Koes Safi’i
Berikut kami uraikan masing-mas ing pendapat yang ada beserta dalil masing-mas ing.
1. PendapatPe rtama: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi` i dan Abu Hanifah sebagaiman a disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas ) ulama baik yang lampau (mutaqaddi min) maupun yang berikutnya (mutaakhkh irin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiy ah dan Al-Malikiy ah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalanka nnya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukann ya. Sebaliknya , bila tidak ada satu pun yang menjalanka n shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut- Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapa t seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya .” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairi ts bahwa Rasulullah SAW, `Kembalila h kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahka n mereka melakukann ya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunka n azan dan yang paling tua menjadi imam.(HR Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Al-Khattha bi dalam kitab Ma`alimus- Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarka n hadits ini.
2. Pendapat Kedua: Fardhu `Ain
Yang berpendapa t demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiy ah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatangi nya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriy ah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah ra berkata, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak menjawabny a (dengan shalat), maka dia tidak mengingink an kebaikan dan kebaikan tidak mengingink annya. (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalk an shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Sungguh aku punya keinginan untuk memerintah kan shalat dan didirikan, lalu aku memerintah kan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-ruma h mereka dengan api.” (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiy ah dan Al-Malikiy ah sebagaiman a disebutkan oleh imam As-Syaukan i dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiy ah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahka n untuk tidak mengikutin ya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiy ah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-S hanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiy ah dalam kitabnya Al-Mukhtas har mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iy ah halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dali l berikut ini:
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR Muslim 650, 249)
Ash-Shan`a ni dalam kitabnya Subulus-Sa lam jilid 2 halaman 40 menyebutka n setelah menyebutka n hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunaka n hadits berikut ini:
Dari Abi Musa ra berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda, `Sesungguh nya orang yang mendapatka n ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalanny a. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. (lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Syahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapa t seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatny a (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al-Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabil ah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAw bersaba, `Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatangi nya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah793, Ad-Daruqut huny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguh nya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatangi nya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintah kan shalat dan didirikan, lalu aku memerintah kan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-ruma h mereka dengan api.” (HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, “Ya Rasulullah , tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah SAW berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah SAW memanggiln ya dan bertanya, `Apakah kamu dengar azan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangila h`, kata Rasulullah SAW. (HR Muslim 1/452).