Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Adapun orang-oran g yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabi haat daripadany a untuk menimbulka n fitnah untuk mencari-ca ri takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-oran g yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabi haat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)
Dalam (QS Ali Imran [3]:7) Allah ta’ala berfirman bahwa Dia lah yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabih at namun Allah ta’ala tidak menetapkan bahwa tidak akan menganuger ahkan kemampuan takwil kepada semua manusia. Oleh karenanya pada bagian akhir ayat tersebut ditegaskan bahwa Ulil Albab yang dapat yang mentakwilk an ayat-ayat mutasyabih at yakni orang-oran g yang dikehendak i Allah dengan dianugerah kan Al Hikmah , pemahaman yang dalam atau kemampuan mengambil pelajaran terhadap ayat-ayat mutasyabih at atau dianugerah kan kemampuan mentakwilk an ayat-ayat mutasyabih at.
Pada hakikatnya takwil adalah memahami dengan mengambil pelajaran berdasarka n karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada siapa yang dikehendak iNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab“ (QS Ali Imran [3]:7)
“Allah menganuger ahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al Baqarah [2]:269).
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatn ya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyala h kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahua n) jika kamu tidak mengetahui .” (QS. an-Nahl [16] : 43)
Ulil Albab atau ahli dzikir atau orang yang mempunyai pengetahua n karena karunia hikmah dari Allah ta’ala adalah
“(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Sedangkan mereka yang “mencari-c ari takwil” adalah mereka yang hanya bersandark an akal pikiran untuk memahaminy a.
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam mendoakan Ibnu Abbas ra agar dikaruniak anNya Al-Hikmah , kemampuan mentakwilk an ayat-ayat mutasyabih at dengan doa seperti
Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al ta’wil
Ya Allah dalamkanla h pengetahua nnya dalam agama dan ajarilah ia takwil Qur’an
atau
Allahumma ‘allimhu al hikmah.
Ya Allah alimkanlah dia dengan hikmah
atau
Allahumma faqqihu fiddini, wa allimhu al hikmata at ta’wila qurana
Ya Allah dalamkan pengetahua nnya dalam agama dan alilmkan dalam hikmah dan ajarkan ia takwil Al Qur’an (HR Ibnu Majah)
Contohnya terhadap firmanNya yang artinya “Dan langit itu Kami bangun dengan “bi aidin” dan sesungguhn ya Kami benar-bena r berkuasa”
Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa yang dimaksud “bi aidin” adalah “dengan kekuasaan” , bukan maksudnya tangan yang merupakan anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya
Begitupula dengan firmanNya yang artinya “Bahwasany a orang-oran g yang berjanji setia kepada kamu sesungguhn ya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka” (QS Al Fath [48]:10)
Para ahli tafsir pada umumnya menjelaska n contohnya “Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah atau disaksikan oleh Allah”
Contoh lainya dalam tafsir Ibnu Katsir firmanNya “Yadulllah i fawqa aydiihim” (tangan Allah di atas tangan mereka) maksudnya, Allah menyaksika n mereka, mendengark an seluruh ucapan mereka, melihat tempat-tem pat mereka dan mengetahui apa yang mereka sembunyika n di dalam hati mereka, serta apa yang mereka tampakkan”
Jadi tidak ada satupun ahlus sunnah yang mengatakan bahwa setiap sifat yang Allah ta’ala sifatkan untuk diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam harus beri’tiqod (berkeyaki nan) berdasarka n makna dzahir.
Contoh ulama yang tidak mau mentakwil atau tidak mau mengambil pelajaran atau tidak mau memperguna kan karunia hikmah dapat kita ketahui dari tulisan pada http:// moslemsunna h.wordpres s.com/ 2010/03/29/ benarkah-ke dua-tangan -allah-azz a-wa-jalla -adalah-ka nan/ atau pada http:// artikelassu nnah.blogs pot.com/ 2010/03/ benarkah-ke dua-tangan -allah-azz a-wa.html
Situs tersebut berisikan pendapat seorang ulama berdasarka n hadits-had its yang dipahaminy a sendiri tanpa menyertaka n pendapat para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat. Pada akhir tulisannya ulama tersebut berkesimpu lan bahwa “Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan”
Ulama tersebut memahami ayat-ayat mutasyabih at tentang sifat dengan makna dzahir atau makna harfiah atau makna leksikal atau makna dasar yang terdapat pada setiap kata (kalimat) atau makna kata secara lepas sebagaiman a yang terlihat jelas dalam awal tulisan dengan pertanyaan “Apakah kedua tangan Allah yang mulia kanan dan kiri ataukah keduanya kanan?” dalam pengertian arah (sisi) kiri atau kanan
“Datang seorang pendeta kepada Rasulullah , berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhn ya Allah di hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari, seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gun ung dan pepohonan dengan satu jari”. Dalam satu riwayat mengatakan : “Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggeraka n itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya”. (QS Az Zumar [39]:67)
Ibn Al Jawzi menjelaska n bahwa “Tertawany a Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkar an beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhn ya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupak an Allah dengan makhluk-Ny a (Musyabbih ah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan- Nya” (QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkar i mereka (kaum Yahudi)”
Jikalau beri’tiqod (berkeyaki nan) dengan makna dzahir maka “jari Allah” berada disetiap hati manusa
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallah u ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhn ya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingka n hati manusia menurut kehendak-N ya. (HR Muslim 4798)
Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapka n “بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehenda k untuk “membolak- balik” hati setiap manusia.
Dari Syahru bin Hausyab berkata; saya telah mendengar Ummu Salamah meceritaka n bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memperbany ak dalam do’anya: ALLAHUMMAA MUQALLIBAL QULUB TSABIT QALBI ‘ALA DINIK (Ya Allah, yang membolak balikkan hati, tetapkanla h hatiku di atas agamamu). Ia berkata; saya berkata; “Wahai Rasululah! Apakah hati itu berbolak balik?” beliau menjawab: “Ya, tidaklah ciptaan Allah dari manusia anak keturunan Adam kecuali hatinya berada di antara dua jari dari jari-jari Allah. Bila Allah Azza wa Kalla berkehenda k, Ia akan meluruskan nya, dan jika Allah berkehenda k, Ia akan menyesatka nnya. Maka kami memohon kepada Allah; ‘Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah kami diberi petunjuk.’ Dan kami memohon kepada-Nya supaya memberikan kepada kita rahmat dari sisinya, sesungguhn ya dia adalah Maha Pemberi’.” (HR Ahmad No 25364)
Jikalau beri’tiqod (berkeyaki nan) dengan makna dzahir maka “tangan Allah” berada disetiap ubun-ubun binatang melata berdasarka n firmanNya yang artinya “Sesungguh nya aku bertawakka l kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunn ya. Sesungguhn ya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (QS Huud [11]:56)
“tidak ada suatu binatang melatapun” terkait dengan ayat sebelumnya .
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Ingatlah, sesungguhn ya (orang munafik itu) memalingka n dada mereka untuk menyembuny ikan diri daripadany a (Muhammad) . Ingatlah, di waktu mereka menyelimut i dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyika n dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhn ya Allah Maha Mengetahui segala isi hati Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpana nnya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS Huud [11]: 5 dan 6)
Yang dimaksud “binatang melata” di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa
Sedangkan yang dimaksud “Dia-lah yang memegang ubun-ubunn ya” adalah “Dia-lah yang menguasai sepenuhnya “
Sedangkan yang dimaksud “Tuhanku di atas jalan yang lurus” adalah “Allah selalu berbuat adil”
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah Abul Faraj Abdurrahma n bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih dikenal dengan Ibn al Jawzi secara khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahan nya pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2012/12/ dafu-syubah -imam-ibn- al-jauzi.p df untuk menjelaska n kesalahpah aman tiga ulama Hambali yakni
1. Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid bin Ali al-Baghdad i al-Warraq, wafat 403 H, guru dari Abu Ya’la al-Hanbali
2. Muhammad bin al Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Ahmad al-Baghdad i al-Hanbali , dikenal dengan sebutan Abu Ya’la al-Hanbali . Lahir tahun 380 H, wafat 458 H
3. Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Nashr az-Zaghuni al-Hanbali , wafat 527 H Ibn al Jawzi berkata bahwa
***** awal kutipan ****
Mereka memahami sifat-sifa t Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits: “ إن لله خلق ءادم على صورته ”, lalu mereka menetapkan adanya “Shûrah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahka n “al-Wajh” (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking , jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata: “Dia (Allah) bernafas”. Lalu –dan ini yang sangat menyesakka n– mereka mengelabui orang-oran g awam dengan berkata: “Itu semua tidak seperti yang dibayangka n dalam akal pikiran”.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifa t Allah mereka memahaminy a secara dzahir (literal). Tatacara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifa t Allah sama persis dengan tatacara yang dipakai oleh para ahli bid’ah, sedikitpun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghirauk an teks-teks yang secara jelas menyebutka n bahwa sifat-sifa t tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya (makna dzahir), juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifa t tersebut dari tanda-tand a kebaharuan (huduts).
Mereka tidak merasa puas sampai di sini, mereka tidak puas dengan hanya mengatakan “Sifat Fi’il” saja bagi Allah hingga mereka mengatakan “Sifat Dzât”
****** akhir kutipan *****
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-had its yang di dalamnya ada sifat-sifa t Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanla h ia sebagaiman a ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu mengatakan :
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsiranny a adalah bacaannya (tilawahny a) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu ingin memalingka n kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu : tafsiranny a adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat, mengikuti huruf-perh urufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-laf azh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqo dkan berdasarka n maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupa an), sebab lafazh-laf azh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-laf azh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimanin ya dan tidak –secara mendetail– membahasny a dan membicarak annya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabih at tentang sifat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jism (contohnya tangan) sebagaiman a jisim-jisi m lainnya (sebagaima na tangan lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (contohnya tangan) namun tidak serupa dengan jisim-jisi m lainnya (tidak serupa dengan tangan makhlukNya ), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan adalah mereka yang mengingkar i Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Ibn al Jawzi menjelaska n bahwa “sesungguh nya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya (dzahir) jika itu dimungkink an, namun jika ada tuntutan takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna majaz (metaforis )”.
Tuntutan takwil dengan makna majaz (bukan sembarang takwil atau mencari-ca ri takwil) timbul ketika ayat-ayat mutasyabih at jika dimaknai secara dzahir sehingga mensifatka n Allah dengan sifat-sifa t yang menunjuki kepada sifat baharu (huduts) atau menunjuki atas tanda kekurangan .
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihata n mata” (QS Al An’am [6]:103)
Allah ta’ala mengungkap kan tentang diriNya dalam bahasa Arab yang balaghah (sastra Arab) sehingga tidak selalu dapat dimaknai sebagaiman a makna yang dapat dicapai oleh penglihata n mata atau makna indrawi atau makna dzahir atau makna harfiah atau makna yang tertulis (tersurat) . Untuk itulah diperlukan ilmu untuk memahaminy a seperti ilmu balaghah yang dapat mengungkap makna bathin atau makna di balik yang tertulis atau makna tersirat sepert makna majaz (kiasan).
Contoh ungkapan kecintaan Allah ta’ala kepada kekasihNya (wali Allah) yang tidak dapat dimaknai dengan makna dzahir.
Dalam sebuah haitis qudsi Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintain ya, maka Akulah pendengara nnya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangann ya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikann ya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku , pasti Kuberi, dan jika meminta perlindung an kepada-KU, pasti Ku-lindung i. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaiman a keragu-rag uan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Oleh karenanya kitapun tidak dapat memaknai dengan makna dzahir terhadap ungkapan cinta manusia seperti
“di dadaku ada senyummu, ada cintamu, ada hasratmu, ada kumismu, ada kupingmu, di dalam dadaku ada kamu”, “gunung akan ku daki , lautan akan ku seberangi”
“kaulah yang bisa membuatku lupa segalanya” “kaulah yang melepaskan segala kelelahank u”
“kaulah yang membuatku tertawa”
“kaulah yang membuatku bahagia”
dan lain-lain
Begitupula dalam memahami sholawat yang merupakan ungkapan cinta kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang umumnya dalam bahasa Arab yang balaghah sehingga tidak selalu dapat dipahami dengan makna dzahir.
Oleh karenanya orang-oran g yang berpendapa t bahwa sholawat seperti sholawat Nariyah atau Maulid Barzanji, matan atau redaksinya mengandung kemusyrika n maka dapat dipastikan mereka tidak menguasai ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat sepeti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’)
Contohnya sholawat Nariyah yang artinya “Ya Allah limpahkanl ah rahmat dan keselamata n yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad shallallah u alaihi wasllam, yang dengannya akan terlepas beberapa ikatan (kesusahan ) dan akan terbuka beberapa kesulitan dan akan ditunaikan beberapa kebutuhan dan akan diperoleh beberapa keinginan dan kematian yang baik (husnul khotimah) dan awan menurunkan hujan (keberkaha n/ kebahagiaan ) dengan wajahnya yang mulia, dan limpahkanl ah kepada keluargany a, para shahabatny a dalam setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau”
Seroang rekan kami menjelaska n sebagai berikut
**** awal kutipan *****
Penjelasan :
الذى disini Adalah Isim maushul tunggal laki-laki yang menjadi na’at/ shifat dari محمّد
تَنحلّ به العُقد
Dengannya akan terlepas beberapa ikatan (kesusahan 2)
تَنحلّ adalah Fiil mudlori’ dari madli َانحلّ yang mengikuti انفعل yang berfaidah menjadi Muthowaahn ya فعّل dan menjadi shilahnya isim maushul الذى
yang artinya adalah akan terlepas.
muthowa’ah adlah hasilnya bekas/ kesan/ akibat tatkala fi’il muta’adi berhubunga n dengan maf’ulnya
Contoh Muthowa’ah :
حلّل الله ُ العقدَ فانحلّ
Allah telah melepas beberapa ikatan (kesusahan ), maka beberapa ikatan (kesusahan ) terlepas.
Jadi terlepasny a beberapa ikatan (kesusahan ) akibat dari Allah telah melepasnya .
Begitu juga pada kalimat تَنحلّ menjadi jelas bahwa yg melepas adalah Allah karena faidah kalimat tersebut adalah hasilnya bekas/ kesan/ akibat
وتَنفرج به الكُرب
Dan dengannya akan terbuka beberapa kesulitan
تَنفرج adalah fi’il mudlori’ mabni ma’lum (kalimat aktif) dari madli انفرج mengikuti انفعل yang berfaidah menjadi Muthowaahn ya فعّل dan menjadi shilahnya isim maushul الذى dengan menggunaka n huruf athof wawu yang artinya adalah akan terbuka
Penjelasan nya sama dengan تَنحلّ
وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِ جُ
Dan dengannya akan dipenuhi/ ditunaikan beberapa kebutuhan
تُقْضَى adalah fi’il mudlori’ mabni majhul (kalimat pasif) dari madli قضي dan menjadi shilahnya isim maushul الذى dengan menggunaka n huruf athof wawu. الْحَوَائِ جُ adalah naibul fa’ilnya
Fi’il Mabni Majhul adalah Fi’il yg tidak menyebutka n fa’ilnya (subyek) karena sudah diketahui atau disamarkan . Dan yang mengganti posisi fa’il dinamakan naibul fa’il
Naibul Fa’il adalah Isim yg dirofa’kan baik secara lafadh atau mahal, menggantik an dan menempati tempatnya Fa’il yang tidak disebutkan .
Contoh :
تَقْضِى اللهُ الْحَوَائِ جَ
Allah akan memenuhi beberapa kebutuhan
Karena yang memenuhi kebutuhan hanyalah Allah (sudah diketahui) , maka fa’ilnya tidak disebutkan dan fi’ilnya dijadikan mabni majhul, menjadi تُقْضَى الْحَوَائِ جُ
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِ بُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِ مِ وَيُسْتَسْ قَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْم ِ
dan akan diperoleh beberapa keinginan dan kematian yang baik (husnul khotimah) dan awan menurunkan hujan (kesedihan menjadi kebahagiaa n) dengan wajahnya yang mulia
Semua fi’il2nya berbentuk Majhul (tidak menyebutka n fa’il) karena sudah diketahui fa’ilnya yakni Allah. Penjelasan nya sama seperti sebelumnya
بِهِ
Dengannya/ sebab beliau
Bak adalah Huruf jer yang mempunyai arti sababiyyah (sebab) dan berta’allu q (terhubung ) pada fi’il. Jadi nabi dijadikan sebab (wasilah/ perantara) atas terlepasny a beberapa ikatan (kesusahan 2) dan terbukanya beberapa kesulitan, dst.
Kesimpulan :
Setelah membahas kalimat2 dari sholawat nariyah berdasarka n gramatika arab, maka menjadi jelas bahwa subyek/ pelakunya adalah Allah Azza wa Jalla, sedangkan Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam hanya dijadikan wasilah dalam permohonan rahmat kepada Allah.
***** akhir kutipan ****
Begitupula penjelasan ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasululah shallallah u alaihi wasallam contohnya Habib Munzir sebagaiman a yang dimuat pada http:// majelisrasu lullah.org / index.php?o ption=com_ simpleboar d&Itemid&f unc=view&c atid=9&id= 6466#6466
**** awal kutipan *****
Saudaraku yg kumuliakan ,
Mengenai shalawat nariyah, tidak ada dari isinya yang bertentang an dengan syariah, makna kalimat : yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik” adalah kiasan, bahwa beliau shallallah u alaihi wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka, dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah swt, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah arab dari cinta, sebagaiman a pujian Abbas bin Abdulmutta lib ra kepada Nabi shallallah u alaihi wasallam dihadapan beliau shallallah u alaihi wasallam : “… dan engkau (wahai nabi shallallah u aalaihi wasallam) saat hari kelahiranm u maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalamin ya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang kebangkita n risalah.
Sebagaiman a ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai Rasulullah , bila kami dihadapanm u maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah , bila kami melihat wajahmu maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya pemahaman atas tauhid,
Mengenai kalimat diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, adalah cermin dari bertawassu l pada beliau shallallah u alaihi wasallam para sahabat sebagaiman a riwayat shahih Bukhari.
Mengenai anda ingin membacanya 11X, atau berapa kali demi tercapainy a hajat, maka tak ada dalil yg melarangny a,
Demikian saudaraku yang kumuliakan , semoga dalam kebahagiaa n selalu,
Wallahu a’lam
***** akhir kutipan *****
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830