Jikalau memang mereka dakwah kepada tauhid, memberanta s tahayul, bid’ah, khurafat dan syirik maka mereka pastilah menjadi ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlaku l karimah.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda
سيكون في أمتي اختلاف وفرقة ، قوم يحسنون القيل ويسيئون الفعل
“Akan ada perselisih an dan perseterua n pada umatku, suatu kaum yang memperbagu s ucapan dan memperjele k perbuatan (akhlak yang buruk) “.
يَدْعُونَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسُوا مِنْهُ فِى شَىْءٍ
” Mereka mengajak pada kitab Allah tetapi justru mereka tidak mendapat bagian sedikitpun dari Al-Quran “. (Sunan Abu Daud : 4765)
Urutannya adalah ilmu -> amal -> akhlak
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Barangsia pa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya , maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubunganny a dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksika nNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaiman a diperibaha sakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlaku l karimah
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Sesungguh nya aku diutus (Allah) untuk menyempurn akan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4 )
“Sesungguh nya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatanga n) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:2 1)
Ulama yang dekat dengan Allah adalah ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlaku l karimah.
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah , apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-aka n kamu melihat-Ny a (bermakrif at), maka jika kamu tidak melihat-Ny a (bermakrif at) maka sesungguhn ya Dia melihatmu. ” (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguh nya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamb a-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)
Muslim yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu menyaksika n Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindar i perbuatan maksiat, menghindar i perbuatan keji dan mungkar sehingga terbentukl ah muslim yang berakhlaku l karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan.
Muslim yang memandang Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifa t adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranN ya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahi d untuk menunjukka n sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-aka n pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksika n-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi) ”
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Ny a?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah- Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda melihat-Ny a?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Munajat Syaikh Ibnu Athoillah, “Ya Tuhan, yang berada di balik tirai kemuliaanN ya, sehingga tidak dapat dicapai oleh pandangan mata. Ya Tuhan, yang telah menjelma dalam kesempurna an, keindahan dan keagunganN ya, sehingga nyatalah bukti kebesaranN ya dalam hati dan perasaan. Ya Tuhan, bagaimana Engkau tersembuny i padahal Engkaulah Dzat Yang Zhahir, dan bagaimana Engkau akan Gaib, padahal Engkaulah Pengawas yang tetap hadir. Dialah Allah yang memberikan petunjuk dan kepadaNya kami mohon pertolonga n“
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaik an, “mereka yang sadar diri senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu jadilah keteguhan yang satu yang mengugurka n hijab-hija b antara diri mereka dengan DiriNya. Semua bangunan runtuh tinggal maknanya. Seluruh sendi-send i putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar sempurnala h semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam menjalani ujian di RumahNya”.
Dr. Sri Mulyati, MA (Dosen Pascasarja na UIN Syarif Hidayatull ah Jakarta) dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa “untuk dapat melihat Allah dengan hati sebagaiman a kaum sufi, tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongk an diri dari segala yang tidak baik, baru kemudian sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-bena r mengisi kebaikan, berikutnya adalah Tajalli, benar-bena r mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestas i dari rahasia-ra hasia yang diperlihat kan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukka n oleh Allah kepada yang ia kehendaki” .
Tidak semua manusia dapat melihat Allah dengan hatinya.
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolonga n Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatann ya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhalang (terhijab) dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhalang (terhijab) dari memandang gerak dan perbuatann ya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahann ya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurn akannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNy a.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiap a yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uuna , “mereka tuli, bisu dan buta (tidak dapat menerima kebenaran) , maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)” (QS Al BAqarah [2]:18)
shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluuna , “mereka tuli (tidak dapat menerima panggilan/ seruan), bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS Al Baqarah [2]:171)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhn ya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlaku l karimah adalah ulama telah meraih maqom (derajat) disisi Nya sehingga terbukti dapat menyaksika n Allah Azza wa Jalla dengan hati (ain bashiroh) dan akan berkumpul dengan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Firman Allah ta’ala yang artinya,
”…Sekirany a kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya , niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lam anya, tetapi Allah membersihk an siapa saja yang dikehendak i…” (QS An-Nuur:21 )
“Sesungguh nya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganuge rahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatk an (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhn ya mereka pada sisi Kami benar-bena r termasuk orang-oran g pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47 )
“Sesungguh nya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukila h kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-oran g yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiap a yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya) , mereka itu akan bersama-sa ma dengan orang-oran g yang dianugerah i ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqii n, orang-oran g yang mati syahid, dan orang-oran g sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-bai knya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatka n diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarka n dan menyaksika n Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifa t.
Al-Hakim al-Tirmidz i (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhi din
al-shadiqi n
al-shiddiq in
al-muqarra bin
al-munfari din
Pertama, al-muwahhi dun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatka n diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidz i menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqu n yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurn akan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban) , menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang- undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan ). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatanny a kepada Allah serta perjuangan nya dalam melawan hawa nafsu berlangsun g secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mat a karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqi n (kewalian orang-oran g yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteris tik awliya haqq Allah, yaitu:
(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan (2) mengendali kan diri dari hal-hal yang dibolehkan .
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidz i, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya . Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, lidah, pendengara n, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiq in adalah orang-oran g yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaa n ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiq un kokoh dalam kedekatann ya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya , sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl , menjaga al-hudŭd, dan mempertaha nkan posisinya dengan sungguh-su ngguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguha n) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatka n khǎlish al-’ubŭdiy yah (hakikat kehambaan) . Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-ora ng yang kembali).
Keempat, al-muqarra bŭn mereka adalah al-shiddiq ǔn yang memiliki peluang untuk meningkatk an kualitas kedekatann ya kepada Allah pada martabat al-muqarra bin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfari dǔn. Hakim al-Tirmidz i berpandang an bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhi dun, al-shaddiq un, al-shiddiq un, hingga al-muqarra bun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.han ya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatka n wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Ny a). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah.
Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardani yah, yaitu merasakan kemanungga lan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidz i tidak menggunaka n istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Bustham i (w.261H-87 5M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/ 1240M) dalam menjelaska n persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunaka n istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggala n).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidz i dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguha n pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatka n diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidz i ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah) .
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mat a karena karunia-Ny a yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendak i-Nya di antara hamba-hamb a-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguha nnya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Ny a untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendah araan hikmah) dan tersingkap lah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahua n wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahua n tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sif at dan nama-nama Allah), bahkan tersingkap lah baginya hakikat ilmu Allah.
Muslim yang dekat dengan Allah sehingga menjadi kekasih Allah (Wali Allah) dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “sesungguh nya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala“ Seorang dari sahabatnya berkata, “siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah ? Semoga kita dapat mencintai mereka“. Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam menjawab dengan sabdanya: “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluarga an dan bukan karena harta benda, wajah-waja h mereka memancarka n cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mim bar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakann ya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita”. (HR. an Nasai dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Hadits senada, dari ‘Umar bin Khathab ra bahwa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguh nya diantara hamba-hamb aku itu ada manusia manusia yang bukan termasuk golongan para Nabi, bukan pula syuhada tetapi pada hari kiamat Allah ‘Azza wa Jalla menempatka n maqam mereka itu adalah maqam para Nabi dan syuhada.” Seorang laki-laki bertanya : “siapa mereka itu dan apa amalan mereka?”mu dah-mudaha n kami menyukainy a“. Nabi bersabda: “yaitu Kaum yang saling menyayangi karena Allah ‘Azza wa Jalla walaupun mereka tidak bertalian darah, dan mereka itu saling menyayangi bukan karena hartanya, dan demi Allah sungguh wajah mereka itu bercahaya, dan sungguh tempat mereka itu dari cahaya, dan mereka itu tidak takut seperti yang ditakuti manusia, dan tidak susah seperti yang disusahkan manusia,” kemudian beliau membaca ayat : ” Ingatlah, sesungguhn ya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatir an terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS Yunus [10]:62)
Ulama yang ihsan atau ulama yang berakhlaku l karimah adalah salah satu tanda atau ciri ulama yang sanad ilmu atau sanad gurunya tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaik an apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaika n secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidz i).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulam a yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaika n tidak dalam bentuk tulisan namun disampaika n melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekk an sejak zaman baginda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaik an dan memerintah kan para sahabat untuk menghafalk annya. Sebelum memerintah kan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirka n dan menjelaska n kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan .
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam untuk menghafalk an Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungann ya, tapi juga untuk menjaga otentisita s Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalit asnya. Kaitan antara hafalan dan otentisita s Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya , Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pew ahyuan)-ny a maupun penyampaia n, pengajaran dan periwayata n-(transmi si)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Habib Munzir Al Musawa berkata “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahann ya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatka n masalah”
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollalla hu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaan nya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan : “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandark an) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandark an sandaran, yang mana ia diangkatka n kepada yang berkata. Maka menyandark an perkataan berarti mengangkat kan perkataan (mengembal ikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“ .
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustaka n perkataan ulama meskipun dia tidak mendustaka n perkataan (hadits) Rasulullah shallallah u alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam Attsauri mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsia pa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Ulama yang berakhlak buruk adalah tanda atau ciri seorang ulama terputus sanad ilmu atau sanad gurunya. Tanda lainnya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut menyelisih i pendapat gurunya dan guru-gurun ya terdahulu.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan “
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik ?”
“Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam.
Rasulullah shallallah u aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatk an, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatk an “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat . Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatk an orang lain; wara yang menjauhkan nya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyark at (bergaul)“ .
Rasulullah bersabda: “Kesombong an adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombonga n. kesombonga n adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombonga n adalah pakaianKu. Barangsiap a merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksany a”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombonga n adalah selendang- Nya. Barang siapa menentang- Ku, maka Aku akan mengadzabn ya.” (HR Muslim)
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalisti k juga hijab, terjebakny a orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombonga n, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksika n Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Ulama yang berakhlak buruk adalah ulama yang tidak dapat menyaksika n Allah dengan hatinya atau ulama yang buta mata hatinya sehingga mereka tidak dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Contoh orang-oran g yang berakhlak buruk adalah kaum Yahudi, kaum yang dimurkai Allah sebagaiman a firmanNya yang artinya
“yaitu orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi.” (QS al-Ma’idah [5]:60)
“Katakanlah : apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-oran g yang lebih buruk kedudukann ya di sisi Allah, yaitu orang-oran g yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. (QS Al-Maidah [5]: 60)
Hamad bin Salamah meriwayatk an dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-oran g yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-oran g yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-oran g yang sesat.’
“Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah , berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhn ya Allah di hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari, seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gun ung dan pepohonan dengan satu jari”. Dalam satu riwayat mengatakan : “Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggeraka n itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaska n bahwa “Tertawany a Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkar an beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhn ya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupak an Allah dengan makhluk-Ny a (Musyabbih ah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya” (QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkar i mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (berkeyaki nan) dengan makna dzahir maka “jari Allah” berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallah u ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhn ya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingka n hati manusia menurut kehendak-N ya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapka n “بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehenda k untuk “membolak- balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritaka n bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memperbany ak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati, tetapkanla h hatiku di atas agamamu). Ia berkata; saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehenda k, Ia akan meluruskan nya, dan jika Allah berkehenda k, Ia akan menyesatka nnya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhn ya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Ulama yang berakhlak buruk atau ulama yang buta mata hatinya atau ulama yang tidak dapat menyaksika n Allah dengan hatinya (ain bashiroh) sehingga tidak mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya adalah ulama yang terpengaru h oleh aqidah kaum Yahudi yakni ulama yang berkata bahwa setiap yang ada harus mempunyai arah dan tempat sehingga mereka beri’tiqod (berkeyaki nan) bahwa Tuhan berada (bertempat ) di atas ‘Arsy. Arsy tidak kosong walaupun Tuhan turun setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Perkataan mereka “Arsy tidak kosong” menunjukka n bahwa Tuhan berada (bertempat ) dalam ruang di atas ‘Arsy dan mempunyai bentuk sehingga “tidak kosong” ruang di atas ‘Arsy.
Imam Asy Syafi’i ~rahimahul lah ketika ditanya terkait firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Beliau berkata “Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-ba tasan (bentuk) dan segala penghabisa n, dan Dia tidak membutuhka n kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan ”
Dalam kitab al-Washiyy ah, Al-Imam Abu Hanifah menuliskan : “Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhka n kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhka n kepada makhluk-ma khluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhka n kapada makhluk-Ny a maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptaka n alam ini dan mengaturny a. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Ny a sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhka n untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptaka n arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptaka n arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptaka n arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”
Ulama yang berakhlak buruk adalah serupa dengan orang-oran g seperti Dzul Khuwaishir ah dari Bani Tamim An Najdi yakni orang-oran g menampakka n ke-sholeh- an di hadapan orang banyak dalam bentuk tanda-tand a atau bekas ibadah sunnahnya namun berakhlak buruk seperti
1. Suka mencela dan mengkafirk an kaum muslim
2. Merasa paling benar dalam beribadah.
3. Berburuk sangka kepada kaum muslim
4. Sangat keras kepada kaum muslim bahkan membunuh kaum muslim namun lemah lembut kepada kaum Yahudi.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-oran g yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkong an mereka, bahkan mereka membunuh orang-oran g Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya“. (HR Muslim 1762)
Sabda Rasululull ah yang artinya “mereka membunuh orang-oran g Islam, dan membiarkan para penyembah berhala” maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan Hadits dan berkesimpu lan kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) sehingga membunuhny a namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrika nnya. Penyembah berhala adalah kaum Yahudi yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme ) atau penyembah berhala
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarka n apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-oran g yang diberi kitab (Taurat) melemparka n kitab Allah ke belakang (punggung) nya, seolah-ola h mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-sy aitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjaka n sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjaka n sihir), hanya syaitan-sy aitan lah yang kafir (mengerjak an sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-10 2)
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatk an Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tentang orang-oran g seperti Dzul Khuwaisara h at Tamimi an Najdi dengan pertanyaan
“Wahai Rasulullah , orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-iba dah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būna llāh fattabi’un ī – Katakanlah : “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosam u. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallah u alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikapla h penuh kasih, cintai orang-oran g miskin dan papa, bersikapla h lemah-lemb ut, penuh perhatian dan cintai saudara-sa udaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-oran g seperti Dzul Khuwaisara h at Tamimi an Najdi tidaklah cukup jika tidak menimbulka n ke-sholeh- an seperti bersikap ramah, penuh kasih, mencintai orang-oran g miskin dan papa, lemah lembut penuh perhatian dan mencintai saudara muslim dan menjadi pelindung bagi mereka.
Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tand a orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah adalah
1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian ) terhadap orang-oran g kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalanka n kewajibanN ya dan menjauhi laranganNy a
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiN ya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya), lagi Maha Mengetahui .” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Orang-oran g seperti Dzul Khuwaishir ah At Tamim An Najdi dipanggil oleh Rasulullah sebagai “orang-ora ng muda” yakni mereka suka berdalil atau berfatwa dengan Al Qur’an dan Hadits namun salah paham.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-oran g muda yang pemahamann ya sering salah paham. Mereka banyak mengucapka n perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya : suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggoroka n mereka. Mereka keluar dari agama sebagaiman a meluncurny a anak panah dari busurnya. Kalau orang-oran g ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).
“Orang-ora ng muda” adalah kalimat majaz yang maknanya orang-oran g yang kurang berpengala man atau kurang berkompete nsi dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Ulama seperti Dzul Khuwaishir ah dari Bani Tamim An Najdi atau kaum khawarij dalam berdakwah suka menggunaka n ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-oran g kafir untuk menyerang kaum muslim
Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan : “Mereka menggunaka n ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-oran g kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-oran g beriman”.[ Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:19 7]
Orang-oran g seperti Dzul Khuwaishir ah dari Bani Tamim An Najdi, mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Sesungguh nya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiap a yang menyelewen gkan, maka ia menyelewen g ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahull ah dalam Fathul Bari XII/ 37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan : “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Sesungguh nya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisih an maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallah uanhu mewasiatka n yang artinya: ”Al-Jama’a h adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri” Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah. Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-oran g yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatka n kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulk an umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-k elompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/ sekte. Hindarilah semua firqah/ sekte itu jika kalian mampu untuk menghindar i terjatuh ke dalam keburukan” .
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) salah satunya dikarenaka n salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-oran g yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatka nmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaa n belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)
Yang dimaksud “menuruti kebanyakan orang-oran g yang di muka bumi” adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhati kan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) karena mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-oran g yang asing sebagaiman a hadits berikut
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritak an kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasululla h shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntungl ah orang-oran g yang terasing.” (HR Muslim 208)
Ghuroba atau “orang-ora ng yang terasing” dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingk an diri dari para ulama yang sholeh atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham)
Hal yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-oran g yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-oran g shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisih inya lebih banyak dari yang mentaatiny a”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguh nya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagia lah bagi orang-oran g yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah , siapakah orang-oran g yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaik i dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh
Dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:” (Pada suatu hari) Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab dari kejahatan (malapetak a) yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari telunjuk) yang dengan itu mengisyara tkan seperti bulatan. Saya (Zainab binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah ! Apakah kami akan binasa, sedangkan di kalangan kami masih ada orang-oran g yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) karena beranggapa n mayoritas kaum muslim telah rusak.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُ مْ
Telah menceritak an kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritak an kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatk an dari jalur lainnya, Dan telah menceritak an kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) karena menuhankan pendapat (kaum) mereka sendiri (istibdad bir ro’yi) sehingga merasa (kaum) mereka pasti masuk surga
Sayyidina Umar ra menasehatk an “Yang paling aku khawatirka n dari kalian adalah bangga terhadap pendapatny a sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830