Klarifikas i Tentang Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (PENTING UNTUK DIBACA)
Mukaddimah
Setelah mengikuti diskusi di MyQuran tentang Ibnu ‘Arabi dan kontrovers i seputar tokoh itu, saya menjadi tertarik untuk mengetahui lebih lanjut siapa sebenarnya tokoh yang banyak diperbinca ngkan ini. Saya langsung membuka perpustaka an digital di laptop saya, Maktabah Syamilah versi 3.28.
Setelah saya ketik nama Ibnu ‘Arabi di daftar nama kitab, saya langsung dibawa ke sebuah folder berisi kitab-kita b yang berkaitan dengan Ibnu ‘Arabi dalam sebuah rak khusus. Ada beberapa nama kitab tertera di situ, di antaranya adalah Al-Futuhat Al-Makkiya h karya terbesar Ibnu ‘Arabi yang banyak dijadikan rujukan dalam penilaian terhadap tokoh besar ini. Ada juga kitab bernama Ar-Radd ‘Ala Ibni ‘Arabi (Sanggahan Terhadap Ibnu ‘Arabi) karya Ibnu Taimiyah.
Ada juga sebuah kitab bernama Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang ***** Tentang Bersihnya Ibnu ‘Arabi) karya imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi . Yang menjadi perhatian saya adalah kitab terakhir ini. Di samping ukurannya kecil (sekitar 16 halaman) juga judulnya yang unik.
Setelah saya baca, pada kata pengantar penerbit disebutkan bahwa kitab itu sengaja ditulis untuk membantah kitab berjudul Tanbiat Al-Ghabiy Bi Takfir Ibn ‘Arabi (Info Buat Orang ***** Tentang Kafirnya Ibnu ‘Arabi) karya Burhanuddi n Al-Biqa’i.
Pandangan Ulama Terhadap Ibnu ‘Arabi
Secara ringkas, Imam As-Suyuthi membagi para ulama menjadi beberapa kelompok dalam menyikapi Ibnu ‘Arabi:
Kelompok pertama, mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah wali. Di antaranya adalah Tajuddin bin ‘Atha’illa h, ulama dari kalangan Mazhab Maliki dan Syaikh Afifuddin Al-Yafii dari kalangan Mazhab Syafii.
Kelompok kedua, menganggap bahwa Ibnu ‘Arabi adalah sesat. Pendapat ini diambil oleh sebagian besar para ahli fikih.
Kelompok ketiga, menyatakan ragu terhadap perkara Ibnu ‘Arabi. Di antaranya adalah Adz-Dzahab i dalam Al-Mizan.
Adapun Izzuddin bin Abdissalam , semula beliau mengingkar i Ibnu ‘Arabi, kemudian setelah berjumpa langsung, beliau berbalik memuji dan menganggap nya wali.
Dalam kitab Lathaiful Minan karangan Tajuddin bin Atha’illah disebutkan bahwa Syaikh Izzuddin bin Abdissalam semula mengikuti pendapat ahli fikih, yaitu segera mengingkar i kaum sufi. Kemudian ketika Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzi li pulang dari haji, beliau mendatangi Syaikh Izzuddin sebelum memasuki rumahnya, lalu menyampaik an salam dari Rasulullah SAW untuknya. Sejak saat itu, Syaikh Izzuddin menjadi lunak lalu mengikuti majelis Asy-Syadzi li. Sejak saat itu pula, beliau selalu memuji-muj i kaum sufi setelah memahami metode mereka dengan sebenar-be narnya.
Imam As-Suyuthi berkata:
“Syaikh kami, Syaikhul Islam Al-Mujtahi d Syarafuddi n Al-Manawi juga pernah ditanya tentang Ibnu ‘Arabi, beliau menjawab yang intinya bahwa diam lebih selamat, ini pendapat yang paling layak bagi seseorang yang ingin menyelamat kan dirinya.”
Kemudian beliau menukil salah satu perkataan yang dinisbatka n kepada Ibnu ‘Arabi, “Kami adalah kaum yang (siapapun) diharamkan menelaah kitab-kita b kami.”
Hal itu dikarenaka n kaum sufi sering menggunaka n istilah-is tilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka. Istilah-is tilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepada pemahaman keliru yang dapat mengakibat kan kekufuran. Hal itu disampaika n oleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaiman a dinukil oleh As-Suyuthi , beliau berkata, “(Perkataa n-perkataa n mereka) itu menyerupai (ayat-ayat ) mutasyabih at dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiap a memahaminy a secara literal (zhohir) dia kafir. Ia memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap memahami kata wajah, yad (tangan), ain (mata) dan istiwa (bersemaya m) sebagaiman a makna yang selama ini diketahui, ia kafir secara pasti.”
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kitab-kita b karangan Ibnu ‘Arabi?
Pertanyaan ini sangat perting untuk dijawab mengingat banyaknya orang yang menghukumi Ibnu ‘Arabi hanya berdasarka n kitab-kita b yang konon adalah karangan beliau.
Imam As-Suyuthi menjawab:
Pertama, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa kitab itu adalah karangan Ibnu ‘Arabi. Cara ini tidak mungkin lagi dilakukan karena tak ada bukti yang kuat bahwa kitab-kita b itu adalah asli karangan Ibnu ‘Arabi, meskipun kitab-kita b itu sudah sangat populer di masyarakat , karena popularita s di zaman ini tidak cukup. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perkataan itu benar-bena r berasal dari penulis sendiri. Selain itu juga agar dipastikan tidak ada sisipan penambahan atau penguranga n yang tidak ilmiah yang bertendens i untuk menciptaka n citra buruk terhadap penulisnya , karena ada indikasi kuat bahwa kitab-kita b karangan beliau sengaja disisipi oleh pihak-piha k yang tidak bertanggun g jawab.
Kedua, istilah-is tilah di dalamnya harus dipahami sesuai dengan maksud penulisnya . Cara ini juga tidak mungkin dilakukan, karena di dalamnya berisi hal-hal yang berkaitan dengan hati yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Sebagian ahli fikih pernah bertanya kepada sebagian kaum sufi, “Apa yang mendorong kalian menggunaka n istilah-is tilah yang secara literal mengundang rasa risih di hati?”. Mereka menjawab, “Sebagai bentuk rasa kecemburua n kami terhadap metode kami, agar orang-oran g yang bukan dari golongan kami tidak dapat mengaku-ng aku bahwa mereka dari golongan kami dan supaya orang yang bukan ahlinya tidak masuk ke dalam golongan kami.”
Siapapun yang membaca atau mendengark an isi kitab-kita b karangan Ibnu ‘Arabi pasti akan menyaranka n bagi dirinya sendiri, terlebih orang lain, untuk tidak membacanya karena hanya akan membahayak an diri mereka sendiri dan kaum muslimin secara umum, terutama mereka yang masih dangkal pengetahua nnya tentang ilmu syariat dan ilmu-ilmu zhohir lainnya. Mereka dapat tersesat dan menyesatka n. Bahkan, sekalipun yang membacanya adalah seseorang yang ‘arif dan ‘alim, mereka takkan mau mengajarka nnya kepada murid-muri d mereka, karena ilmu mereka tak bisa dipahami dari kitab-kita b.
Alangkah indahnya jawaban salah seorang wali ketika ia diminta oleh seseorang untuk membacakan kitab Taiat Ibn Al-Faridh, beliau menjawab, “Tinggalka n itu! Orang yang telah berlapar-l apar sebagaiman a mereka berlapar-l apar, terjaga di malam hari sebagaiman a mereka terjaga, ia akan melihat (mengetahu i) apa yang mereka lihat.”
Imam As-Suyuthi pernah ditanya tentang seorang pemuda yang menyuruh membakar kitab-kita b Ibnu ‘Arabi sambil mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabi lebih kafir dari orang Yahudi, Nasrani dan kaum yang berkeyakin an bahwa Allah punya anak. Beliau menjawab, “Wajib bagi pemuda itu untuk bertaubat dan beristighf ar serta tunduk dan kembali kepada Allah agar ia tidak termasuk orang yang memusuhi wali Allah, yang berarti telah mengumanda ngkan perang terhadap Allah.”
Dalam hadis Qudsi, Rasulullah SAW pernah bersabda:
إن الله قال من عادى لى وَلِيًّا فقد آذَنْتُهُ بالحرب
“Sesungguh nya Allah telah berfirman: Barangsiap a memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumanda ngkan perang terhadapny a.” (HR. Al-Bukhari no. 6134)
Imam As-Suyuthi melanjutka n, “Jika ia tetap enggan bertaubat, cukuplah hukuman Allah baginya, tanpa hukuman dari makhluk. Apa kiranya yang akan diperbuat oleh hakim atau pihak yang berwajib? Inilah jawabanku mengenai masalah itu. Wallahu A’lam.”
Banyak ulama yang memuji Ibnu ‘Arabi, di antaranya adalah Asy-Syaikh Al-‘Arif Shafiyyudd in bin Abi Manshur dalam Risalah-ny a, beliau berkata, “Aku telah melihat di Damaskus, seorang syaikh imam yang tiada duanya, seorang alim dan amil, namanya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, salah seorang pembesar ulama tarekat. Ia telah menggabung kan antara ilmu-ilmu Kasbi (ilmu yang didapatkan dari proses belajar) dan ilmu-ilmu Wahbi (ilmu yang didapatkan dari anugerah Allah secara langsung). Popularita snya tak diragukan lagi. Karya-kary anya pun terlampau banyak. Jiwanya telah dipenuhi oleh tauhid, baik dari segi ilmu maupun akhlaknya. “
Asy-Syaikh Abdul Ghaffar Al-Qushi berkata dalam kitabnya, Al-Wahid, “Syaikh Abdul ‘Aziz pernah bercerita bahwa di Damaskus terdapat seorang lelaki yang berjanji ingin melaknat Ibnu ‘Arabi setiap hari selepas Shalat Ashar sebanyak sepuluh kali. Setelah itu ia meninggal dunia. Ibnu ‘Arabi datang bersama kerumunan manusia untuk menjenguk jenazahnya , lalu pulang dan duduk di rumah salah seorang sahabatnya . Beliau lalu menghadap kiblat. Ketika waktu makan siang tiba, makanan dihidangka n untuk beliau, tapi beliau tak mau makan. Beliau masih terus berada dalam keadaan seperti itu dan melakukan shalat, hingga waktu makan malam tiba. Setelah itu beliau menoleh dengan wajah gembira, lalu meminta makanan itu. Ketika ditanya tentang yang baru saja diperbuat, beliau menjawab, “Aku berjanji kepada Allah untuk tidak makan dan tidak minum sampai Dia mau mengampuni dosa-dosa lelaki yang dulu melaknatku ini. Aku terus-mene rus seperti itu sambil membaca kalimat La Ilaha Illallah sebanyak tujuh puluh ribu kali. Akhirnya aku melihat lelaki itu, ia telah diampuni dosanya.”
Salah seorang pelayan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam pernah bertanya kepada beliau, “Bukankah tuan telah berjanji ingin mempertemu kan saya dengan seorang wali?”. Syaikh Izzuddin menjawab, “Dialah wali itu.” Sambil menunjuk ke arah Ibnu ‘Arabi yang sedang duduk dalam majelis halaqohnya . Pelayan itu bertanya lagi, “Tuan, bukankah ia adalah orang yang selama ini anda ingkari?”. Syaikh tetap menjawab, “Dialah wali itu.” Beliau selalu mengulang- ulang jawaban itu setiap kali ditanya.
Imam As-Suyuthi berkomenta r, “Seandainy a dia bukan wali, niscaya perkataan Syaikh Izzuddin itu pun tidak bertentang an, karena beliau pernah menilainya dari segi zhohirnya (yang tampak) saja demi menjaga keselamata n syariat. Sedangkan rahasia di balik itu, diserahkan kepada Allah. Dia yang berhak melakukan apa saja yang Dia kehendaki. “
Oleh karena itu, para ulama jika menemukan hal-hal yang secara zhohir bertentang an dengan apa yang selama ini dipahami orang biasa, mereka mengingkar i hal itu demi menjaga hati orang-oran g yang lemah dan demi menjaga batas-bata s syariat. Jadi mereka memberikan masing-mas ing orang haknya secara utuh.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolan i menyebutka n dalam kitabnya, Inba Al-Ghumur Bi Akhbar Al-‘Umur, nama-nama ulama yang memuji Ibnu ‘Arabi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Syaikh Badruddin bin Ahmad bin Syaikh Syarafuddi n Muhammad bin Fakhruddin bin Ash-Shahib Bahauddin bin Hana (w. 788 H)
2. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ibrahim bin Ya’qub, yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Al-Wudhu’
3. Abu Abdillah Muhammad bin Salamah At-Tuziri Al-Maghrib i
4. Syaikh Najmuddin Al-Bahi
5. Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Ash-Shufi
6. Syaikh Ismail bin Ibrahim Al-Jabarut i Az-Zubaidi
7. Al-‘Allama h Majduddin Asy-Syiraz i
8. Syaikh Alauddin Abul Hasan bin Salam Ad-Dimasyq i Asy-Syafii (w. 829 H)
9. Qadhi Al-Qudhat Syamsuddin Al-Bisathi Al-Maliki.
Mengenai nama terakhir ini, Ibnu Hajar menyebutka nnya kisah menarik dalam peristiwa yang terjadi pada tahun 831 H. Suatu hari Ibnu Hajar pergi bersama Al-Bisathi menuju Syaikh Alauddin Al-Bukhari . Dalam perbincang an, mereka menyinggun g nama Ibnu ‘Arabi. Syaikh Alauddin langsung menjelek-j elekkan Ibnu ‘Arabi dan mengkafirk an orang-oran g yang meyakini isi kitabnya. Al-Bisathi menyanggah tuduhan Syaikh Alauddin dan membela Ibnu ‘Arabi, “Sebenarny a orang-oran g mengingkar i Ibnu ‘Arabi hanya karena berdasarka n kata-kata zhohir yang beliau ucapkan itu. Jika tidak, maka tak ada satu pun dari ucapannya itu yang patut untuk diingkari jika ia mau memahaminy a sesuai dengan maksud penulisnya atau dengan sedikit takwil.” Demikian sanggahnya . Lalu Syaikh Alauddin mengajukan pengingkar an terhadap konsep Al-Wihdah Al-Muthlaq ah ala Ibnu ‘Arabi. Al-Bisathi menjawab, “Apakah Anda tahu apa itu Al-Wihdah Al-Muthlaq ah?”. Syaikh Alauddin marah besar mendengarn ya dan bersumpah kalau pemerintah tidak mau menonaktif kan Al-Bisathi dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim), ia sendiri yang akan mengusirny a dari Mesir.
Syaikh Alauddin meminta sekretaris untuk mengajukan permasalah an ini kepada pemerintah . Hampir saja pemerintah mengabulka n permintaan itu dan mengangkat Asy-Syihab bin Taqi sebagai ganti Al-Bisathi . Namun kemudian majelis itu ternyata dibatalkan .
Imam As-Suyuthi berkomenta r, “Ini adalah salah satu berkah membela salah satu wali Allah.”
Akhirnya Al-Bisathi meneruskan jabatannya dan tak seorang pun yang menonaktif kannya sampai beliau wafat setelah dua puluh satu hari sejak kejadian itu.
Dan masih banyak lagi pujian dan sanjungan yang dilontarka n oleh para ulama kepada Ibnu ‘Arabi. Bagi yang ingin mengetahui nya lebih lanjut bisa membaca langsung kitab karangan Imam As-Suyuthi yang saya sebutkan di atas atau kitab-kita b tentang biografi Ibnu ‘Arabi.
Penutup
Pagi tadi (25 Mei 2010 M), selepas Shalat Shubuh di Jami Al-Buthi, saya bertanya langsung kepada Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (semoga Allah menjaga beliau), mengenai Ibnu ‘Arabi dan kontrovers i seputar tokoh besar itu. Syaikh menjawab, “Beliau (Ibnu ‘Arabi) adalah Al-Imam Al-Akbar yang telah dicemarkan namanya. Kaum Bathiniyah dari kalangan Ismailiyah telah menyusupka n perkataan- perkataan bathil ke dalam kitab-kita b karangan beliau. Dan sekarang kaum Wahabi sering mengkafirk an beliau berdasarka n isi kitab-kita b itu.”
Jawaban Syaikh Al-Buthi tersebut ternyata sesuai dengan jawaban Imam As-Suyuthi di atas.
Demikianla h ringkasan mengenai masalah ini. Wallahu A’lam Bis Showab.
Damaskus, 25 Mei 2010 6:06 a.m.