Alhamdulil lah Puji puja dan sukurku tak henti-hent inya kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluknya , maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hent inya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam ini.
Telah dibuktikan didalam kitab-kita b para Imam walaupun ada perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat bahwa para imam tidak serta merta menjatuhka nnya pada status hukum haram, seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibba h (bid’ah yang tidak dianjurkan )” maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya .
Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallah u ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapann ya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhka n status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kai dah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/ dapat disimpulka n status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/ mandub/ mustahab, mubah/ jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jela s sunnah Rasulullah , tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya . Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutny a sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutny a sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/ jaiz maka ulama akan menyebutny a sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/ mandub/ mustabah maka ulama akan menyebutny a sebagai “bid’ah mustahabba h (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Sebagaiman a Imam an-Nawawi menyebutka n didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama mutakallim in (ahli kalam) untuk membantah orang-oran g atheis, ahli bid’ah dan seumpamany a; diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-maca m makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan permasalah annya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat” [1]
Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaska n lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :
قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في آخر كتاب “القواعد”: البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة أمثلة منها إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarka n kaidah-kai dah syari’ah, sehingga
1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan ) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan ) hukum haram maka itu bid’ah muharramah ,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan ) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan ) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan ) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-mas ing adalah ;
1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukka n diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-fir man Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukuka n) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukka n bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.
2. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariy ah, al-Jabariy ah, al-Murji’a h, al-Mujassi mah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah).
3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tem pat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantarany a adalah (pelaknasa an) shalat tarawih, perkataan pada detik-deti k tashawuf, dan lain sebagainya .
4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-l ebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya .
5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jeni s makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapka n isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “ [2]
Kesimpulan nya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentang an dengan syariat Islam, diistilahk an dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentang an dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’ i rahimahull ah pernah mengatakan sebagaiman a disebutkan olah al-Muhaddi ts al-Baihaqi :
أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان: «نعمت البدعة هذه» يعني أنها محدثة لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى
“Telah mengkhabar kan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritak an kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritak an kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’ i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaa t) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisih i al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisih i dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyalla hu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-ba iknya bid’ah adalah ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya , walaupun keberadaan nya tidaklah bertentang an dengan sebelumnya . [3]
Contoh-con toh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-ki tab Ulama, diantarany a sebagaiman a yang telah disebutkan . Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah . Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutny a bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminy a pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu sama-sama para ‘ulama menerimany a. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-m enuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman mereka itu.
LANJUT MASALAH BID’AH
Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di gembar-gem borkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulka n keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah, Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun nas-nya umum).
Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain sebagainya . Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara yang ada pasa masa Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam dan yang tidak. Imam an-Nawawi rahimahull ah didalam al-Majmu’ juga menjelaska n :
(قوله) صلى الله عليه وسلم ” كل بدعة ضلالة ” هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات
“Sabda Nabi shallallah u ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguh nya bid’ah adalah setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya , ulama juga berkata : bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah , makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-con tohnya dan telah aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”. [4]
Disini Imam an-Nawawi menjelaska n maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususk an) oleh hadits-had its lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish terhadapny a adalah sebagaiman a yang telah beliau sebutkan penjelasan nya didalam Syarh Shahih Imam Muslim :
وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) [5] merupakan takhsish terhadap sabda Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhn ya yang dimaksud dengannya adalah perkara-pe rkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah , makruhah dan mubahah”. [6]
Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena mensunnahk an atau mencetuska n sesuatu baru yang buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahk an atau mencetuska n sesuatu yang baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudka n pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.
Pendefinis ian Bid’ah
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya ,
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya ” [7]
dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinis ikan :
بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة
“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-ad akan perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah shalullah shallallah u ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah dan qabihah”. [8]
Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinis ikan bid’ah sebagai berikut :
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله – صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah , bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaska n bid’ah berdasarka n kaidah-kai dah syariah”. [9]
Berdasarka n definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-oran g yang mendapatka n petunjuk sehingga perkara baru yang mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisih an diantara mereka tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [10] Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkina n berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinis ikannya, sehingga nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama. [11]
[1] Lihat : syarah Shahih Muslim lil-Imam an-Nawawi [6/ 154-155].
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi [3/22-23] ; Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam [2/ 204]
[3] Lihat : al-Madkhal ilaa Sunanil Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [253] ; disebutkan juga didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/23]
[4] Lihat ; al-Majmu’ syarh al-Muhadzd zab [4/519] Imam an-Nawawi
[5] Hadits yang dimaksud adalah (HR. Musim 4/2059).
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَا مِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِم ْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَا مِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِه ِمْ شَيْءٌ
“Barangsia pa mensunnahk an/ mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) kemudian orang setelahnya mengamalka nnya, niscaya ditulis baginya seumpama pahala orang yang mengamalka nnya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari pahala mereka, dan barangsiap a yang mensunnahk an/ mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) kemudian orang setelahnya mengamalka nya, maka ditulis atasnya seumpama dosa orang yang mengamalka nnya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka”.
[6] Lihat : al-Minhaj syarh Shahih Muslim [7/104] Imam Nawawi
[7] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzd zab [4/519] Imam an-Nawawi
[8] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22] Imam an-Nawawi
[9] Lihat : Qawaidul Ahkaam lil-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissala m [2/204].
[10] Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah yaitu ; karena perkara tersebut tidak dilakukan pada masa Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa salam, namun hanya dilakukan pada masa setelah Rasulullah . Contohnya seperti pelaksanaa n shalat tarawih. Shalat Tawarih adalah perbuatan (sunnah) Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam, namun Rasulullah meninggalk annya dan para sahabat juga tidak berjama’ah (shalat tarawih berkumpul) pada pelaksaan shalat tarawih tersebut, bahkan tidak ada pada masa Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddi q. Maka, karena tidak ada masa Rasulullah , pelaksanaa n tarawih dengan cara berjama’ah tersebut dinamakan sebagai bid’ah yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-ba iknya bid’ah). Haqiqatnya adalah sunnah, berdasarka n sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur Rasyidin. Didalam Lisanul ‘Arab [ [8/ 6] disebutkan :
قد جعل له في ذلك ثوابا فقال : من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها، وقال في ضده : من سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، قال: ومن هذا النوع قول عمر، رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه، لما كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدحها لأن النبي، صلى الله عليه وسلم، لم يسنها لهم، وإنما صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ عليها ولا جمع الناس لها ولا كانت في زمن أبي بكر وإنما عمر، رضي الله عنهما، جمع الناس عليها وندبهم إليها فبهذا سماها بدعة، وهي على الحقيقة سنة لقوله، صلى الله عليه وسلم، عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala baginya, dikatakan : “barangsia pa yang mensunnahk an sunnah hasanah maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalka nnya” dan perkataan kebalikann ya adalah : “barangsia pa yang mensunnahk an sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalka nnya”, dan itu apabila menyelisih i apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahka n, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal ini yaitu ucapan Sayyidina ‘Umar radliyalla hu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-ba iknya bid’ah adalah ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari perbuatan- perbuatan baik dan termasuk dalam perkara yang terpuji maka dinamakan bid’ah dan terpujinya karena Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam tidak mensunnah bagi mereka, sebab beliau hanya shalat tarawih pada malamnya, kemudian meninggalk annya dan tidak menjaganya (tidak melanggeng kannya), tidak pula mengumpulk an manusia, bahkan tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun Sayyidina ‘Umar mengumpulk an manusia pada shalat tarawih dan mensunnahk an melakukann ya maka dari inilah dinamakan sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah sunnah, berdasarka n sabda Nabi shallallah u ‘alayhi wa sallam : “hendaklah mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidiin setelahku” . []
[11] Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul Qari syarh Shahih Bukhari [5/ 230] menjelaskan :
البدعة لغة: كل شيء عمل علي غير مثال سابق، وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهي عل قسمين: بدعة ضلالة، وهي التي ذكرنا، وبدعة حسنة: وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
“Bid’ah dari segi lughah : setiap sesuatu amalan tanpa contoh sebelumnya . Sedangkan dari segi syara’ : mengada-ad akan perkara yang tidak ada asal pada perkara tersebut di masa Rasulullah shallallah u ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : bid’ah dlalalah, itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah hasanah, yakni suatu perkara yang orang mukmin memandangn ya sebagai kebaikan (hasanah) dan perkara tersebut tidak menyelisih i al-Qur’an atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.
Berdasarka n definisi ini, setiap perkara yang tidak ada asalnya pada masa Rasulullah maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan berdasarka n segi syariat pula maka bid’ah terbagi menjadi dua yakni hasanah dan dlalalah. Pada halaman berikutnya [25/ 37], Imam al-‘Ayni juga menyebutkan :
قوله: والبدع جمع بدعة وهي ما لم يكن له أصل في الكتاب والسنة، وقيل: إظهار شيء لم يكن في عهد رسول الله ولا في زمن الصحابة، رضي الله تعالى عنهم
“Bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak ada asalnya pada perkara tersebut didalam al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dikatakan : menampakka n sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak pula pada zaman shahabat radliyalla hu ta’alaa ‘anhum”.
Berdasarka n definisi yang berbeda ini (qil), yang mana lebih longgar dalam pendefinis iannya yaitu ; jikalau ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bukan bid’ah, namun apabila tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bid’ah. Jadi, definisi ini menyertaka n perbuatan yang ada masa sahabat sebagai perkara yang bukan bid’ah. Tentu saja hal ini berdasarka n pengertian sunnah yang umum, bukan yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir Nabi saja) yaitu berdasarka n hadits ;
فَعَلَيْكُ مْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَا ءِ الرَّاشِدِ ينَ الْمَهْدِي ِّينَ، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَا جِذِ، وَإِيَّاكُ مْ وَمُحْدَثَ اتِ الْأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Hendaklah kalian (berpegang ) atas sunnahku (Nabi Muhammad) dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidi n al-Mahdiyy in, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian perkar-per kara baru yang diada-adak an, sebab sungguh setiap perkara muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah”
[HR. Musnad Ahmad]..