan akan kita lanjutkan lagi pembahasan ini. Mohon doanya.
Pertemuan Ketiga (Bab Tasawuf)
Pada pertemuan ketiga, Syaikh Al-Buthi memulai penjelasan dari ucapan ‘Amr bin Utsman Al-Makki tentang tasawuf. Amr bin Utsman Al-Makky ditanya tentang tasawuf, “Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik pada saat itu.”
Syaikh Al-Buthi menjelaska n maksud ucapan itu bahwa seorang muslim seharusnya melakukan perbuatan yang terbaik sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi di mana ia berada. Beliau mengutip ungkapan Arab yang berbunyi, “Setiap tempat punya perkataann ya dan setiap perkataan punya tempatnya. “
Beliau memberikan contoh seseorang yang baru pulang dari kerja atau aktivitas di luar rumah, lalu sesampai di rumah langsung memegang buku atau membaca Al-Quran dengan alasan ia punya target ibadah yang harus ia capai dalam waktu tertentu, sehingga ia menggunaka n waktu yang semestinya ia gunakan untuk keluarga. Padahal, istrinya sudah lama menunggu kepulangan nya dan merindukan kehadirann ya.
Syaikh Al-Buthi mengkritik perbuatan semacam itu dan mengatakan bahwa orang itu tidak memahami hakikat ibadah. Padahal, bercanda dan bersenda gurau dengan istri juga merupakan salah satu bentuk ibadah jika dilakukan pada tempat dan waktunya.
Tidakkah kita memperhati kan hadis yang berbunyi, “Setiap yang melenakan seorang muslim adalah kebatilan, kecuali tiga hal: melempar panah, melatih kuda dan bercanda dengan keluarga (istri). Ketiga hal itu adalah haq (kebenaran )” (HR. Tirmidzi)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluan istrimu ada sedekah.” Sebagian sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah , apakah seseorang di antara kami mendatangi istrinya lalu mendapatka n pahala?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidakkah kau lihat seandainya ia meletakkan kemaluanny a di tempat yang haram, apakah ia mendapatka n dosa?” Sahabat menjawab, “Ya.” Beliau melanjutka n, “Begitu juga jika ia meletakkan nya di tempat yang halal, dia mendapatka n pahala.” (HR. Muslim)
>>
Jadi, seorang muslim seharusnya senantiasa melakukan perbuatan yang terbaik dan sesuai dengan tempat, waktu dan kondisinya . Di setiap tempat ada perbuatan dan di setiap waktu ada haknya masing-mas ing. Adakalanya sebuah ibadah tidak cocok jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya.
Selanjutny a, Muhammad bin Ali Al-Qashab berkata, “Tasawuf adalah akhlak mulia yang muncul di zaman mulia dari pribadi mulia bersama kaum mulia.”
Syaikh Al-Buthi menjelaska n bahwa yang dimaksud “zaman mulia” adalah zaman Nabi SAW, “pribadi mulia” adalah Nabi SAW itu sendiri, sedangkan “kaum mulia” adalah para sahabat.
Sumnun pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Kau tidak memiliki sesuatu apapun dan kau tak dimiliki oleh sesuatu apapun.”
Syaikh Al-Buthi menjelaska n maksud kalimat pertama bahwa seorang muslim seharusnya selalu merasa tidak memiliki sesuatu apapun, karena segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Bahkan dirinya sendiri pun hamba milik Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua maksudnya adalah seorang muslim seharusnya tidak terikat oleh apapun, baik materi maupun non-materi . Ketika ia terikat oleh sesuatu, maka ia bukan lagi hamba yang taat kepada Allah SWT, karena hanya Allah sajalah satu-satun ya Tuhan yang berhak untuk ditaati sehingga ia harus terikat pada Allah SWT semata.
Ruwaim pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Melepaska n jiwa bersama apa yang dikehendak i oleh Allah SWT.”
Syaikh Al-Buthi menjelaska n maksud “dikehenda ki” adalah “diridhoi” . Artinya, seorang muslim seharusnya menjadikan hawa nafsunya tunduk kepada apa yang diridhoi Allah saja, meskipun adakalanya tidak sesuai dengan kehendak makhluk.
Al-Junaid pernah ditanya tentang tasawuf lalu menjawab, “Kau bersama Allah tanpa ada ikatan apapun.”
Syaikh Al-Buthi menjelaska n bahwa seorang muslim seharusnya bersama Allah saja tanpa menduakan- Nya dengan sesuatu apapun, itulah yang dimaksud dengan “tanpa ikatan” yaitu tanpa keterikata n dengan selain-Nya .
Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdad i berkata, “Tasawuf dibangun di atas tiga hal: komitmen terhadap kefakiran dan ketergantu ngan kepada Allah, mewujudkan pengorbana n dan pemberian, meninggalk an usaha dan ikhtiar.”
Syaikh Al-Buthi menjelaska n maksud kalimat pertama bahwa seharusnya seorang muslim senantiasa berkomitme n dengan rasa kemiskinan dan ketergantu ngan hanya kepada Allah SWT. Sedangkan kalimat kedua adalah refleksi dari kalimat pertama, yaitu mewujudkan pengorbana n dan pemberian sebanyak mungkin. Sebaik-bai k orang adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Sedangkan kalimat ketiga merupakan puncak dari sebelumnya , yaitu menjauhi segala macam campur tangan dan usaha yang dapat menggeser atau menghilang kan makna kalimat sebelumnya .
Ma’ruf Al-Karkhi berkata, “Tasawuf adalah meraih hakikat kebenaran, dan meninggalk an apa yang ada di tangan makhluk.”
Demikianla h ringkasan pengajian pada pertemuan ketiga Bab Tasawuf yang diadakan di Masjid Jami Al-Buthi, Damaskus, setiap Jumat bakda Ashar oleh Syaikh Prof. Dr. M. Said Ramadhan Al-Buthi hafizhohul lah.
Walhamduli llahi rabbil ‘alamin.
Mengenal Tasawuf dan Sufi (III)
Oct 26, ’10 5:34 AM
untuk
Pertemuan Keempat
Al Junayd berkata, “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Maksudnya adalah kesungguha n tiada akhir. Tasawuf adalah usaha dan kerja keras yang tak kenal henti dalam melaksanak an ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT.
Dia berkata pula, “Para Sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-oran g selain mereka.” Maksudnya, mereka memiliki ciri khas yang tak dimiliki oleh selain mereka dalam akhlak, pergaulan dan lain-lain.
Selanjutny a dia juga menjelaska n lagi, “Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang disertai penyimakan , dan tindakan yang didasari Sunnah.” Dalam hadis disebutkan , “Sesungguh nya Allah memiliki pasukan malaikat yang bertugas untuk mencari dan mengikuti halaqoh-ha laqoh majelis dzikir di bumi.” (HR. Al-Hakim, Sahih Al-Isnad)
Al Junayd menyatakan , “Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakka n kepadanya, namun tidak menumbuhka n kecuali segala tumbuhan yang baik.” Dia juga mengatakan , “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Semua itu disebabkan oleh rasa tawadhunya (perasaan hina) di hadapan Allah SWT.
Dia melanjutka n, “Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahny a, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.” Karena perhatian terhadap lahiriah akan melalaikan perhatian terhadap batin. Seseorang yang disibukkan memperbaik i kulitnya akan terlupakan memperhati kan isinya.
Sahl bin Abdullah berkata, “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.” Ini adalah kiasan. Maksudnya ia merasa tak memiliki apapun karena dirinya sendiri adalah milik Tuhannya. Bukan berarti ia memanggil setiap orang untuk membunuhny a, karena hal itu mustahil dan dilarang syariat. Juga bukan berarti keputusasa an terhadap rahmat Allah SWT karena hal itu merupakan kekufuran.
Ahmad an-Nury berkata, “Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.” Artinya ketika dalam keadaan sulit ia diam, rela dan tidak mengeluh, namun ketika dalam keadaan lapang ia mendahuluk an orang lain daripada dirinya sendiri.
Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan , “Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiap a yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti la melebihimu dalam tasawuf.” Ya, tasawuf adalah akhlak yang terpuji, barangsiap a bertambah akhlaknya, bertambah pulalah tasawufnya .
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbar y mengatakan , “Tasawuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir.” Ini merupakan kiasan. Maksudnya seseorang pasrah di hadapan pintu rahmat Allah SWT, melaksanak an segala perintah-N ya dan menjauhi segala larangan-N ya tanpa peduli apakah ia akan diterima atau ditolak. Ia hanya percaya terhadap kemurahan Allah dan sama sekali tidak mengandalk an amalannya. Dalam hadis, “Amalan seseorang takkan dapat memasukkan nya ke dalam surga.” Karena yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah kemurahan Allah semata.
Dia juga mengatakan , “Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya.” Karena indahnya kedekatan terhadap Allah SWT hanya dapat dirasakan setelah seseorang bersusah-p ayah dalam mencapainy a. Pepatah Arab mengatakan , “Tiada kenikmatan kecuali setelah kelelahan. “
Dikatakan, “Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir.” Maksudnya seseorang yang mengaku sufi namun kikir, maka sebenarnya ia bukanlah sufi. Karena tidak mungkin bersatu antara seorang sufi dengan sifat kikir.
Dikatakan, “Tasawuf adalah tangan yang kosong dan hati yang baik.” Maksudnya tangan yang tidak menyisakan sedikitpun dunia kecuali diinfakkan nya di jalan Allah, sedangkan hatinya tetap bersih hanya untuk Allah semata.
Demikianla h ringkasan pengajian pada kali ini. Semoga bermanfaat .
Damaskus, 9 July 2010
>>
Mengenal Tasawuf dan Sufi (IV)
Oct 26, ’10 5:35 AM
untuk
Pertemuan Kelima
Ini adalah ringkasan pertemuan kelima dalam serial Mengenal Tasawuf dan Sufi. Disarikan dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi.
Asy-Syibly mengatakan , “Tasawuf adalah duduk bersama Allah SWT tanpa kegelisaha n.” Maksudnya adalah seseorang merasa yakin dengan rahmat dan kasih sayang Allah SWT tanpa ada kekhawatir an sedikit pun. Bagaimana bisa khawatir sedangkan kekasihnya selalu berada di sampingnya .
Ketika ia diberikan kesehatan, ia merasa yakin bahwa kesehatan itu merupakan nikmat yang terbaik untuknya. Begitu juga sebaliknya , ketika ia ditimpa sakit atau musibah lainnya, ia merasa tenang dan yakin bahwa semua itu adalah yang terbaik dari Allah untuk dirinya. Ketika ia diuji dengan kemiskinan , ia yakin bahwa kondisi itulah yang terbaik menurut Allah SWT. Begitu juga ketika ia diuji dengan kekayaan, ia yakin bahwa itulah pemberian terbaik dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatir an terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)
Abu Manshur berkata, “Sufi adalah orang yang mengisyara tkan dari Allah SWT, sedangkan manusia mengisyara tkan kepada Allah SWT.” Maksudnya, seorang sufi selalu mengingatk an kita tentang nikmat-nik mat yang datangnya dari Allah SWT, sementara orang-oran g hanya mengingatk an kita tentang kewajiban- kewajiban kita terhadap Allah SWT.
Asy-Syibly mengatakan , “Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah SWT.” Maksudnya adalah hatinya terpisah dari makhluk dan hanya terpaut dengan Allah saja. Keterpisah an ini tidak bermakna keterpisah an secara fisik dan materi. Boleh jadi fisiknya membaur dengan manusia di pasar, kantor, madrasah dan lain-lain, tapi hatinya hanya bersama Allah saja. Ini benar-bena r hidup dalam keterasing an di tengah-ten gah keramaian. Jasadnya berjalan di muka bumi, namun hatinya melayang-l ayang di kerajaan Allah. Orang semacam ini seolah-ola h diciptakan untuk menjadi kekasih-Ny a.
Allah SWT berfirman, “dan Aku telah memilihmu (Musa) untuk diri-Ku.” (QS. Thaha: 41). Yaitu memutusnya dari dari semua makhluk.
Kemudian Allah SWT berfirman, “Kau (Musa) takkan dapat melihat-Ku .” (QS. Al-A’raf: 143). Karena kedekatan seseorang terhadap kekasih akan mengundang rasa rindu untuk melihatnya . Namun sayang, di dunia ini tak satupun yang diizinkan oleh Sang Kekasih untuk melihat-Ny a, bahkan Nabi Musa sekalipun. Hanya di akhirat saja tempat paling indah itu.
Allah SWT berfirman, “Bagi orang-oran g yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahanny a.” (QS. Yunus: 26). Tambahan itu berupa melihat wajah Allah secara langsung. (Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syibly juga mengatakan , “Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Al-Haq (Allah SWT).” Ini adalah kiasan, karena seorang anak selalu merasa aman dan nyaman bersama ayahnya. Ia merasa tenang dari segala macam gangguan. Ia menyadari kelemahan dirinya, sekaligus mengakui kekuatan ayahnya. Demikian pula keadaan para sufi, mereka merasa tenang dan aman bersama Allah. Mereka menyadari kelemahan diri mereka sekaligus mengakui kekuatan dan kehebatan Allah. Oleh karena itu, mereka menyerupai anak-anak yang berada di pangkuan ayah mereka.
“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (QS. An-Nahl: 60)
“Dan bagi-Nya lah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” (QS. Ar-Rum: 27)
Demikian ringkasan pengajian kali ini. Walhamduli llahi rabbil ‘alamin.
Damaskus, 16 July 2010
>>
Mengenal Tasawuf dan Sufi (V)
Oct 26, ’10 5:36 AM
untuk
Pertemuan Keenam
Inilah ringkasan pertemuan keenam dari pengajian Syaikh Dr. M. Said Ramadan Al-Buthi tentang Tasawuf.
Asy-Syibli berkata, “Tasawuf adalah kilat yang menyala.” Maksudnya adalah kondisi batin yang berubah-ru bah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat. Kadangkala kondisi roja’ (harap) menguasai seorang sufi sehingga ia teringat akan rahmat Allah SWT yang sangat luas, lalu ia pun senang. Di saat seperti itu, tiba-tiba kondisi batinnya berubah menjadi khouf (takut) yang sangat dahsyat sehingga ia teringat akan siksa Allah SWT yang amat pedih, sehingga ia pun gemetar. Kondisi itu berubah-ru bah dengan sangat cepat sehingga menyerupai kilat yang menyala.
Asy-Syibli juga berkata, “Tasawuf adalah terlindung dari memandang makhluk.” Maksudnya, Allah SWT melindungi penglihata n anda dari memandang makhluk. Ketika anda melihat alam dengan segala macam warna-warn inya, langit biru, bumi yang terbentang luas, pepohonan yang rindang, sungai yang mengalir, awan yang berarak, maka anda hanya akan melihat Sang Pencipta jagad raya Yang Maha Besar itu, yaitu Allah SWT. Anda sama sekali tidak melihat makhluk-ma khluk itu. Yang ada di pandangan anda hanyalah Dzat yang menciptaka n semua itu, yaitu Allah SWT. Lalu bibir anda pun melantunka n kalimat-ka limat pujian yang indah, “Subhanall ah. Maha Suci Allah.”
Allah SWT berfirman:
“Sesungguh nya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantiny a malam dan siang terdapat tanda-tand a bagi orang-oran g yang berakal,
(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Seorang sufi berjalan di atas muka bumi, berjual-be li dengan manusia di pasar, bercocok tanam di sawah, namun ia tak melihat apa-apa selain Allah SWT. Matanya melihat dunia, namun hatinya melihat Allah SWT yang menciptaka n dunia itu. Inilah yang dinamakan dengan Wihdatu Al-Syuhud, yaitu tunggalnya penglihata n. Seorang sufi mengakui adanya wujud selain Allah SWT, yaitu makhluk-ma khluk seperti bumi, langit, gunung, manusia, air, batu dan lain-lain, namun ia tidak melihatnya . Yang ia lihat hanyalah Allah SWT.
Berbeda dengan Wihdatu Al-Wujud (tunggalny a wujud) yang menafikan segala wujud selain Allah SWT. Ini berarti menafikan adanya malaikat, nabi, kitab suci dan lain-lain. Jelas ini bukan ajaran Islam. Sedangkan yang pertama tadi merupakan inti ajaran Islam.
Ruwaym berkata, “Para Sufi akan tetap berada dalam kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka.” Maksud bertengkar di sini adalah saling mengingatk an satu sama lain ketika sedang lalai, seolah-ola h tidak ada kompromi di antara mereka. Dalam kondisi seperti itu, mereka berada dalam kebaikan. Namun ketika mereka sudah mulai berbasa-ba si dan melupakan nasehat, maka saat itulah kebaikan itu pergi. Rasulullah SAW bersabda, “Agama itu adalah nasehat.”
Al Jurairy mengatakan , “Tasawuf adalah memantau setiap kondisi dan berpegang pada adab.” Maksudnya memantau kondisi batin agar senantiasa selaras dengan syariat.
Khouf dan roja’ adalah dua sikap yang harus seimbang pada diri setiap mukmin, ibarat dua sayap yang tidak boleh pincang salah satunya. Khouf yang berlebihan akan menyebabka n seseorang mengalami Al-Ya’s (keputusas aan), sehingga ia terputus dari rahmat Allah SWT. Kita mungkin pernah mendengar seseorang mengatakan , “Sudahlah, Allah tidak akan mungkin mengampuni dosa-dosa saya yang terlampau banyak.” Sebaliknya , rasa roja’ yang berlebihan juga dapat menyebabka n seseorang tidak sopan terhadap Allah SWT. Orang seperti ini akan mengatakan , “Sudahlah, tidak apa-apa berbuat dosa sebanyak-b anyaknya. Allah Maha Luas ampunan-Ny a. Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah Maha Mengampuni Dosa dan Maha Menerima taubat. Dia tidak akan menyiksa hamba-Nya. ” Jadi, harus keduanya seimbang. Nah, seorang sufi selalu mengawasi kondisi dirinya sendiri di setiap waktu agar tidak terjadi kepincanga n.
Sedangkan makna “berpegang pada adab” adalah berpegang teguh pada syariat. Adab takkan mungkin tegak tanpa syariat, karena adab berdiri di atas syariat. Sufi adalah orang yang paling taat menjalanka n syariat, karena tak mungkin ia dapat menjadi seorang sufi tanpa melewati fase syariat. Seseorang yang mengaku sufi namun syariatnya masih terbengkal ai bukanlah sufi sebenarnya .
Al-Muzayyi n menegaskan , “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.” Maksudnya adalah kepasrahan kepada Allah SWT dengan menjalanka n segala perintah-N ya dan menjauhi segala larangan-N ya.
Abu Turab an-Nakhsya by menyatakan , “Seorang Sufi tidak dapat dikotori oleh sesuatu pun, bahkan segala sesuatu menjadi jernih karenanya. ” Ketika seorang sufi dicela, dihina dan dicacimaki , ia tidak bergeming, bahkan mengatakan , “Saya lebih buruk daripada yang anda tuduhkan itu.” Ketika ia dipuji, disanjung dan dimuliakan , ia pun tak bergeming dan mengatakan , “Diamlah, saya tidak seperti yang anda sangka itu. Saya lebih tahu diri saya sendiri daripada anda. Anda hanya melihat penampilan luar saya. Adapun dalamnya, hanya saya dan Allah saja yang tahu.”
Suatu hari, seorang ustadz bersama para muridnya sedang berjalan. Tiba-tiba mereka tertimpa kotoran dari atas mereka. Siapa yang melemparka n, sengaja atau tidak, tak seorang pun yang tahu. Sebelum para murid mulai berbicara, sang ustadz memulainya terlebih dahulu, “Tahukah kalian bahwa kita masih lebih buruk daripada kotoran ini.”
Di tempat lain, dua orang sedang bersengket a mengenai suatu permasalah an. Lalu datanglah seorang sufi menengahi mereka. Tak lama kemudian, masing-mas ing di antara dua orang yang bersengket a itu berhenti bersengket a dan tidak mau menuntut lawannya.
Demikianla h, semestinya setiap muslim menjadi sosok yang jernih dan menjernihk an. Kehadirann ya di komunitas apapun seharusnya dapat memberikan kontribusi positif dan konstrukti f. Pujian maupun celaan tak dapat mengotori hatinya.
Allah SWT berfirman:
“…kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya) lagi Maha Mengetahui .” (QS. Al-Maidah: 54)
Demikianla h ringkasan kali ini.
Damaskus, 23 July 2010
>>
Mengenal Tasawuf dan Sufi (VI)
Oct 26, ’10 5:37 AM
untuk
Pertemuan Ketujuh
Ini adalah ringkasan pertemuan ketujuh dari pengajian Syaikh Dr. M Said Ramadan Al-Buthi tentang Tasawuf dan Sufi.
Dikatakan, “Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggu nya.” Maksudnya, bagi seorang sufi, usaha dalam melakukan ketaatan bukanlah sebuah beban. Sebaliknya , ia merupakan sebuah kebutuhan, sehingga usaha tersebut tidak membuatnya merasa lelah. Di samping itu, usaha-usah a itu tidaklah mengganggu nya dalam mempertaha nkan tawakkal. Seorang sufi berusaha tanpa kenal lelah seolah-ola h usahanya itulah satu-satun ya yang dapat menyelamat kannya dari api neraka dan memasukkan nya ke dalam surga. Namun di saat yang sama, ia bertawakka l, pasrah dan menyerahka n segala sesuatu kepada Allah SWT seolah-ola h usahanya tersebut tidaklah berarti apa-apa.
Ketika Dzun Nuun Al-Mishry ditanya tentang orang-oran g Sufi, dia menjawab, “Mereka adalah kaum yang mengutamak an Allah SWT di atas segala-gal anya sehingga Allah mengutamak an mereka di atas segala-gal anya.” Maksudnya, orang-oran g sufi mampu menekan hawa nafsu mereka demi menjalanka n ketaatan terhadap Allah, sehingga Allah pun meridhoi mereka. Seorang sufi tahu bahwa bangun di malam hari di musim dingin untuk shalat tahajjud merupakan sebuah amalan yang berat. Namun ia tahu bahwa amalan itu disukai Allah, maka ia pun menjalanin ya dei mendapatka n cinta-Nya. Seorang sufi tahu bahwa berpuasa di siang hari pada musim panas merupakan pekerjaan berat yang tidak disukai semua orang. Namun karena ia tahu bahwa amalan itu disukai Allah, maka ia pun melaksanak annya. Semua itu demi cinta-Nya. Seorang sufi selalu mengutamak an Allah di atas segala-gal anya. Kerelaan Allah merupakan impiannya. Kemurkaan Allah merupakan musibah besar yang harus dihindari dan patut disesalkan .
Oleh karena itu, Allah pun mengutamak an mereka di atas segala sesuatu. Kedekatan mereka terhadap Allah telah menghilang kan jarak antara mereka dengan Allah. Keridhoan mereka adalah keridhoan Allah. Begitu juga kemurkaan mereka merupakan kemurkaan Allah juga.
Allah SWT berfirman:
“…kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai- Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya) lagi Maha Mengetahui . (QS. Al-Maidah: 54)
Rasulullah SAW bersabda:
“Alloh berfirman, “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumka n perang terhadapny a. Tidaklah hamba-Ku mendekatka n diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatka n diri kepada-Ku dengan amalan-ama lan sunnah hingga Aku mencintain ya. Bila Aku mencintain ya, Aku akan menjadi pendengara n yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihata nnya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggengga m, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindung an, niscaya Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Muhammad al-Wasithy mengatakan , “Dahulu mereka memiliki isyarat, kemudian lama-kelam aan menjadi gerakan-ge rakan, dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan. ” Ini merupakan sebuah ungkapan hati dari seorang sufi yang prihatin melihat kondisi manusia yang semakin hari semakin memburuk. Dahulu pada masa sahabat, ketakwaan merupakan hiasan mereka, sehingga mendapatka n pujian dari Allah dan Rasul-Nya. Kesalihan mereka mampu mendatangk an karomah-ka romah yang tak dimiliki oleh sembarang orang. Inilah yang dimaksud dengan “isyarat”. Kemudian ketika zaman bergeser ke tabiin, spirit itu pun berkurang sedikit demi sedikit. Begitu juga ketika masa tabiut tabiin dan seterusnya hingga sekarang.
Nilai-nila i tasawuf yang dahulu merupakan substansi dinul Islam yang melekat dan mendarahda ging dalam diri para salafus sholih, lama-kelam aan berubah menjadi rutinitas dan ritualitas tanpa ruh. Itulah yang dimaksud dengan “gerakan-g erakan”, yaitu formalitas tanpa esensi. Tasawuf menjadi sebuah profesi yang digunakan untuk mengeruk popularita s dan mencari keuntungan -keuntunga n duniawi lainnya.
Namun kondisi itu juga akhirnya lenyap sama sekali sehingga tak tersisa sedikit pun. Nilai-nila i Islam yang dahulu menjadi motor penggerak pada diri setiap muslim, kini hanya menjadi cerita-cer ita dan kisah-kisa h yang tertulis di buku-buku. Sejarah telah menjadi bukti bahwa umat ini telah mengalami degradasi kualitas.
An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab, “Sufi adalah manusia yang menyimak pendengara n dan yang mengutamak an sebab-seba b.” Maksudnya, seorang sufi selalu menyimak nasihat-na sihat, baik dari Al-Quran, hadis, syair maupun yang lainnya, kemudian mereka berkomitme n terhadap hal-hal yang dapat menyampaik an mereka kepada keridhoan Allah. Hal-hal itulah yang dimaksud “sebab-seb ab”.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata, “Aku bertanya kepada All al-Hushry `Siapakah, menurutmu, Sufi itu?’ Dia menjawab, `Yang tidak dibawa bumi dan tidak dinaungi langit.’ Dengan ucapannya, menurut saya, ini Al-Hushry merujuk kepada nuansa keleburan. “
Syaikh Al-Buthi berkata, “Penjelasa n mengenai kalimat itu sangat panjang.”
Demikianla h ringkasan pertemuan kali ini. Sampai jumpa pada pertemuan mendatang.
Damaskus, 30 July 2010
========== ======