Aldy Maula
tanya,…
Bgmn jika seorang imam ketika di akhir sholat ingat klo dirinya py hadast atau najis,…
Apkh harus menyampaik an pd ma,mum,..?
Apakh si imam n ma,mum hrs mengulang sholatnya, …?
Tor nowon….
JAWABAN
Masaji Antoro
Jika najis yang dibawa oleh imam itu tampak jelas sekira makmum memperhati kannya, najis tersebut dapat terlihat, maka imam wajib memberitah u dan makmum wajib mengulang shalat, namun menurut pendapat Imam Nawawi tidak wajib i’adah (mengulang i sholat).
Jika najis tersebut samar, maka :
~ Bila makmumnya bukan masbuq, imam tidak wajib memberitah u dan makmum tersebut tidak pula wajib i’adah, baik diberitahu ataupun tidak, dan;
~ Bila masbuq (makmum yang tidak cukup waktu untuk membaca Fatihah di saat berdirinya imam), imam wajib memberitah u dan si masbuq manakala belum salam atau sesudah salam tetapi masih dalam tempo yang pendek, maka ia harus menambah satu rekaat dan sujud sahwi dan manakala dalam tempo yang lama, maka ia harus i’adah.
Dalam semua kasus tersebut sudah barang tentu imam wajib i’adah.
(فَائِدَةٌ ) يَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ إِذَا كَانَتِ النَّجَاسَ ةُ ظَاهِرَةً إِخْبَارُ الْمَأْمُو ْمِ بِذَلِكَ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ : لَوْ رَأَى عَلَى ثَوْبِ مُصَلٍّ نَجَاسَةً وَجَبَ إِخْبَارُه ُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ آثِمًا اهاع ش عَلَى م ر [بجيرمي على المنهج
1/310]
“(Faedah). Wajib bagi imam yang membawa najis tampak jelas, memberitah u makmum perihal tersebut agar mengu-lang shalatnya, berdasarka n perkataan ulama, andaikan seseorang melihat najis pada baju seseorang yang sedang shalat maka ia wajib memberitah unya meskipun tidak ber-dosa”. (Bujairami ‘ala al-Manhaj 1/310).
وَصَحَّحَ النَّوَوِي ُّ فِي التَّحْقِي ْقِ عَدَمَ وُجُوْبِ اْلإِعَادَ ةِ مُطْلَقًا. (قَوْلُهُ مُطْلَقًا) سَوَاءٌ كَانَ الْخَبَثُ الَّذِيْ تَبَيَّنَ فِي اْلإِمَامِ ظَاهِرًا أَوْ خَفِيًّا
[إعانة الطالبين 2/46]
“Al-Nawawi di dalam kitab Al-Tahqiq membenarka n bahwa makmum tidak wajib mengulang shalat secara mutlak. Kata ‘mutlak‘ baik najis yang dibawa imam itu tampak jelas ataupun samar “. (I’anah al-Thalibi n II/46).
وَلَوْ تَذَكَّرَ اْلإِمَامُ بَعْدَ صَلاَتِهِ أَنَّهُ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ ذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ وَعَلِمَ أَنَّ بَعْضَ الْمَسْبُو ْقِيْنَ رَكَعَ مَعَهُ قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الْفَاتِحَ ةَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَهُ بِحَالِهِ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ إِنْ كَانَ قَدْ سَلَّمَ وَطَالَ الْفَصْلُ وَإِلاَّ يَأْتِيْ بِرَكْعَةٍ فَقَطْ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ [تنوير القلوب
156 –157]
“Andaikata usai shalat imam ingat bahwa dirinya sedang hadats atau membawa najis yang samar dan ia mengetahui bahwa sebagian makmum masbuq mengikuti rukuknya sebelum sempat menyempurn akan fatihah, maka ia wajib memberitah u perihal keadaan dirinya agar makmum tersebut mengulang shalat bila sudah salam dan dalam tempo yang lama. Bila belum/ barusan salam maka menambah satu rekaat dan sujud sahwi.” (Tanwir al-Qulub 156-157).
لاَ إِنْ بَانَ ذَا حَدَثٍ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ وَذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ فِيْ ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ فَلاَ تَجِبُ اْلإِعَادَ ةُ عَلَى الْمُقْتَد ِيْ لانْتِفَاء ِ التَّقْصِي ْرِ
مِنْهُ فِىْ ذَالِكَ [فتح الوهاب
1/63]
“Tidak wajib i’adah jika imamnya sedang berhadats sekalipun hadats besar dan membawa najis yang samar di pakaian atau badan, maka tidak wajib mengulang shalat bagi makmum karena tidak adanya kesalahan dari makmum dalam hal tersebut.” (Fath al-Wahhab I/63).
وَلَوْ صَلَّى بِنَجْسٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ لَمْ يَعْلَمْهُ أَوْ عَلِمَهُ ثُمَّ نَسِيَ فَصَلَّى ثُمَّ تَذَكَّرَ وَجَبَتِ اْلإِعَادَ ةُ فِي الْوَقْتِ أَوْ بَعْدَهُ لِتَفْرِيْ طِهِ بِتَرْكِ التَّطْهِي ْرِ وَتَجِبُ إِعَادَةُ كُلِّ صَلاَةٍ تَيَقَّنَ فِعْلَهَا مَعَ النَّجْسِ، بِخِلاَفِ مَا إِذَا احْتَمَلَ حُدُوْثُهُ بَعْدَهَا فَلاَ تَجِبُ إِعَادَتُه َا، لَكِنْ تُسَنُّ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُو ْعِ [فتح الوهاب 1/50].
“Andaikan seseorang shalat tidak tahu bahwa dirinya mem-bawa najis yang tidak dimakfu, atau sebelumnya ia tahu kemudian lupa lalu shalat, kemudian ingat kembali maka wajib mengulang shalat ketika ingat atau sesudahnya , karena kesalahann ya dengan meninggalk an bersuci. Begitu juga wajib mengulang tiap-tiap shalat yang ia yakini mengerjaka nnya dalam keadaan najis, berbeda jika najis tersebut dimungkink an adanya setelah shalat maka tidak wajib mengulang, namun disunatkan sebagaiman a keterangan di Al-Majmu’. ” (Fath al-Wahhab I/50).