Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi sehingga mereka kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah lebih bersandark an dengan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) yang umumnya memahami dengan makna dzahir/ harfiah/ tertulis/ tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi) saja.
Mereka adalah produk atau hasil pengajaran ulama yang dipaksakan oleh kerajaan dinasti Saudi yang merupakan sekutu dari Zionis Amerika untuk mengikuti pola pemahaman atau ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaiman a yang dapat kita ketahui dari tulisan pada http:// suryadhie.w ordpress.c om/2007/ 08/16/ artikel-tok oh-islam-u lama-islam /
***** awal kutipan *****
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangk an sendiri melalui metode otodidak (belajar sendiri) sebagaiman a lazimnya para ulama besar Islam mengembang kan ilmu-ilmun ya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutny a untuk dapat dikembangk an dan digali sendiri oleh yang bersangkut an
***** akhir kutipan *****
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab membuat kitab atau tulisan yang pada umumnya berisikan pendapat berdasarka n akal pikirannya sendiri , sedikit sekali merujuk kepada pendapat para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsia pa menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan” . (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kita b hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperliha tkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-maj lis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggap nya sebagai ilmu, mereka menyebutny a shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajar i ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindar i kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Al-Hafidz adz-Dzahab i berkata: “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-ka limat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajar i ilmu dari para guru”
Mereka merasa atau mengaku mengikuti manhaj Salaf atau mazhab Salaf.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokka n rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafaln ya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafaln ya- kemudian dia menyampaik annya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaik annya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminy a” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidz i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, at-Thabran i dalam al-Mu’jamu l Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya . Pada hakikatnya , sebagian besar yang disampaika n oleh para perawi hadits adalah perkataan Rasulullah bukan pemahaman dari para perawi hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzd zab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang daripada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallah u ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingk an dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-huku m sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangka n prinsip-pr insip asas/ dasar dan furu’/ cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
Penamaan mazhab tidak dinisbatka n kepada nama suatu generasi melainkan kepada nama ulama yang melakukan upaya pemahaman (ijtihad) dan penetapan hukum perkara (istinbat) serta diakui berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiy yah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitka n dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaska n bahawasany a, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaiman a yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.
Ustadz Ahmad Sarwat,Lc, .MA menyampaik an dalam tulisan pada http:// www.rumahfi qih.com/ x.php?id=13 57669611&t itle=adaka h-mazhab-s alaf.htm
***** awal kutipan *****
Kerancuan Istilah Salaf
Istilah ‘salaf’ artinya adalah sesuatu yang lampau atau terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa bermacam-m acam, seperti lampau, kuno, konservati f, konvension al, ortodhox, klasik, antik, dan seterusnya .
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan syariah, istilah salaf sebenarnya bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah medote istimbath hukum. Istilah salaf hanya menunjukka n keterangan tentang sebuah kurun waktu di zaman yang sudah lampau.
Kira-kira perbanding annya begini, kalau kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam ilmu ukur, maka kita setidaknya mengenal ada dua metode atau besaran, yaitu centimeter dan inchi. Di Indonesia biasanya kita menggunaka n besaran centimeter , sedangkan di Amerika sana biasa orang-oran g menggunaka n ukuran inchi. Nah, tiba-tiba ada orang menyebutka n bahwa panjangnya meja adalah 20 ‘masa lalu’.
Lho? Apa maksudnya ’20 masa lalu’ ?
Apakah istilah ‘masa lalu’ itu adalah sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti tidak. Yang kita tahu hanya besaran 20 centimeter atau 20 inchi, tapi kalau ’20 masa lalu’, tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu.
Ya bisa saja sih segelintir orang menggunaka n istilah besaran ‘masa lalu’ sebagai besaran untuk mengukur panjang suatu benda, tetapi yang pasti besaran itu bukan besaran standar yang diakui dalam dunia ilmu ukur. Jadi kalau kita ke toko material bangunan, lalu kita bilang mau beli kayu triplek ukuran 20 ‘masa lalu’, pasti penjaga tokonya bingung dan dahinya berkerut 10 lipatan.
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbinc angkan bahwa salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi’ i lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah. Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-oran g khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptaka n ilmu ushul fiqih. Jadi mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptaka n sistem operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan metodologi istimbath mereka yang mengaku-ng aku sebagai salaf, sebenarnya metode mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pi kir, metode istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriya h. Karena kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunaka n nash secara Dzhahirnya saja.
Mereka tidak menggunaka n metode istimbath hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil metode penggabung an dua dalil atau lebih (thariqatu l-jam’i) bila ada dalil-dali l yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentang an. Lalu mereka semata-mat a cuma pakai pertimbang an mana yang derajat keshahihan nya menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam, klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahann ya sangat fatal. Cuma apa boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu tidak shahih. Maka digunakanl ah metode menshahiha n hadits yang aneh bin ajaib alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah bermasalah , apalagi dalam mengistimb ath hukumnya. Semua terjadi karena belum apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya , yang namanya ulama itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah, yang benar cuma saya seorang.
***** akhir kutipan *****
Mereka salah menjadikan ulama panutan. Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dikabarkan dalam mengggali Al Qur’an dan As Sunnah tidak mau belajar ilmu fiqih sebagaiman a informasi yang disampaika n oleh ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabil ah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّاب ِ بْنُ سُلَيْمَان َ التَّمِيْم ِيُّ النَّجْدِي ُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَة ِ الَّتِيْ انْتَشَرَش َرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَ ا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَر ْ بِالدَّعْو َةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْ تِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَ نِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْو َهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْه ِكَأَسْلاَ فِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرّ َسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah , yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-ter angan berdakwah kecuali setelah meninggaln ya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginform asikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-oran g di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat , “Hati-hati , kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-bena r terjadi.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabil ah, hal. 275)
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mendalami ilmu agama mengikuti pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah. Pendalaman nya pun bersandark an mutholaah (menelaah) kitab yang dihasilkan oleh ulama Ibnu Taimiyyah secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri karena masa kehidupan mereka terpaut 350 tahun lebih
Jumhur ulama telah menyampaik an bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri secara otodidak (shahafi) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri yang umumnya dengan makna dzahir, kemungkina n besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang tidak sesuai dengan apa yang disampaika n oleh lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dan ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihill ah Bikholqihi , penyerupaa n Allah dengan makhluq Nya
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaiman a jisim-jisi m lainnya (sebagaima na tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisi m lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya ), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan adalah mereka yang mengingkar i Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahma n bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahan nya pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2012/12/ dafu-syubah -imam-ibn- al-jauzi.p df untuk menjelaska n kesalahpah aman tiga ulama Hambali yakni
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdad i al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al-Baghdad i al-Hanbali , dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali . Lahir tahun 380 H, wafat 458 H
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali , wafat 527 H
Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifa t Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahka n “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking , jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakka n– mereka mengelabui orang-oran g awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangka n dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifa t Allah mereka memahaminy a secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifa t Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli.
Mereka tidak pernah menghirauk an teks-teks yang secara jelas menyebutka n bahwa sifat-sifa t tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifa t tersebut dari tanda-tand a kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Hadithi yyah menisbahka n kepada Imam Ibn ‘Uyainah, beliau berkata: “Hadits itu menyesatka n kecuali bagi para fuqaha (ahli fiqih)”
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab tersebut lalu mensyarahk an perkataan itu:
“Sesungguh nya hadits-had its Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sama seperti Al-Qur’an dari sudut bahwa keduanya mengandung lafaz umum yang maknanya khusus begitu juga sebaliknya , bahkan ada juga yang mengandung nasikh mansukh yang tidak layak lagi beramal dengannya. Bahkan dalam hadits juga mengandung lafaz-lafa z yang dzahirnya membawa kepada tasybih seperti hadits yanzilu Rabbuna… yang mana tidak diketahui maknanya melainkan golongan fuqaha’ (ahli fiqh). Berbeda dengan mereka yang sekedar mengetahui apa yang dzahir daripada hadits-had its (khususnya mutasyabih at) sehingga akhirnya dia (yang hanya faham hadits-had its mutasyabih at dengan makna dzahir) pun sesat seperti yang berlaku pada sebahagian ahli hadits terdahulu dan masa kini seperti Ibnu Taimiyyah dan para pengikutny a.” (Al-Fatawa Al-Hadithi yyah halaman 202)
Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab yang sama pada halaman 116, berkata dengan menukil permasalah an-permasa lahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakata n umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapa t) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandark an alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakin an adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindaha n. Ia juga berkeyakin an bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab terjerumus kekufuran dalam i’tiqod yang mengakibat kan beliau diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat mazhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarlu askan kesalahapa hamannya sehingga beliau wafat di penjara.
Mereka tampaknya terpengaru h i’tiqod atau aqidah kaum Yahudi.
“Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah , berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhn ya Allah di hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari, seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gun ung dan pepohonan dengan satu jari”. Dalam satu riwayat mengatakan : “Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggeraka n itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaska n bahwa “Tertawany a Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkar an beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhn ya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupak an Allah dengan makhluk-Ny a (Musyabbih ah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya” (QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkar i mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (berkeyaki nan) dengan makna dzahir maka “jari Allah” berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallah u ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhn ya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingka n hati manusia menurut kehendak-N ya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapka n “بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehenda k untuk “membolak- balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritaka n bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memperbany ak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati, tetapkanla h hatiku di atas agamamu). Ia berkata; saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehenda k, Ia akan meluruskan nya, dan jika Allah berkehenda k, Ia akan menyesatka nnya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhn ya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Oleh karenanya jika telah terjadi perselisih an karena perbedaan pemahaman atau pendapat, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam memerintah kan kaum muslim untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Sesungguh nya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiap a yang menyelewen gkan (menyempal ), maka ia menyelewen g (menyempal ) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahull ah dalam Fathul Bari XII/ 37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan : “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Sesungguh nya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisih an maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud radhiallah uanhu mewasiatka n yang artinya: ”Al-Jama’a h adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri” Maksudnya tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah. Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-oran g yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatka n kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulk an umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-k elompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/ sekte. Hindarilah semua firqah/ sekte itu jika kalian mampu untuk menghindar i terjatuh ke dalam keburukan” .
Mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) mengikuti Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dengan mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-ora ng yang terdahulu lagi yang pertama-ta ma (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-oran g yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediaka n bagi mereka surga-surg a yang mengalir sungai-sun gai di dalamnya selama-lam anya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-oran g yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-oran g yang mengikuti Salafush Sholeh. Sedangkan orang-oran g yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat.
Tentulah kita mengikuti atau taqlid kepada Imam Mazhab yang empat dengan merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Imam Mazhab yang empat patut untuk diikuti oleh kaum muslim karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang sebagai para ulama yang berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak, pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim.
Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh. Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-ora ng yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatk an dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah ) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-ora ng yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-ora ng yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat.
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambu ngan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
KH. Muhammad Nuh Addawami menyampaik an
***** awal kutipan *****
Di masa hidup Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam menerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif mudah, tidak sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah inqiradh para Sahabatnya .
Di masa Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang dikatakan, dikerjakan dan direstuiny a.
Sedangkan pada masa setelah wafat beliau Shallallah u ‘Alaihi Wasallam terutama setelah inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembang an zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sulit sekali, sehingga para penerimany a memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinba th yang akurat menurut metoda yang dapat dipertangg ungjawabka n keabsahann ya menurut ukuran prinsip-pr insip risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam itu sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaha raan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya, berlandask an mental (akhlaq) dan niat semata-mat a mencari kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kalam Rasulillah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan lafadz-laf adznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya .
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat beliau Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya radhiallah u anhum memerlukan :
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-da lamnya, karena al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaika n Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian nya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainy a bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafa d dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-mas ing mempengaru hi hukum-huku m yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-ma salah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubunga n dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-huku m dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-ma salah ijtihadiya h padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertangg ungjawabka n kemampuann ya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamk an taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dali lnya terhadap orang awam (yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatka n yang akan merusak sendi-send i kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukann ya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyath i ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukak an dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukaka n. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuann ya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
***** akhir kutipan *****
Mufti golongan Mujtahid Madzhab yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taqlid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaiman a disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab , 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level Mujtahid Madzhab, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapa t bahwa pelarangan taqlid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab , 1/72).
Jadi bermazhab adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh.
Memang Al Qur’an adalah kitab dalam “bahasa arab yang jelas” (QS Asy Syu’ara’ [26]: 195). namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-oran g yang berkompete n (ahlinya).
Allah ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatn ya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui ” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyala h kepada orang yang mempunyai pengetahua n jika kamu tidak mengetahui .” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhka n seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallah u alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kal i tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhn ya telah datang rasul-rasu l Tuhan kami, membawa kebenaran“ . (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang , penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat
Suatu ketika Rasulullah shallallah u alaihi wasallam mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalk an dunia ini, Aku akan meninggalk an umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku? ”
Allah ta’ala lalu menurunkan firman-Nya :
walaqad atainaaka sab’an mina almatsaani i wal qur’aana al’azhiima
“Kami telah mengarunia kanmu Assab’ul-m atsani dan al-Qur’an yang agung.” (QS Al Hijr [15]:87)
Assab’ul-m atsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamat kan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasulullah shallallah u alaihi wasallam tenang meninggalk an umat.
Al Qur’an kita telah mengetahui nya lalu apakah yang dimaksud dengan Assab’ul-m atsani ?
“Sab’an minal-mats ani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani . Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian maka Matsani berarti empat-empa t (berkelomp ok-kelompo k, setiap kelompok terdiri dari empat).
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutka n bahwa Assab’ul-m atsani itu adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-m atsani (tujuh kelompok) itu telah diisyaratk an oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya yang artinya “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-oran g yang Engkau karuniai nikmat“. (QS Al Fatihah [1]:6-7)
Mereka itulah Assba’ul-m atsani, sebagaiman a firman Allah yang artinya, “Orang-ora ng yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-oran g shalih, mereka itulah sebaik-bai k teman“. (QS An Nisaa [4]: 69)
Mereka itulah Assab’ul-m atsani yakni orang-oran g yang telah dikaruniai nikmat oleh Allah ta’ala sehingga berada pada jalan yang lurus dan menjadi seorang penunjuk yang patut untuk diikuti dalam memahami kitab petunjuk (Al Qur’an) sehingga menyelamat kan kita dari kesesatan serta menghantar kan kita mencapai kebahagian dunia dan akhirat
Imam Mazhab yang empat adalah termasuk Assab’ul-m atsani yang menghantar kan kepada kebahagiaa n dunia dan akhirat.
Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah adalah termasuk para penunjuk.
Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam pada umumnya memiliki ketersambu ngan dengan lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam melalui dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaika n melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambu ngan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam lebih terjaga kemutawati ran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulam a terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaik an apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaika n secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidz i).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulam a yang sholeh sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaika n tidak dalam bentuk tulisan namun disampaika n melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekk an sejak zaman baginda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaik an dan memerintah kan para sahabat untuk menghafalk annya. Sebelum memerintah kan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirka n dan menjelaska n kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan .
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallah u alaihi wasallam untuk menghafalk an Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungann ya, tapi juga untuk menjaga otentisita s Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalit asnya. Kaitan antara hafalan dan otentisita s Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya , Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pew ahyuan)-ny a maupun penyampaia n, pengajaran dan periwayata n-(transmi si)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollalla hu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaan nya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan : “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandark an) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandark an sandaran, yang mana ia diangkatka n kepada yang berkata. Maka menyandark an perkataan berarti mengangkat kan perkataan (mengembal ikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“ .
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkan nya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikan nya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsia pa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisih i pendapat gurunya dan guru-gurun ya terdahulu serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaik an bahwa “maksud dari pengijazah an sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatk an tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadany a, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadany a dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaa n al-Qur’an itu benar-bena r sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan “
Kesimpulan nya jika seorang ulama menyampaik an sesuatu berdasarka n Al Qur’an dan Hadits namun apa yang disampaika nnya berbeda dengan apa yang disampaika n oleh para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat maka ulama tersebut sanad ilmu atau sanad gurunya terputus pada akal pikirannya sendiri sehingga apa yang disampaika nnya adalah paham baru atau ajaran baru, bukan ajaran yang disampaika n oleh lisannya Nabi Muhammad Rasulullah shallallah u alaihi wasallam.
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) salah satunya dikarenaka n salah memahami firman Allah ta’ala yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-oran g yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatka nmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaa n belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)
Yang dimaksud “menuruti kebanyakan orang-oran g yang di muka bumi” adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhati kan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) karena mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-oran g yang asing sebagaiman a hadits berikut
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritak an kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasululla h shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntungl ah orang-oran g yang terasing.” (HR Muslim 208)
Ghuroba atau “orang-ora ng yang terasing” dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingk an diri dari para ulama yang sholeh atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham)
Hal yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-oran g yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-oran g shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisih inya lebih banyak dari yang mentaatiny a”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguh nya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagia lah bagi orang-oran g yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah , siapakah orang-oran g yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaik i dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh
Dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:” (Pada suatu hari) Rasulullah Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab dari kejahatan (malapetak a) yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari telunjuk) yang dengan itu mengisyara tkan seperti bulatan. Saya (Zainab binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah ! Apakah kami akan binasa, sedangkan di kalangan kami masih ada orang-oran g yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallah u ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) karena beranggapa n mayoritas kaum muslim telah rusak.
Telah menceritak an kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritak an kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatk an dari jalur lainnya, Dan telah menceritak an kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadu l a’zham) karena menuhankan pendapat (kaum) mereka sendiri (istibdad bir ro’yi) sehingga merasa (kaum) mereka pasti masuk surga
Sayyidina Umar ra menasehatk an “Yang paling aku khawatirka n dari kalian adalah bangga terhadap pendapatny a sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) merasa atau mengaku mengikuti pemahaman Salaful Ummah atau Salafush Sholeh namun pada kenyataany a mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatka n pemahaman Salafush Sholeh.
Pada hakikatnya apa yang dikatakan oleh mereka sebagai “pemahaman Salafush Sholeh” adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in, Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.
Mereka berijtihad dengan pendapatny a terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh.
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompete nsi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atasnamaka n kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Rasulullah telah bersabda bahwa jika telah bermuncula n fitnah atau perselisih an karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Yaman, bumi para Wali Allah.
Diriwayatk an dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari , Nabi shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan ’
Diriwayatk an oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari , Nabi shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhn ya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatk an hadits dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangk an pahala yang banyak’
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritak an kepada kami Husain bin Al Hasan berkata, telah menceritak an kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar berkata, Beliau berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Ibnu ‘Umar berkata, Para sahabat berkata, Juga untuk negeri Najed kami. Beliau kembali berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Para sahabat berkata lagi, Juga untuk negeri Najed kami. Ibnu ‘Umar berkata, Beliau lalu berdoa: Disanalah akan terjadi bencana dan fitnah, dan di sana akan muncul tanduk setan (HR Bukhari 979)
Dari Ibnu Umar ia mendengar Rasulullah Shallallah u ‘alaihi wa Salam bersabda sementara beliau menghadap timur: “Ingat, sesungguhn ya fitnah itu disini, sesungguhn ya fitnah itu disini dari arah terbitnya tanduk setan.” (HR Muslim 5167)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menetapkan miqot bagi penduduk negeri Yaman di Yalamlam sebelah tenggara kota Makkah/ Madinah sesuai arah dari negeri Yaman, sedangkan penduduk negeri Najed di Qarnul Manazil sebelah timur dari kota Makkah/ Madinah sesuai arah dari negeri Najed. Begitupula penduduk Iraq miqot di Dzat Irq, Timur Laut Makkah/ Madinah sesuai arah dari negeri Iraq.
Telah menceritak an kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Ammar Al Maushulli yang berkata telah menceritak an kepada kami Abu Haasyim Muhammad bin ‘Ali dari Al Mu’afiy dari Aflah bin Humaid dari Qasim dari Aisyah yang berkata Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam dan Mesir di Juhfah, bagi penduduk Iraq di Dzatu ‘Irq, bagi penduduk Najd di Qarn dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam [Shahih Sunan Nasa’i no 2656]
Telah menceritak an kepada kami Qutaibah telah menceritak an kepada kami Hammad dari ‘Amru dari Thawus dari Ibnu ‘Abbas radliallah u ‘anhuma berkata: Bahwa Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Yaman di Yalamlam dan bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil. Itulah ketentuan masing-mas ing bagi setiap penduduk negeri-neg eri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-neg eri tersebut bila datang melewati tempat-tem pat tersebut dan berniat untuk hajji dan ‘umrah. Sedangkan bagi orang-oran g selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuann ya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya (bertalbiy ah) dari (rumah mereka) di Makkah. (HR Bukhari 1431)
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatk an dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangk an suatu kaum yang dicintai-N ya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallah u alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-oran g Yaman’.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiN ya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-oran g kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya), lagi Maha Mengetahui .” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Dari Jabir, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatk an, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-oran g Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah ’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari ’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalan i telah meriwayatk an suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-bai knya manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatk an hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguh nya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatk an hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam, ‘Sebaik-ba iknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-oran g Yaman berarti telah mencintaik u, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku ”
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam telah menyampaik an bahwa ahlul Yaman adalah orang-oran g yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniak an hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaiman a Ulil Albab
Telah menceritak an kepada kami Abul Yaman Telah mengabarka n kepada kami Syu’aib Telah menceritak an kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallah u ‘anhu dari Nabi shallallah u ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-oran g yang berperasaa n dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritak an kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritak an kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritak an kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasululla h shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Apa yang diikuti oleh ahlul yaman dapat kita telusuri melalui para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah .
Silahkan telusurila h melalui apa yang disampaika n oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahma n Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddi n, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutth oriqoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulam a tasawuf yang muktabaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawati ran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalka n kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar . Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinann ya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830