ALLAH ADA TANPA TEMPAT الله موجود بلا مكان
Oleh: Ustadz Kholil Abou Fateh
1. Ayat-ayat Mutasyabih at Mengenai ayat mutasyabih yang sebenarnya para Imam dan Muhadditsi n selalu berusaha menghindar i untuk membahasny a, namun justru sangat digandrung i oleh sebagian kelom pok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrika n, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yang hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut. Sebagaiman a makna Istiwa, yang sebagian kaum muslim in sesat sangat gemar membahasny a dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirka n kalimat “ISTIWA” dengan makna “BERSEMAYA M atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentang an dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, apabila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhka n ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yang terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaiman a diriwayatk an dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir, Maka bila disuatu tempat adalah tengah malam , maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantu ngan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukka n rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentang an dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yang terendah. Berkata Al hafidh Almuhaddit s Al Imam Malik rahimahull ah ketika datang seseorang yang bertanya makna ayat : “Arrahm aanu ‘alal Arsyistawa “, Imam Malik menjawab : “Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ‘anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakan nya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakan nya : “kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirny a, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwar ah di masanya yang beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasa lahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : “Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatk an bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat. Juga sebagaiman a hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : “Barangsia pa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba-Ku terus mendekat kepada-Ku dengan hal hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintain ya, bila Aku mencintain ya maka aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaan nya….” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukka n bahwa pendengara n, penglihata n, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolonga n Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya. Masalah ayat/ hadist tasybih (tangan/ wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/ madzhab dalam menafsirka nnya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahka n maknanya kpd Allah swt, dengan i’tiqad tanzih (mensucika n Allah dari segala penyerupaa n) Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata “Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarka nnya tanpa menanyakan nya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu hanifah. Dan kini muncullah faham mujjassima h yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupak an Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil Madzab ini menakwilka n ayat/ hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilang kan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaiman a Imam Syafii, Imam Bukhari,Im am Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri) Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunna h waljamaah. Seperti ayat : “Nasuullah a fanasiahum ” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:6 7), dan ayat : “Innaa nasiinaaku m”. (sungguh kam i telah lupa pada kalian QS Assajdah 14). Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatka n sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : “dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64) Dan juga diriwayatk an dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirm an : “Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ‘Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjengukn ya?, tahukah engkau bila kau menjengukn ya maka akan kau temui Aku disisinya? ” (Shahih Muslim hadits no.2569) Apakah kita bisa mensifatka n sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita? Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, “wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawan an Ku dengan menjengukn ya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunna h waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyub hat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy). Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaiman a firman Nya : “Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182). 2. Allah Ada Tanpa Tempat بسم الله الرحمن الرحيمالحم د لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد قال الله تعالى : (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا) (سورة مريم : 65) “Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah)”. (QS. Maryam: 65) Sesungguhn ya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-oran g yang mengikuti jejak mereka. Mereka dikenal dengan Ahlussunna h Wal Jama’ah; kelompok mayoritas ummat yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat). Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah: ( لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ) (سورة الشورى: 11) “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Ny a, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai -Nya”. (QS. as-Syura: 11) Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaska n bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Ny a. Ulama Ahlussunna h menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi kepada dua bagian; yaitu benda dan sifat benda.
Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutny a dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bag ian (jism). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam; 1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya . 2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-bend a padat dan lain sebagainya . Sedangkan sifat-sifa t benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam , berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya . Ayat di atas menjelaska n kepada kita bahwa Allah ta’ala tidak menyerupai makhluk-Ny a, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan apapun dari sifat-sifa t benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya . Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman) . Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhka n kepada yang menjadikan nya dalam dimensi tersebut. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: “كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ غَيْـرُهُ” (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود) Rasulullah Shallallah u ‘Alayhi Wa Sallam bersabda: “Allah ada pada azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya “. (H.R. al-Bukhari , al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud) Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaa n tanpa permulaan) , tidak ada sesuatu (selain-Ny a) bersama-Ny a. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptany a tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhka n kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaiman a dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptany a tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptany a tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaiman a ditegaskan juga oleh sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainy a-: “كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ” “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptaka n tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturka n oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdad i dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat , hlm. 506, berkata: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllalla hu ‘alayhi wa sallam: قالَ رَسُوْلُ الله: “أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ” (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه) “Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukka n akan ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangka n) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR. Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa tempat”. Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata: “أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ” (رواه الحافظ الزبيدي) “Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat”. (Diriwayat kan oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqi n Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah ). Adapun ketika seseorang menghadapk an kedua telapak tangan ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaiman a apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah, hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama Ahlussunna h Wal Jama’ah seperti al-Imam al-Mutawal li (w 478 H) dalam kitabnya al-Ghun-ya h, al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin , al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, al-Imam Taqiyyuddi n as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil , dan masih banyak lagi. Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahaw i -Semoga Allah meridlainy a- (w 321 H) berkata: “تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْد ِ وَاْلغَايَ اتِ وَاْلأرْكَ انِ وَالأعْضَا ءِ وَالأدَوَا تِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَد َعَاتِ” “Maha suci Allah dari batas-bata s (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti makhluk-Ny a yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut”. Perkataan al-Imam Abu Ja’far ath-Thahaw i ini merupakan Ijma’ (konsensus ) para sahabat dan ulama Salaf (orang-ora ng yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanny a bukanlah maksud dari Mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya . Melainkan maksud Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperliha tkan kepadanya keajaiban- keajaiban makhluk Allah sebagaiman a dijelaskan dalam al Qur’an surat al-Isra ayat
1. Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat, atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w 324 H) -Semoga Allah meridlainy a- berkata: “إنَّ اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ ” (رواه البيهقي في الأسماء والصفات) “Sesungguh nya Allah ada tanpa tempat” (Diriwayat kan oleh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat ). Al-Imam al-Asy’ari juga berkata: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua tempat”. Perkataan al-Imam al-Asy’ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak (w 406 H) dalam kitab al-Mujarra d. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya’ra ni (w 973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali al-Khawwas h: “Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana” . Maka aqidah yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-Thahaw i di atas juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakin an bahwa Allah menyatu dengan makhluk-ma khluk-Nya, juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang berkeyakin an bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Ny a. Dua keyakinan ini adalah kekufuran berdasarka n Ijma’ (konsensus ) seluruh orang Islam sebagaiman a dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya. Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam al-Junaid al-Baghdad i (w 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H), Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati; mereka semua selalu mengingatk an orang-oran g Islam dari para pendusta yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih dunia, padahal mereka berkeyakin an Wahdah al-Wujud dan Hulul. Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan sebagian orang yang menyerupak an Allah dengan makhluk-Ny a; mereka yang berkeyakin an bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaa n Allah dengan makhluk-Ny a, karena duduk adalah salah satu sifat manusia.
ara ulama Salaf bersepakat bahwa barangsiap a yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifa t manusia maka ia telah kafir, sebagaiman a hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddi ts as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahaw i (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama “al-‘Aqida h ath-Thahwi yyah”. Beliau berkata: ” وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر ” “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifa t manusia, maka ia telah kafir”. Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak menyerupak an-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Ny a. Al-Imam al-Ghazali berkata: “لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَ ةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُو ْدِ”
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”. Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat diterimany a amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah. 3.Konsensu s Para Sahabat dan Imam : “Allah Ada Tanpa Tempat” Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunna h dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Ny a dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhka n kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan- keyakinan yang menyalahin ya.
1. Al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata: كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptaka n tempat- tetap sebagaiman a pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayat kan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdad i dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333). Beliau juga berkata: إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَته ِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ “Sesungguh nya Allah menciptaka n ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan- Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayat kan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdad i dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).
2. Seorang tabi’in yang agung, Al-Imam Zainal-‘Ab idin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata: أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ “Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayat kan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqi n Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin , j. 4, h. 380). Juga berkata: أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدً ا “Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayat kan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqi n Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin , j. 4, h. 380). 3. Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata: مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلا ً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرً ا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ مَخْلُوْقً ا) “Barang siapa berkeyakin an bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-“ (Diriwayat kan oleh al-Imam al-Qusyair i dalam ar-Risalah al-Qusyair iyyah, h. 6).
4. Al-Imam al-Mujtahi d Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata: وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِن ُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِم ْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة. “Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-oran g mukmin akan melihat-Ny a ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-mas ing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137). Juga berkata: قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Ny a ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-ri salahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsar i, h. 20).
Juga berkata: وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَه ُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْر َارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْ رِهِ كَالْمَخْل ُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَار ِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا. “Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaima na disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhka n kepada ”arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ”arsy dan lainnya tanpa membutuhka n kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhka n kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptaka n dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Ny a sendiri. Jika membutuhka n kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptaka n makhluk-Ny a -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyy ah dalam kumpulan risalah-ri salah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsar i, h.
2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.). Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbiha h dan kaum Mujassimah , termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyya h sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatka n pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah . Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutka n bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula beliau mengkafirk an orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirk an orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhka n kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu.
Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpah ami oleh orang-oran g Musyabbiha h bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‘arsy. Justru sebaliknya , maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaiman a dalam ungkapan-u ngkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas. Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirk an orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakin an bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupak an Allah dengan makhluk-Ny a)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198). Pernyataan Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia berkata: “Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‘ibn ‘Abdissala m adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarka n apa yang telah beliau nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).
5. Al-Imam al-Mujtahi d Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan : (فصل) وَاعْلَمُو ْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْ لُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّة ِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّ رُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّ لُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدً ا، وَالْمَحْد ُوْدُ مَخْلُوْقٌ ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاش َرَةِ والاتّصَال ِ والانْفِصَ ال. “Ketahuila h bahwa Allah tidak bertempat. Argumentas i atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptaka n tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptaka n tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sif at-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-ba gi dan terpisah-p isah. Tidak boleh dibayangka n dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut: فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَا بِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَ ا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْ هِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْن َاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَاي َاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَا تِ، وَيَتَخَلَ ّصُ مِن َالمَهَالِ كِ وَالشُّبُه َاتِ. “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabih at. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaniny a dan tidak secara mendetail membahasny a atau membicarak annya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisa n. Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13). 6. Al-Imam al-Mujtahi d Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan : وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُو ْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَه ِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَان ٌ وَافْتِرَا ءٌ عَلَيْهِ. “Apa yang tersebar di kalangan orang-oran g bodoh yang menisbatka n dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsi yyah, h. 144) 7. Imam Bukhari Aqidah Rasulullah , para sahabatnya , para ulama salaf saleh, dan aqidah mayoritas umat Islam; Ahlussunna h Wal Jama’ah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kita akan banyak menemukan pernyataan para ulama terkemuka dari generasi ke generasi dalam menetapkan keyakinan suci ini. Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah juga merupakan keyakinan Syaikhul Muhadditsi n al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w 256 H), penulis kitab yang sangat mashur; Shahih al-Bukhari . Para ulama yang datang sesudah beliau yang menuliskan syarh bagi kitabnya tersebut menyebutka n bahwa al-Imam al-Bukhari adalah seorang ahli Tauhid, beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Salah seorang penulis Syarh Shahih al-Bukhari , as-Syekh ‘Ali ibn Khalaf al-Maliki yang dikenal dengan Ibn Baththal (w 449 H) menuliskan sebagai berikut: غَرْضُ البُخَارِي ّ فِي هذَا البَاب الرّدُّ عَلَى الْجَهْمِي ّةِ الْمُجَسِّ مَةِ فِي تَعَلُّقِه َا بِهذِه الظّوَاهِر ، وَقَدْ تَقَرّرَ أنّ اللهَ لَيْسِ بِجِسْمٍ فَلاَ يَحْتَاجُ إلَى مَكَانٍ يَسْتَقِرّ فِيْهِ، فَقَدْ كَانَ وَلاَ مَكَان، إنّمَا أضَافَ المَعَارِج َ إلَيْه إضَافَةُ تَشْرِيفٍ، وَمَعْنَى الارْتفَاع ِ إلَيْهِ اعْتِلاؤُه ، أى تَعَالِيْه ِ، مَعَ تَنْزِيْهِ هِ عَنِ الْمَكَانِ . “Tujuan al-Bukhari dalam membuat bab ini adalah untuk membantah kaum Jahmiyyah Mujassimah , di mana kaum tersebut adalah kaum yang hanya berpegang teguh kepada zhahir-zha hir nash. Padahal telah ditetapkan bahwa Allah bukan benda, Dia tidak membutuhka n kepada tempat dan arah. Dia Ada tanpa permulaan, tanpa arah dan tanpa tempat. Adapun penisbatan “al-Ma’ari j” adalah penisbatan dalam makna pemuliaan (bukan dalam pengertian Allah di arah atas). Juga makna “al-Irtifa ‘” adalah dalam makna bahwa Allah maha suci, Dia maha suci dari tempat” (Fath al-Bari, j. 13, h. 416). Pernyataan Ibn Bathal ini dikutip oleh al-hafizh Ibn Hajar al-‘Asqala ni dalam Fath al-Bari dan disepakati nya. Dengan demikian berarti keyakinan Allah ada tanpa tempat adalah merupakkan keyakinan para ahli hadits secara keseluruha n.
8. Imam Al-Ghozali Al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya’ Ulumiddin, pada jilid pertama menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunna h, yaitu pada bagian Qawa’id al-Aqa’id. . Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut: تعالى (أى الله) عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (إحياء علوم الدين، كتاب قواعد العقائد، الفصل الأول ج.1 ص. 108) “Allah Maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaiman a Dia maha suci untuk dibatasi oleh waktu dan zaman. Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang (setelah menciptaka n tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah” (Ihya’ ‘Ulumiddin , j. 1, h. 108). Pada bagian lain dari kitab tersebut al-Imâm al-Ghazali menuliskan : “Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat. Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan demikian ia membutuhka n kepada yang mengkhusus kannya dalam tempat tersebut. Juga sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua sifat ini jelas merupakan sifat-sifa t dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang baharu” (Ihya’ ‘Ulumiddin , j. 1, h. 127).
Masih dalam kitab Ihya’ al-Imâm al-Ghazali juga menuliskan : الأصل السابع: العلم بأن الله تعالى منـزه الذات عن الإختصاص بالجهات، فإن الجهة إما فوق وإما أسفل وإما يمين وإما شمال أو قدام أو خلف، وهذه الجهات هو الذي خلقها وأحدثها بواسطة خلق الإنسان إذ خلق له طرفين أحدهما يعتمد على الأرض ويسمى رجلا، والآخر يقابله يسمى رأسا، فحدث اسم الفوق لما يلي جهة الرأس واسم السفل لما يلي جهة الرجل، حتى إن النملة التي تدب منكسة تحت السقف تنقلب جهة الفوق في حقها تحتا وإن كان في حقنا فوقا.وخلق للإنسان يدين وإحداهما أقوى من الأخرى في الغالب فحدث اسم اليمين للأقوى واسم الشمال لما يقابله، وتسمى الجهة التي تلي اليمين يمينا والأخرى شمالا، وخلق له جانبين يبصر من أحدهما ويتحرك إليه فحدث اسم القدام للجهة التي يتقدم إليها بالحركة واسم الخلف لما يقابلها. (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128) “Pokok ke tujuh; adalah berkeyakin an bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan manusia. Allah menciptaka n manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke bumi yaitu bagian kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-lan git rumah, walaupun dlaam pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah bawahnya. Pada manusia kemudian Allah menciptaka n dua tangan, yang pada umumnya salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga Allah menciptaka n bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak kepadanya, dan bagian yang berada pada sebaliknya . Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian sebaliknya disebut dengan arah belakang” (Ihya ‘Ulumiddin , j. 1, h. 128).
Kemudian al-Imâm al-Ghazali menuliskan : فكيف كان في الأزل مختصا بجهة والجهة حادثة؟ أو كيف صار مختصا بجهة بعد أن لم يكن له؟ أبأن خلق العالم فوقه ويتعالى عن أن يكون له فوق إذ تعالى أن يكون له رأس، والفوق عبارة عما يكون جهة الرأس، أو خلق العالم تحته فتعالى عن أن يكون له تحت إذ تعالى عن أن يكون له رجل والتحت عبارة عما يلي جهة الرجل، وكل ذلك مما يستحيل في العقل (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128) “Dengan demikian bagaimana mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki tempat dan arah, sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada tempat tersebut?! Apakah Allah menciptaka n alam yang alam tersebut berada di arah atas-ya?! Sesesunggu hnya Allah maha suci dari dikatakan “arah atas” bagi-Nya. Karena bila dikatakan “arah atas” bagi Allah maka berarti Dia memiliki kepala. Karena sesungguhn ya penyebutan “arah atas” hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan “arah bawah” bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki kaki. Karena sesungguhn ya penyebutan arah bawah hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” (Ihya’ ‘Ulumiddin , j. 1, h. 128).
Dalam kitab al-Arba’in fi Ushuliddin , al-Imam al-Ghazali menuliskan : وأنه لا يحل في شىء ولا يحل فيه شىء، تعالى عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (الأربعين في أصول الدين، ص 8) “… dan bahwa Allah tidak bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaiman a Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/ zaman. Dia Allah ada sebelum terciptany a waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptaka n tempat dan waktu) ada sebagaiman a pada sifat-Nya azaly; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu”. (al-Arba’i n Fi Ushuliddin , h.
8) KESIMPULAN : Akidah Rasulullah , para sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunna h Wal Jama’ah ialah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”. Sangat tidak masuk akal, atau tepatnya kita katakan “tidak berakal”, bila ada orang yang berkeyakin an bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan orang-oran g Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakin an Allah berada di langit?! Juga berkeyakin an Allah berada di arsy?! Di dua tempat heh..?! Padahal mereka yakin bahwa langit dan arsy adalah makhluk Allah. Itu artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Ny a sendiri. A’udzu Billah al-‘Alyy al-‘Azhim.
9. AL-IMAM FAKHR AR-RAZI • Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imam al-Fakhr ar-Razi ( w 606 H) dalam kitab tafsirnya menuliskan sebagai berikut: “Jika keagungan Allah disebabkan dengan tempat atau arah atas maka tentunya tempat dan arah atas tersebut menjadi sifat bagi Dzat-Nya. Kemudian itu berarti bahwa keagungan Allah terhasilka n dari sesuatu yang lain; yaitu tempat. Dan jika demikian berarti arah atas lebih sempurna dan lebih agung dari pada Allah sendiri, karena Allah mengambil kemuliaan dari arah tersebut. Dan ini berarti Allah tidak memiliki kesempurna an sementara selain Allah memiliki kesempurna an. Tentu saja ini adalah suatu yang mustahil” .
10. AL-IMAM AZ-ZABIDI • Al-Hafizh al-Muhaddi ts al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqi n menjelaska n panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa ‘ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharusk an bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah”.Dal am penjelasan nya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut: “Penjabara nnya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-N ya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bag ian yang satu sama lainnya saling tersusun.
Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya . Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapap un ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharusk an akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudia n setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalka n arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-oran g bodoh dan berpemaham an pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-bena r tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupak an Allah denganmakh luk-Nya-. Sesungguhn ya yang menciptaka n sifat-sifa t benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifa t benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda.
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptaka n alam ini dan menciptaka n tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkina n kesimpulan . Pertama; Bisa jadi kalian berpendapa t bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapa t bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-oran g bodoh dari kaum Hasyawiyya h. Sesungguhn ya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” . Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqi n, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut: “Peringata n: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunna h. Tidak ada perselisih an antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutka n secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benar-bena r dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya ” . Jangan pernah anda berkeyakin an Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Ny a sendiri.Wa llohu a’lam.
Oleh: Imron Rosyadi